Pendahuluan
Tulisan ini dibagi empat bagian. Bagian pertama menjelaskan pengertian Substansi menurut Spinoza (Baruch dpe Spinoza, 1632-77). Bagian kedua menjelaskan dua konsep yang berkaitan dengan konsep substansi yakni konsep ‘attribute’ dan ‘modus’. Bagian kedua ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari pengertian substansi pada bagian pertama. Bagian ketiga menjelaskan konsep Allah atau Alam sebagai kenyataan tunggal. Bagian keempat menjelaskan konsep Allah sebagai substansi tak terhingga. Tulisan ini ditutup dengan kesimpulan.
Substansi menurut Spinoza
Spinoza—seperti Descartes—ingin menemukan jaminan atau pegangan yang pasti bagi segala bentuk pengetahuan. Pegangan yang pasti itu bagi Spinoza adalah konsep substansi. Substansi menurut Spinoza adalah sesuatu yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri.[i] Dalam rumusan lain Spinoza mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya.[ii] Konsep substansi itu sudah terbentuk pada dirinya sendiri. Spinoza memahami substansi sebagai suatu kenyataan yang mandiri tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain. Substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain, dan tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain (causa sui: penyebab dirinya sendiri). Spinoza berpendapat bahwa ada satu dan hanya satu substansi, dan substansi itu adalah Allah. Ia tidak setuju dengan Descartes yang mengatakan ada tiga substansi yang saling berkaitan. Substansi ini menurut Spinoza bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual. Sifat lain dari substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak (artinya sama sekali tidak bergantung pada yang lain), dan tunggal. Menurut Spinoza yang memenuhi semua definisi ini adalah Allah. Allah mempunyai sifat abadi, tidak terbatas, mutlak, tunggal, dan utuh.[iii]
Allah adalah substansi menurut Spinoza maka Allah adalah sesuatu yang ada pada dirinya dan dipahami melalui dirinya sendiri; Allah adalah sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya; Allah adalah suatu kenyataan yang mandiri tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain; Allah tidak berelasi dengan yang lain; Allah tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain; Allah bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual. Kalau demikian bagaimana Spinoza mengetahui atau mengenal Allah yang tak terbatas kalau Allah itu hanya bisa dipahami melalui dirinya sendiri? Bagaimana mungkin pikiran Spinoza yang adalah manusia dan terbatas mengenal Allah yang tak terbatas itu? Di sinilah letak rasionalisme Spinoza. Rasio manusia—menurut Spinoza—mampu mengenal dan menjelaskan seluruh realitas berdasarkan asas atau prinsip pertama yang adalah substansi itu sendiri.[iv] Rasio itu pula yang memampukan Spinoza untuk menjelaskan substansi tak terhingga atau Allah itu. Dengan kata lain, Allah yang sedemikian tak terhingga itu bisa dijelaskan dengan kekuatan rasio manusia. Namun sebetulnya pikiran manusia itu adalah bagian dari pikiran tak terbatas dari Allah.[v] Pikiran manusia—dalam hal ini Spinoza—bisa menjelaskan sesuatu yang tak terbatas, yang melampau daya tangkapnya karena masih merupakan bagian dari yang tak terbtas itu. Yang tak terbatas itu adalah Allah dan pikiran manusia yang menjelaskan Allah itu merupakan bagian dari yang tak terbatas itu.
Dua konsep yang berkaitan dengan konsep substansi
Spinoza menjelaskan dua konsep yang berhubungan dengan konsep substansi yakni konsep attribute dan modus. Attribut atau atribut di sini berarti segala sesuatu yang ditangkap intelek sebagai hakikat substansi, sedangkan modus adalah hal-hal yang berubah-ubah pada substansi.[vi] Atribut merupakan sifat atau ciri khas yang melekat pada substansi dan modi merupakan berbagai bentuk atau cara keberadaan dari substansi (dari kata modus, bentuk tunggal kata benda Latin yang berarti ‘cara’).[vii] Keluasan (ekstensi) menurut Spinoza adalah sebuah attribut karena kita tangkap sebagai hakikat benda-benda jasmani. Sedangkan warna, ukuran, dst adalah modus. Keluasan juga merupakan attribut Allah yang adalah substansi tak terhingga. Keluasan bisa dimengerti sebagai hakikat dari Allah, dan juga sebagai sifat atau ciri khas yang melekat pada Allah. Allah mempunyai sifat keluasan. Tampaknya keluasan yang dimaksudkan Spinoza di sini adalah sesuatu yang tak terhingga. Seperti konsep Spinoza yang dikenakan pada Allah yakni konsep substansi tak terhingga. Allah dimengerti sebagai sesuatu yang tak terhingga. Pikiran menurut Spinoza adalah attribut dari substansi tunggal yaitu Allah. Pikiran memiliki modus-modus, misalnya aliran tertentu, imajinasi tertentu, dst. Pikiran juga bisa dimengerti sebagai hakikat dari Allah, dan juga sebagai sifat atau ciri khas yang melekat pada Allah. Hakikat dari Allah adalah pikiran, dan sifat atau ciri khas dari Allah itu sendiri adalah pikiran (berpikir).
