Halloween party ideas 2015

foto ilustrasi dari internet
Berbaring di tempat tidur saat sakit kadang dilihat sebagai tindakan pasif. Tak banyak yang bisa dilakukan selain tidur, berbaring, dan menunggu kunjungan. Sebetulnya, tindakan itu bukan melulu pasif. Tampaknya pasif tetapi bisa juga aktif. Ide cemerlang kadang muncul dari tempat tidur. Meskipun oleh sebagian penulis novel atau cerita pendek, ide itu muncul di toilet.

Beberapa teman menceritakan pengalamannya saat  sakit. Kerinduan akan kunjungan dari sesama adalah kerinduan terbesar saat sakit. Menyendiri di kamar membuka tabir kesepian. Tak ada yang bisa diajak bicara. Sendiri, hanya bisa memandang apa yang bisa dipandang dalam kamar.

Selebihnya ide liar melayang ke mana-mana, lamunan menembus tembok kamar. Ini pertanda si sakit juga berpikir. Selain itu, pergulatan dengan penyakit menjadi menu setiap saat. Di atas semua ini ada pengalaman terdalam yakni kerinduan akan kehadiran orang lain di kamar.

Kadang orang enggan membantu si sakit. Macam-macam alasan bisa diajukan. Bukan mantri/bidan/perawat/dokter, takut terjangkit, tidak ada yang bisa diberikan buat si sakit, takut mengganggu, bukan jam besuk, dan sebagainya. Yang dibutuhkan si sakit sebenarnya hanya satu, yakni kehadiran kita. Syukur kalau bisa menyapanya, bisa berbagi cerita dengannya. Yang lain tidak terlalu mendesak baginya.

 Seorang kakek yang bergulat dengan penyakit AIDS yang dideritanya tidak mengharapkan kesembuhan dari pengunjungnya. Ia tahu penyakitnya tidak mudah disembuhkan. Harapan untuk sembuh kecil. Namun, ia mengharapkan kehadiran orang lain di sampingnya. Memberinya senyum saja sudah merupakan kebahagiaan baginya.

Beberapa teman membenarkan hal ini. Ketika sakit, kerinduan terbesar adalah dikunjungi teman. Betapa sepinya berada di kamar pada siang hari. Saat-saat itulah muncul kerinduan untuk dijenguk. Teman yang sekadar menyapa dari pintu saja merupakan sebuah penghiburan bagi si sakit. Beberapa teman mengakui kalau sapaan semacam itu mengusir kesepian yang menghinggapinya selama sakit.

Penulis salut dengan sepasang suami istri yang dengan berani mengajak berbicara kepada pasien di sebuah rumah sakit. Mulai dengan perbincangan hangat. Rupanya mereka tahu, bercerita adalah hal yang dibutuhkan si sakit. Lama-lama mereka berdoa untuk kesembuhan si sakit. Meski tidak seiman dengan mereka, penulis yang waktu itu sedang sakit  menghargai usaha mereka untuk berdoa. Kehadiran mereka menciptakan suasana baru.

Lebih mudah mengalami Tuhan yang mencintai manusia saat sakit ketimbang saat sehat. Secara fisik, si sakit lebih banyak diam dan pasif. Saat itulah disadari betapa ia rindu akan Tuhan yang bisa menguatkan dan menyembuhkannya. Kesadaran ini agak beda ketika sehat di mana manusia lebih berperan aktif dalam aktivitasnya. Tuhan pun disingkirkan jauh dan sama sekali hampir tidak mendapat tempat di hatinya.

Sebenarnya Tuhan itu ada di mana-mana. Dia melampaui ruang dan waktu. Dia ada baik waktu sakit maupun sehat. Dia ada di mana-mana. Dia bukan melulu ada di Bait Allah, Gereja, Masjid, Kuil, Vihara, Pura, Pohon, Batu, dan tempat tinggal Tuhan lainnya. Ia ada di mana-mana. Dan yang paling sederhana kehadirannya adalah Dia ada dalam hati setiap manusia. Manusia pun berhak untuk “menyadari” dan “tidak menyadari” kehadirannya.

Di sini teruji keyakinannya. Atau memilih yakin “Tuhan ada di hati” atau memilih “Tuhan tidak ada di hati”. Dua-duanya merupakan keyakinan yang paling dalam dari manusia. Bagi yang yakin akan mengatakan bahwa pernapasan adalah bukti bahwa Dia hadir. Dia memutuskan sesuatu setelah mengalami kebimbangan adalah bukti Dia hadir.

