PYTHAGORAS DAN AJARAN TENTANG JIWA
I. Riwayat hidup
Pythagoras hidup kira-kira tahun
580-500 SM.[1]
Tanggal dan tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Pythagoras lahir
di Pulau Samos (dekat pantai Asia Kecil). Daerah ini termasuk daerah Ionia. Menurut
tradisi (Yunani), ia sering bepergian (antara lain ke Mesir). Namun, mengenai
hal ini belum ada kepastian. Kehidupan Pythagoras tidak lepas dari pengaruh
politik.
Menurut kesaksian Aristoxenos—seorang murid Aristoteles—Pythagoras tidak setuju dengan pemerintahan tyranos Polikrates sehingga ia pindah ke Kroton (Italia selatan).[2] Di situ, ia mendirikan tarekat keagamaan yang dikenal dengan sebutan Tarekat Pythagorean[3], atau Perguruan Pythagoras.[4] Asal mula tarekat ini tidak jelas.[5] Tarekat ini meninggalkan pengajaran yang berasal dari Pythagoras sendiri dan para muridnya. Sulit membedakan mana yang berasal dari Pythagoras dan mana yang dari muridnya.
Pythagoras memberi pengajarannya secara lisan. Pengajaran ini pun dirahasiakan dan dilarang untuk disiarkan. Meski demikian Tarekat ini memiliki keistimewaan atau karakter yakni asketik dan religius.[6] Pythaoras menetap di Kroton selama 20 tahun. Pada akhir hidupnya, Pythagoras bersama muridnya pindah ke Metaponthion. Alasan-alasan politik menjadi penyebab perpindahan ini. Pythagoras meninggal di Metaponthion.
Menurut kesaksian Aristoxenos—seorang murid Aristoteles—Pythagoras tidak setuju dengan pemerintahan tyranos Polikrates sehingga ia pindah ke Kroton (Italia selatan).[2] Di situ, ia mendirikan tarekat keagamaan yang dikenal dengan sebutan Tarekat Pythagorean[3], atau Perguruan Pythagoras.[4] Asal mula tarekat ini tidak jelas.[5] Tarekat ini meninggalkan pengajaran yang berasal dari Pythagoras sendiri dan para muridnya. Sulit membedakan mana yang berasal dari Pythagoras dan mana yang dari muridnya.
Pythagoras memberi pengajarannya secara lisan. Pengajaran ini pun dirahasiakan dan dilarang untuk disiarkan. Meski demikian Tarekat ini memiliki keistimewaan atau karakter yakni asketik dan religius.[6] Pythaoras menetap di Kroton selama 20 tahun. Pada akhir hidupnya, Pythagoras bersama muridnya pindah ke Metaponthion. Alasan-alasan politik menjadi penyebab perpindahan ini. Pythagoras meninggal di Metaponthion.
II. Ajaran tentang jiwa
Pythagoras mempunyai ajaran—seperti
para filsuf prasokratik lainnya—yang kas. Salah satu ajaran dari Pythagoras
adalah ajaran tentang jiwa. Manusia yang hidup sezaman dengan Pythagoras
mempertanyakan tentang jiwa khususnya jiwa manusia. Namun, jiwa
itu masih dikaitkan lagi dengan makhluk hidup lain. Pythagoras menjadi salah
satu tokoh yang membahas tentang jiwa manusia di zamannya. Tentu saja
pembahasannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.
Menurut Pythagoras jiwa itu tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwanya berpindah ke hewan, dan bila hewan itu mati, ia berpindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan menyucikan dirinya, jiwa bisa diluputkan dari nasib reinkarnasi[7] itu. Penyucian itu dihasilkan dengan berpantang jenis makanan tertentu, seperti daging hewan dan kacang.[8]
Satu contoh perpindahan jiwa dari manusia ke binatang yakni ketika Pythagoras menyuruh seorang sahabat—yang memukul anjing—untuk berhenti memukul anjing. Ia mendengar suara anjing yang mendeking karena dipukul. Ia mendengar suara seorang sahabat yang telah meninggal dari dengkingan anjing itu. Manusia mati namun jiwanya berpindah ke tubuh anjing. Suara dengkingan anjing yang dipukul itu menandakan perpindahan jiwa manusia—dalam hal ini adalah seorang sahabat Pythagoras—yang meninggal itu.