Allah atau Alam adalah kenyataan tunggal
Spinoza mengatakan bahwa dunia hanyalah satu substansi dengan kedua attribut yakni keluasan dan pikiran. Kita bisa melihat dunia dari attribut pikiran, dan kita menyebutnya ‘Allah’ tapi juga bisa melihatnya dari attribut keluasan dan kita menyebutnya ‘alam’.[viii] Dengan kata lain dunia juga mempunyai dua hakikat atau ciri khas yang melekat padanya yakni keluasan dan pikiran. Dari sini dapat dimengerti bahwa melihat dunia dari segi pikiran sama dengan melihat Allah. Sebaliknya melihat dunia dari segi keluasan sama dengan melihat alam. Pikiran (thought) di sini meliputi kesadaran (consciousness) dan pikiran itu sendriri (thought) sedangkan keluasan (extension) meliputi tempat atau ruang (space) dan zat atau bahan (matter).[ix]
Kalau Allah adalah satu-satunya substansi maka segala yang ada harus berasal dari Allah.[x] Semua yang ada di atas alam ini; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dst berasal dari Allah. Semuanya ini tidak lain adalah cara berada dari Allah. Keberadaan dari semuanya ini bergantung pada Allah. Maka, bisa dikatakan bahwa alam dan segala isinya identik dengan Allah. Lalu apa bedanya Allah dan Alam? Yang berbeda hanyalah istilah atau sudut pandangnya saja. Sebagai Allah, alam adalah natura naturans (alam yang melahirkan). Sebagai dirinya sendiri, alam adalah natura naturata (alam yang dilahirkan).[xi] Dari sini, Spinoza menyimpulkan bahwa Allah atau Alam adalah kenyataan tunggal. Kenyataan tunggal di sini berarti satu kesatuan. Maka, pandangan Spinoza ini disebut sebagai monisme, yakni keyakinan bahwa segala yang ada merupakan suatu kesatuan dan pada akhirnya segala-galanya adalah satu.[xii] Spinoza menyebutnya Deus sive Natura (Allah atau alam).
Penjabaran lebih jelasnya bisa dilihat pada skema di bawah. Alam, sebagai Allah atau natura naturans mempunyai sifat abadi, tidak berubah, tersembunyi dan unik. Sedangkan, alam sebagai alam mempunyai sifat sementara, berubah, kelihatan, dan berbeda. Sumber skema: ww.friesian.com/spinoza.htm. *Untuk lebih jelasnya pembaca mengecek ke alamat ini, karena tidak bisa dimasukkan ke laman ini.
Pandangan ini tentu saja berbeda dari ajaran agama-agama monoteis yang melihat Allah sebagai pencipta alam semesta. Allah yang dipikirkan Spinoza bukanlah Allah yang bersifat personal dan memisahkan diri dari ciptaannya. Menurut Spinoza, batu atau pohon yang tampak di hadapan kita itu tak lain daripada Allah yang menampakkan diri, maka alam semesta ini sakral dan religius. Segalanya ada dalam Allah termasuk manusia yang adalah pikiran Allah. Tidak ada yang di luar Dia. Tak heran kalau Spinoza menyebut Allah sama dengan aturan kosmos.[xiii] Kehendak Allah ia samakan dengan kehendak alam maka hukum-hukum alam itu merupakan kehendak Allah. Pandangan seperti ini disebut sebagai panteisme, ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta.[xiv] Dari sini dapat disimpulkan bahwa Allah dan Alam merupakan kenyataan tunggal. Keduanya adalah satu substansi. Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa istilah Allah dan Alam muncul karena berbeda sudut pandang dalam melihat substansi ini.