Namun, bagi yang tidak pun akan mengatakn bahwa keputusan itu melulu merupakan tindakan saya tanpa intervensi pihak lain. Begitu juga pernapasan adalah pemberian alam. Memang manusia mengalami pernapasan sebagaimana adanya makhluk lain di bumi.

Bagi si sakit, kehadiran dan kunjungan dari orang sekitarnya merupakan bukti cinta Tuhan. Tuhan hadir lewat pengunjung. Bukti cinta paling nyata yang bisa dirasakan oleh si sakit. Dia kiini tahu Tuhan hadri dan mendampinginya selama sakit. Tuhan bukan lagi Dia yang jauh tetapi Dia yang dekat yakni di sampingnya.

Cempaka Putih, 6 Mei 2011
Gordy Afri  

Paskah tahun 2011. Dimulai dengan hari Kamis Putih dan berakhir hari Minggu Paskah. Perayaan hari pertama dimulai pagi di Gereja Katedral, Jakarta. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Monsinyur Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta. Para Imam Katolik memadati gereja ini. Datang dari berbagai paroki di KAJ dan juga ada imam projo dari luar KAJ. Para pastor/imam ini adalah perpanjangan tangan uskup dalam melayani umat.

Selain itu, umat yang hadir juga banyak. Tenda yang dipasang panitia di luar dan samping gereja dipadati umat. Perayaan ini memang merupakan perayaan para imam. Namun, imam juga kan dekat dengan umat. Ibarat gembala dan domba. Maka tak ada salahnya dunk kalau para “domba” ini ikut hadir.

Dalam penggembalaannya, para pastor perlu dikuatkan dengan doa dan dukungan umat. Di samping itu, mereka juga mesi setia dengan panggilan mulia itu. Itulah sebabnya dalam perayaan hari ini, mereka semua membaraui janji imamat mereka di hadapan uskup. Semoga tetap setia ya…para pastor/romo/imam. Proficiat.

Sore, pukul 6.30, komunitas mengadakan misa Kamis Putih. Perayaan mengenangkan perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya. Pada perayaan misa ini, kami mengadakan acara pembasuhan kaki (saling membasuh kaki). Misa yang dipimpin oleh Rm Wawan, SX ini berlangsung dengan khidmat. Dia membagikan pengalaman misionernya selama berkarya di Taiwan. Dia juga mengingat konfrater di sana yang juga merayakan paskah seperti umat Katolik di seluruh dunia.

Dalam khotbahnya dia mengatakan bahwa pembasuhan kaki itu bukan tindakan bodoh dan buruk. Itu merupakan sebuah bentuk pelayanan mulia dari seorang guru kepada murid-muridnya (Yesus dan para murid-Nya). Lebih lanjut ia menerangkan bahwa kesatuan guru dan murid menjadi kegembiraan besar kita, umat Kristiani bagi dunia. Kegembiraan ini kiranya diwartakan kepada semua orang.

Menjelang tengah malam, kami mengikuti doa tuguran di gereja Paroki Paskalis, Cempaka Putih. Tuguran mengingatkan umat Katolik akan doa Yesus di Taman Getsemani. Jadi, malam ini umat Katolik ikut ambil bagian dalam doa bersama Yesus di taman itu. Sekarang, umat melakukannya di hadapan Sakramen Mahakudus yang disimpan dalam sibori (sibori, tempat penyimpanan Sakramen Mahakudus). Yesus bukan saja dekat dengan manusia dalam sibori itu tetapi juga dekat dengan setiap orang dalam hati.*Semua gambar dari google images



Keesokannya (Jumat Agung), umat Katolik mengenangkan peristiwa Yesus menderita karena dideritakan demikian oleh manusia. Disiksa dengan caci-maki, dihasut dengan kata-kata kasar, dipukul, dibebankan dengan kayu salib berat. Semuanya berat. Fisik lemas karena didera begitu hebat. Dia pun jatuh, tak tahan, dan wafat di salib lalu dimakamkan. Telapak tangan dan kaki ditembusi paku, dirapatkan dengan kayu salib. Kejamnya manusia. Dari atas salib itu Yesus berseru, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani, Allahku, Allahku mengapa Engkau tinggalkan Aku?” Seruan yang diartikan sepihak oleh para serdadu bahwa Yesus memanggil Bapa-Nya dan menyelamatkan diri-Nya. Yesus tidak turun dari salib. Seruan itu membuka mata mereka kemudian bahwa Yesus benar-benar Anak Allah. Beberapa di antaranya sadar dan membuka hati.

