SUmber gambar sini |
Mantan Presiden
Republik Indonesia Gusdur terkenal dengan lawak atau guyonannya. Pemilik nama
lengkap Abdurahman Wahid ini pandai menciptakan lawak. Teman-teman pasti ingat
Gusdur dengan guyonannya, Gitu aja kok repot.
Ungkapan sederhana yang mengandung pesan berharga.
Sejauh yang saya
ketahui dan saya lihat, Gusdur tidak pernah merumitkan sebuah masalah. Dia
tidak repot termasuk ketika menurunkan menteri yang adalah pembantunya dari
jabatannya. Dia juga tidak bertele-tele jika membantu warga minoritas yang
bermasalah. Tingkahnya ini cocok dengan guyonan terkenalnya, Gitu aja kok repot.
Dengan guyonan
sederhana inilah Gusdur menjalin relasi dengan banyak orang. Bukan hanya tokoh
penting sekelas almarhum Romo Mangun atau petinnggi agama lainnya, dia juga
bergaul dengan rakyat biasa. Lagi-lagi dalam pertemuan dengan warga dia tetap
menampilkan ciri khasnya, membuat lelucon.
Lelucon yang
membuat pendengarnya tertawa dan saling akrab. Nada hiburan amat ditampilkan dari
leluconnya. Di mana-mana memang pelawak itu pasti menghibur. Namun, menjadi
luar biasa ketika orang besar sekelas presiden membuat lelucon.
Lelucon tidak saja
membuat orang tertawa tetapi juga mendidik orang. Ada guyonan Gusdur yang
intinya mengajak orang untuk menjalin relasi dengan agama lain. Guyonan tentang
seorang pastor dan haji misalnya. Di situ tersirat pesan kalau pastor itu tidak
mempunyai istri. Jadi, Gusdur mau memperkenalkan kehidupan seorang pastor
Katolik kepada pendengarnya. Tidak tanggung-tanggung dalam guyonan ini, Gusdur
memakai tokoh agaman dari dua agama, Islam dan Katolik.
Hidup ini tidak
perlu terlalu serius. Meskipun rakyat Indonesia masih huru-hara berjuang mencari
sesuap nasi, alangkah baiknya sesekali bercanda, berlelucon ria, bersama
keluarga dan sahabat atau pun teman-teman Anda. Ini tentu saja tidak mudah. Ada
orang yang cenderung serius sehingga tidak mudah ketika berhadapan dengan
lelucon semacam ini. Memang untuk bisa berlelucon ria, kita mesti menempatkan
diri dalam waktu dan tempat yang tepat.
Sesekalilah dalam
keluarga Anda diciptakan guyonan yang membuat anggota keluarga terhibur. Asal
saja semuanya sudah berkumpul bersama. Tak perlu berlama-lama mengingat semua
memiliki kesibukan. Tertawa itu menambah umur, kata para psikolog. Apakah ini
benar atau tidak, yang jelas kalau tertawa dahi kita menjadi bersinar. Beda
dengan dahi para pengambil kebijakan yang cenderung serius dan menampakkan
kekerutan. Boleh jadi ramalan psikolog ini benar. Dahi kerut pertanda tua, dahi
bersinar pertanda muda.
Ramalan ini mungkin
tidak relevan ketika diterapkan dalam diri Gusdur. Dia mati cepat. Padahal dia
pelawak. Bukan pelawak komersial yang mau mencari uang dari jasa lawaknya. Dia
pelawak yang mau menyatukan masyarakat dalam suasana penghiburan. Ini persoalan
lain. Saya tidak tahu, mengapa Gusdur cepat-cepat meninggalkan kita. Mungkin
Tuhan menghendaki demikian. Untuk hal yang satu ini, kita manusia hanya bisa
meramal, Yang Kuasalah yang menentukan. Boleh jadi Gusdur memiliki penyakit fisik
yang membuatnya tidak bisa berlama-lama tinggal dengan kita.
Gusdur boleh pergi
namun ia sudah meninggalkan warisan berharga. Dia memberi ruang untuk warga
minoritas yang belum bisa mengekspresikan identitasnya. Mungkin Gusdur yang
memprakarsai pengakuan agama Konghucu di Indonesia. Ini hanya satu contoh bahwa
Gusdur merangkul semua orang, bukan hanya orang besar saja. Dalam sebuah
kesempatan, Gusdur ‘menegur‘ seorang pejabat yang memanggilnya Bapak Presiden.
“Panggil saja Gusdur,” katanya. Ini hanya sekadar contoh bagaimana Gusdur ingin
dekat dengan warga mana saja. Tentu dalam forum resmi sebutan Bapak Presiden
memainkan peran. Namun mungkin yang mau ditekankan Gusdur adalah jangan terlalu
kaku dengan wibawa jabatan.
Ngomong-ngomong kapan sih presiden tidak berwibawa? Seingat saya kemana-mana presiden
tetap berwibawa. Ia menjadi bapak keluarga misalnya, ia tetap berwibawa sebagai
bapak keluarga. Anak-anaknya tetap memanggil bapak atau mungkin tetap dengan
sebutan Bapak Presiden. Kalau demikian, mengapa Gusdur menyuruh pejabat itu
memanggilnya dengan sebutan Gusdur saja? Boleh jadi Gusdur mau dekat dengan
warganya. Kita, bangsa Timur memang menekankan tradisi sopan santun yang
disegani oleh bangsa-bangsa Barat. Kadang-kadang kesopanan ini membuat orang
kaku. Boleh jadi inilah yang mau didobrak Gusdur.
Saya tidak tahu
banyak tentang Gusdur. Namanya tenar di telinga saya ketika dia menjadi
presiden. Waktu itu saya masih SMA. Sekarang, saya mulai membaca riwayat hidup
dan rekam jejak beliau sehingga sedikit mengenalnya. Terima kasih presidenku.
CPR,
10/1/2012
Gordi
Afri
Post a Comment