Allah sebagai substansi tak terhingga
Pertanyaannya adalah mengapa Allah disebut sebagai substansi tak terhingga? Paparan di atas hanya menyebut Allah sebagai substansi tak terhingga tetapi alasan sampai menyebut demikian belum dijelaskan. Spinoza—seperti pada paparan di atas tadi hanya menyebut dua dari sifat atau hakikat Allah sebagai substansi yakni keluasan dan pikiran atau dalam sumber lain diterjemahkan sebagai pemikiran dan pengembangan.[xv] Kalau argumen Spinoza hanya sampai di sini, konsepnya tentang Allah sebagai substansi tak terhingga bisa diproblematisir. Dia hanya menyebut dua sifat Allah maka konsep Allah itu hanya terbatas pada dua itu. Dengan demikian konsepnya bukan lagi substansi tak terhingga atau Allah tetapi substansi terbatas atau Allah. Terbatas karena hanya terdapat dua sifat dari Allah, dan bukan banyak atau tak terhingga.
Spinoza tidak berhenti di sini. Ia menjelaskan lebih lanjut tentang konsep Allah sebagai substansi tak terhingga. Menyebut tak terhingga berarti ada banyak sampai tak bisa dihitung atau tak terhingga. Ia mengatakan bahwa Tuhan juga memiliki sifat-sifat lainnya yang tak terbatas jumlahnya, karena Dia tidak terbatas dalam setiap aspeknya; tetapi sifat-sifat lain tersebut tidak kita ketahui.[xvi] Di sinilah letak ketidakterhingga-an dari Allah. Hanya dua yang disebut Spinoza saja yang dapat diketahui dari sifat Allah. Masih banyak sifat lainnya yang tidak diketahui. Pemikiran Spinoza ini menjadi kuat dan jelas kalau melihat pengertian Allah menurut Spinoza. Allah merupakan sebuah substansi maka sebagai substansi tentu saja Allah itu tidak bisa dimengerti atau dipahami seluruhnya. Hakikat dari sebuah substansi tidak bisa dipahami sepenuhnya. Selain itu Allah menurut Spinoza bukan person atau pribadi seperti dipahami orang Kristen. Hakikat seorang pribadi yang terbatas saja tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh manusia apalagi hakikat Allah yang bukan pribadi tetapi sebuah substansi. Di sini menjadi jelas bahwa memang konsep substansi tak terhingga atau Allah menurut Spinoza itu bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian pertanyaan yang sempat dilontarkan penulis pada bagian awal juga bisa dijelaskan. Bagaimana mungkin pikiran Spinoza yang adalah manusia dan terbatas mengenal Allah yang tak terbatas itu? Pikiran manusia termasuk Spinoza memang terbatas tetapi tetap mampu menjelaskan sesuatu yang tak terbatas. Ia tetap konsisten pada pandangannya bahwa Allah itu adalah substansi tak terhingga karena ia melihat ketakterbatasan dari Allah. Dengan pikirannya yang terbatas ia menjelaskan bahwa masih ada sifat-sifat lain dari Allah yang tak terbatas namun sifat itu tidak dapat diketahui. Di sini tampak kekuatan rasio sebagai sumber pengetahuan (rasionalisme) sebagaimana dipikirkan Spinoza. Rasio mampu menunjukkan bahwa ADA yang tak terbatas dari Allah da hal itu tidak diketahui atau mungkin tidak bisa diketahui oleh manusia. Tetapi yang tak terbatas itu tetap ada.
Kesimpulan
Demikianlah pemaparan mengenai konsep substansi tak terhingga atau Allah menurut Spinoza. Bermula dari sebuah kekaguman akan tokoh Spinoza yang dengan tegas mengatakan Allah itu sebagai substansi tak terhingga sementara Allah itu sendiri hanya bisa dipahami melalui dirinya sendiri. Bagaimana Spinoza memahami sesuatu di luar dirinya (Allah) yang tak terhingga dengan pikirannya yang terbatas dan lagi pula hal yang di luar dirinya itu tidak berelasi dengan dia. Di sini mau diperlihatkan bahwa Spinoza adalah tokoh yang mengagungkan peran rasio dalam mencari sumber pengetahuan. Dia yakin bahwa rasio manusia yang terbatas itu mampu menjelaskan substansi tak terhingga atau Allah.
[ii] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[iii] Ibid.
[iv] Ibid. hlm. 206.
[v] Spinoza, seperti dikutip F. Budi Hardiman, hlm. 48.
[vi] Ibid. hlm. 47.
[vii] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[viii] F. Budi Hardiman, hlm. 48.
[ix] Bdk. Baruch Spinoza (1632-1677) dalam http://www.friesian.com/spinoza.htm
[x] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[xi] Ibid.
[xii] Franz Magnis Suseno, hlm. 194.
[xiii] Lih. Harry Hamersma, hlm. 11.
[xiv] KBBI, hlm. 1017.
[xv] Bertrand Russell, hlm. 749.
[xvi] Ibid.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat. Jakarta: Gramedia.
Hamersma, Harry. 1986. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tjahjadi, Simon Petrus L. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.
Post a Comment