Visualisasi ini juga yang digemakan lagi oleh sejumlah mahasiswi/a dari berbagai kampus di Jakarta Timur. Saya dan ketiga teman diundang mengikuti acara ini. Mereka ini termasuk orang yang berani dan tidak segan mengungkapkan iman di tengah orang berbeda keyakinan. Ini baru namanya iman yang mengakar dalam diri dan bukan iman tempelan.

Yesus yang diperankan seorang mahasiswa diarak menuju tempat wafatnya. Visualisasi jalan salib ini dibuat di kampus Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun. Beberapa penghuni kampus dan pemilik warung di sekitar rute heran-heran dan terharu melihat Yesus disiksa sementara Veronika yang diperankan seorang mahasiswi mengusap wajahnya. Mereka mungkin tak tahu arti di balik semua ini tetapi bagus kalau mereka melihat dan menghormati peristiwa ini. 

Sabtu Suci. Hari yang disebut juga Malam Paskah. Malam Kebangkitan Tuhan Yesus. Kebangkitan yang unik. Setelah menderita, wafat, lalu bangkit. Semuanya dihitung 3 hari sejak Ia wafat di kayu salib. Ini mengingatkan kita akan Syahadat Para Rasul, “…pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati…” Malam ini kegembiraan itu muncul setelah menyaksikan peristiwa sedih kemarin. Namun apakah kita juga bangkit dari kebiasaan buruk kita?

Peristiwa Kebangkitan malam ini merupakan sebuah kerinduan. Tak salah kalau Pastor Paroki Kelapa Gading, Rm Antonius Gunardi, MSF mengatakan kalau anak-anak dan para remaja hari-hari ini merindukan kedatangan Justin Bieber (17 tahun) asal Kanada, apakah umat sekalian juga merindukan Kebangkitan Yesus? Tentu saja ada kerinduan. Ia melihat umat yang sejak pukul 3 sore tadi sudah menduduki bangku-bangku dalam gereja. Mereka takut tidak dapat tempat duduk. Ini sebuah kerinduan untuk menghadiri misa malam paskah. Kerinduan ini kiranya mengubah kebiasaan buruk kita. Yesus hadir membawa pembaruan dalam hati umat masing-masing.

Minggu Paskah. “Pada hari pertama minggi itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur…” Yesus tidak ada dikubur. Ia memang sudah bangkit dan duduk di sisi kanan Bapa. Tak tahu kapan persisinya Yesus meninggalkan kubur itu. Padahal hari Jumat baru dikuburkan. Jumat, Sabtu, dan Minggu pagi hilang. Pas tiga hari. Ya….Dia bangkit pada hari ketiga. Selesailah rangkaian paskah. Namun makna paskah tentu saja terus diperbarui. Selamat Paskah.

Cempaka Putih, 28 April 2011
Gordy Afri



Judul : Ketika Burung-burung Berhenti Berdoa
Penulis: Anthony Harton
Penerbit: Fidei Press, Jakarta, 2006
Tebal: viii +97 halaman

Hidup doa merupakan tema yang tak akan habis dibahas. Ketika kita mencoba mendefinisikan doa dengan sebuah batasan tertentu muncul definisi lain yang menandingi atau melengkapinya. Ini berarti bahwa hidup doa itu sendiri mempunyai kekayaan spiritual yang mesti dicari terus menerus. Pertanyaan mendasarnya adalah untuk apa (sebenarnya) kita berdoa?

Mendengar kata “doa” bayangan kita langsung tertuju pada Dia di seberang sana. Ada yang menyebutnya Tuhan, Dewi/a, Guru, dan sebagainya. Intinya kita membayangkan relasi manusia dengan Dia yang menciptakan manusia dan mempunyai kekuatan yang tak sebanding dengan manusia. Dalam relasi itu terjadi komunikasi. Agar relasi itu kuat kita mesti (perlu) berdoa. Sebab, “Berdoa perlu dan penting karena dengan doa kita menjalin komunikasi dengan Tuhan” (hlm. vii).

Buku KETIKA BURUNG-BURUNG BERHENTI BERDOA bukan buku petunjuk praktis bagaimana berdoa. Meskipun mesti diakui pula bahwa dengan membaca buku ini pola doa kita bisa saja berubah. Penulis buku ini menjadikan karyanya sebagai “bahan renungan, media pengingat, reminder tentang hal-hal yang mestinya kita lakukan, dan juga hal-hal yang sudah kita kerjakan agar hasilnya lebih baik lagi bagi siapa saja yang berada di sekeliling kita” (hlm. vii).