Pythagoras juga mengatakan dua hal
tentang jiwa. Pertama, Jiwa dipandang sebagai sesuatu yang selamanya ada. Badan merupakan
tempat tinggal jiwa, tetapi sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan badan.
Jiwa ada di badan—untuk sementara
saja—sebagai hukuman. Jiwa tidak selamanya ada di satu badan. Jiwa bisa keluar
dari satu badan dan harus pindah ke badan lain. Keberadaan jiwa itu tergantung
dari katarsis (penyucian) badan.
Penyucian ini dilakukan dengan menjauhkan diri dari kesukaan badan. Kalau badan
sudah suci secara sempurna, jiwa akan keluar dari badan. Kalau belum
sempurna jiwa akan berpindah dari badan ke badan. Tugas manusia adalah
mengeluarkan jiwa dari badan.
Menurut pandangan ini manusia harus
bertanggung jawab atas perpindahan jiwanya. Ini merupakan tugas berat yang
dihadapi manusia. Bagaimana manusia pada zaman Pythagoras—khususnya yang
menganut paham ini—melakukan hal ini? Pythagoras mempraktikkan ajarannya kepada
murid-muridnya. Unsur penting yang ditekankan kepada murid-muridnya dalam
mempraktikkan ajaran ini adalah memenuhi peraturan-peraturan yang ada.[9] Peraturan itu misalnya
berpantang jenis makanan tertentu, seperti daging hewan dan kacang, dan juga
menjuahkan diri dari kesukaan badan.
Kedua, Jiwa adalah
‘harmoni’ dari badan. Dalam hal ini Pythagoras menggunakan prinsip
keharmonisan dalam setiap barang. Ia mengibaratkan harmoni dari gitar yang tak
mungkin lepas dari dawai-dawainya. Demikian juga jiwa tak mungkin lepas dari
badan manusia. Jiwa ‘sudah’ ada ‘sebelum’ berada di badan. Jiwa itu ada tanpa permulaan.
Jika demikian, adanya itu tidak tergantung dari badan.[10]
Menurut
pandangan ini jiwa tak mungkin lepas dari badan. Berarti di satu
sisi sama saja kalau badan dan jiwa itu menyatu. Di sisi lain mugkin tidak,
karena jiwa ada sebelum ada di badan dan adanya jiwa tidak tergantung dari
badan. Kalau jiwa dan badan menyatu maka dalam hal ini ada
pertentangan. Ini bertentangan dengan teori yang mangatakan bahwa jiwa adalah
tempat tinggal badan tetapi sama sekali tidak punya hubungan dengan badan. Dari
sini, penulis menyimpulkan bahwa pembahasan Pythagoras tentang badan dan
jiwa belum selesai.
Pada
pembahasan lain Pythagoras mengatakan bahwa jiwa adalah sesuatu yang berdiri
sendiri, yang tidak berjasad serta tidak dapat mati. Oleh karena hukumlah maka
jia terbelenggu dalam tubuh. Dengan penyucian (katharsis), orang dapat membebaskan jiwanya dari belenggu tubuhnya,
sehingga setelah orang mati jiwanya akan mendapatkan kebahagiaan. Akan tetapi
barang siapa tidak menyucikan diri atau penyucian dirinya kurang, jiwanya akan
berpindah ke kehidupan yang lain, sesuai dengan keadaanya, baik berpindah ke
binatang, ke tumbuh-tumbuhan atau ke manusia.[11]
III.
Kesimpulan
Pythagoras sangat
ketat dengan pengajaran khususnya pengajaran tentang jiwa. Bahkan para muridnya menerapkan ajaran ini. Ada peraturan-peraturan mengenai pakaian dan
mengenai pantang, hal mana tentu mempunyai hubungan dengan ajaran Pythagoras
tentang perpindahan jiwa.[12]
Ajaran Pythagoras yang diterapkan pada para muridnya ini tentu bukanlah sesuatu
yang sempurna dan tanpa cacat. Perdebatan mengenai badan dan jiwa manusia belum
selesai. Mungkin tak ada lagi yang bisa menjelaskan bagaimana posisi jiwa dan
badan manusia saat itu sehingga teori Pythagoras ini berhenti di sini.
Bagian akhirnya menyisakan pertanyaan. “Apakah badan jiwa menyatu?” “Apakah mereka berpisah?” Hal ini belum dijelaskan dalam teori Pythagoras. Singkatnya bahwa teori ini belum sempurna. Apa yang dibicarakan dalam teorinya hanyalah sebatas ide awal. Di masa selanjutnya mungkin ide ini akan berkembang dan sampai pada penemuan mengenai posisi badan dan jiwa.
Teori Pythagoras ini masih bertentangan. Pythagoras mengatakan bahwa badan adalah tempat tinggal jiwa namun tidak ada hubungan sama sekali dengan jiwa. Pythagoras juga mengatakan bahwa adanya jiwa tidak tergantung dari badan. Bagaimana mngkin keduanya bisa seperti ini?
Belum ada penjelasan yang memuaskan mengenai hubungan atau kedudukan dari badan dan jiwa. Keduanya tentu memiliki hubungan erat yakni badan adalah tempat tinggal jiwa, tetapi mengapa keduanya tidak ada hubungan sama sekali? Teori Pythagoras menyisakan pertanyaan.
Bagian akhirnya menyisakan pertanyaan. “Apakah badan jiwa menyatu?” “Apakah mereka berpisah?” Hal ini belum dijelaskan dalam teori Pythagoras. Singkatnya bahwa teori ini belum sempurna. Apa yang dibicarakan dalam teorinya hanyalah sebatas ide awal. Di masa selanjutnya mungkin ide ini akan berkembang dan sampai pada penemuan mengenai posisi badan dan jiwa.
Teori Pythagoras ini masih bertentangan. Pythagoras mengatakan bahwa badan adalah tempat tinggal jiwa namun tidak ada hubungan sama sekali dengan jiwa. Pythagoras juga mengatakan bahwa adanya jiwa tidak tergantung dari badan. Bagaimana mngkin keduanya bisa seperti ini?
Belum ada penjelasan yang memuaskan mengenai hubungan atau kedudukan dari badan dan jiwa. Keduanya tentu memiliki hubungan erat yakni badan adalah tempat tinggal jiwa, tetapi mengapa keduanya tidak ada hubungan sama sekali? Teori Pythagoras menyisakan pertanyaan.
Daftar pustaka
Bertens,
K.1999. Sejarah Filsafat Yunani (edisi
revisi).Yogyakarta: Kanisius.
Copelston, F. 1946. A History of Philosophy vol i.
Cambridge: Cambridge university press.
Sudiarja, A (ed). 2006. Karya Lengkap
Driyarkara. Jakarta, Yogyakarta: Gramedia, Penerbit Buku KOMPAS, Kanisius.
Harun
Hadiwijono. 1980. sari sejarah filsafat barat 1. yogyakarta:
Kanisisus.
Hassan Shadily. ? Ensiklopedi
Indonesia (edisi khusus). Jakarta: P.T.Ichtiar Baru—Van Hoeve.
*Karangan ini dibuat pada semester ganjil 2008/09 di STF Driyarkara Jakarta
Cempaka Putih 21/11/2011
Gordi Afri
[1] Sudiarja, A
(ed). Karya Lengkap Driyarkara. hlm.
1090.
[2] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi).
hlm. 42.
[3] Ibid.
[4] Sudiarja, A
(ed). Karya Lengkap Driyarkara. hal.
1092.
[5] Copelston, F. A History of Philosophy vol
i. hlml.29, “The origins of
the Pythagorean Society, like the life of the founder, are shrouded in obscurity.”
[6] Ibid
“But the Pythagorean
School had a
distinguishing characteristic, namely, its ascetic and religious character.”
[7] Menurut Ensiklopedi Indonesia Reinkarnasi berasal dari kata Latin incarnatio = mengambil bentuk manusia; caro = daging/tubuh. Dengan demikian Reinkarnasi berarti proses penjelmaan kembali sewa atau roh leluhur
ke dalam tubuh manusia, binatang atau makhluk lain.
[8] Bertens, K. Sejarah
Filsafat Yunani (edisi revisi). hlm. 44.
[9] Ibid.
[11] Harun Hadiwijono. sari
sejarah filsafat barat
1. hlm. 19-20.
[12] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi).
hlm. 43.