Ada banyak buku tentang petunjuk praktis berdoa. Namun, kita tentu saja tidak puas dengan satu cara berdoa. Kita ingin mencari cara yang cocok untuk kita. Kecocokan ini pun dinamis. Kadang cara A cocok ketika kita berdoa di tempat A dan belum tentu di tempat B. Singkatnya kecocokan itu tergantung situasi dan tempat kita berdoa.

Menurut pembacaan saya atas buku ini, penulis buku membagi dua kelompok orang berdoa. Kelompok pertama menganggap doa sebagai kegiatan ala kadarnya karena merupakan rutinitas belaka. Sementara kelompok kedua menganggap doa sebagai sebuah kebutuhan dan sebagai bentuk ungkapan syukur dan hormat pada Tuhan (Bdk. Hlm vii).  Keduanya melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari. Yang terpenting—menurut hemat saya—adalah tindak lanjut dari doa kita. Di situ dengan mudah kita bisa lihat keseriusan orang berdoa. Penulis buku ini melukiskan dengan tepat tentang hal ini. “Di samping berdoa, kita juga harus tetap berkarya, bertindak praktis dan tepat terutama pada saat-saat penting” (hlm. vii).

Buku ini mempunyai kelebihan yang berguna bagi pembaca yakni kisah-kisahnya (ada 36 kisah) menarik dan mudah dicerna. Kisah-kisah yang diangkat dari kehidupan sehari-hari. Simak saja kisah nomor 7 Sepiring Teh Panas dan 22 Aku Ingin Mengubah Dunia. Cerita nomor 7 menggambarkan hati manusia bagai sebuah piring yang berisi teh panas. Teh panas menggambarkan masalah yang dihadapi manusia. Teh itu baru bisa diminum ketika dingin karena berada di piring ketimbang di gelas. Sementara cerita nomor 22 berisi nasihat untuk mengubah diri sebelum mengubah dunia. Ini sebuah unsur baru yang ditampilkan buku ini.

Selain itu, pada akhir kisah, penulis mencantumkan kutipan berisi nasihat atau inti kisah. Ada yang ditulis sendiri oleh penulis buku (misalnya kisah nomor 1,4, dan 5) dan ada pula yang diambil dari kebijaksanaa Zen, (misalnya kisah nomor 2,18, dan 27), kata-kata bijak tokoh tertentu (Robert Kenedy, Douglas Mallock, keduanya dikisahkan dalam bagian kisah nomor 8) atau dari cerita rakyat (CR Jepang pada kisah nomor 10 dan sebuah kisah dari Filipina pada nomor 36 ). Nasihat-nasihat bijak ini membanty pembaca memahami makna sebuah pengalaman dan kisah.

Buku yang ditulis dengan kosa kata yang mudah dimengeri dan didesain dengan lukisan menarik pada bagian luar ini menjadi lebih lengkap jika semua kisah diakhiri dengan kutipan berupa nasihat atau inti kisah. Entah mengapa, penulis tidak mencantumkan nasihat di akhir beberapa kisah. Misalnya kisah nomor 12 (?),13,15,23,29,31,32,33,34. Mungkin penulis mempunyai alasan tertentu yang tidak dicantumkan dalam buku ini.

Selain itu, judul buku tampaknya belum diterangkan kepada pembaca. Judul itu rupanya dibuat sendiri tanpa ada kaitan langsung dengan judul 36 kisah di dalamnya. Tak satu pun dari 36 kisah yang memberi judul KETIKA BURUNG-BURUNG BERHENTI BERDOA. Ada satu kisah yang mirip yakni KETIKA AKU BERHENTI BERDOA, kisah nomor 17. Mungkin kata “Burung-burung” mau menggani kata “Aku”(?).

Kekurangan lain yang kiranya perlu diperhatikan pada cetakan atau edisi berikutnya yakni susunan daftar isi. Susunan yang sesuai hanya pada kisah nomor 1 sampai11. Dalam kisah selanjutnya mulai ada kekeliruan. Misalnya kisah nomor 12 dan 13 ditulis berada di halaman 26 dan 28 padahal keduanya berada di halaman 27 dan 29.

Namun, ini hanya hal teknis yang tidak mengurangi mutu isi buku. Buku ini cocok dibaca oleh siapa saja yang ingin memperkaya pengalaman tentang hidup doa dan menyegarkan kisah-kisah harian. Buku ini bisa menjadi inspirasi dan menjiwai setiap aktivitas kita dengan doa.

Cempaka Putih, 17 April 2011
Gordy Afri


Powered by Blogger.