Kalau Yesus tidak
Bangkit
Pagi Ini
Paus Fransiskus saat menyampaiakn pesan Urbi et Orbi
pada 5 april yang lalu, foto dari catholicnewsagency.com
|
Pagi hari memang waktu yang baik
untuk menyegarkan diri. Termasuk melihat apakah betul yang kita lihat itu sudah
jelas. Maria pergi kubur pagi ini dan melihat kubur kosong. Batu palang juga
sudah digulingkan. Tidak ada orang di sana. Betulkah kubur itu kosong? Betulkah
yang Maria lihat itu sudah jelas? Ataukah dia dihantui ketakutan sampai menghalanginya
untuk melihat yang sebenarnya? Maria memang melihat tetapi tidak jelas apa
sebenarnya yang terjadi. Apalagi dia langsung merasa takut menghadapi peristiwa
ini. Di sana rupanya ada seorang pemuda, berbaju putih, yang membuat Maria bisa
melihat dengan jelas.
“Jangan mencari Dia. Dia tidak ada
di sini. Dia sudah bangkit”, begitu kira-kira katanya pada Maria.
Dia sudah bangkit. Maklum, pagi
hari. Pagi-pagi buta. Kita bangun dari tidur dan Yesus bangun dari tidur
panjangnya. Dia memikul salib dan akhirnya wafat pada Jumat lalu dan hari ini,
Minggu pagi, Dia bangkit. Dia tidak ada di kubur. Kubur hanyalah tempat
istirahat sementara baginya. Dia akan bangkit dari kubur itu. Yesus memberi
kita gambaran, hidup kita kurang lebih seperti hidup Yesus. Kita mati dan
dikuburkan tetapi kita tidak tinggal dalam kubur itu.
Di kubur itu, kita singgah
sementara. Setelahnya—seperti Yesus—kita akan bangkit. Kubur itu seperti terminal
sementara. Terminal pusat, tempat banyak orang datang menunggu bus. Dan
memang kubur itu seperti terminal, dan bukan tujuan akhir. Dari sana kita akan
dibawa menuju tujuan akhir hidup kita. Tujuan akhir perjalanan kita.
Yesus sudah pergi dari terminal itu.
Itulah sebabnya Dia bangun dari situ. Orang mencarinya di situ tetapi Dia tidak
ada di situ. Maria dan para murid—seperti kita—sudah terlambat. Kereta sudah
pergi. Bis terakhir sudah berangkat. Kita kadang-kadang—seperti Maria dan para
murid—suka bangun terlambat. Suka mengulur waktu sampai ketinggalan kereta,
ketinggalan pesawat, ketinggalan bis. Ada juga yang datang hanya sampai di
terminal. Mereka tidak tahu mencari bis dengan jurusan yang mereka tuju. Mereka
datang hanya untuk mengantar keluarganya di terminal. Lebih dari mengantar,
mereka juga hanya mau melihat Yesus itu. Sayang, Yesus itu tidak ada di
terminal.
Yesus memang tidur di kubur yang
kita sebut sebagai terminal itu, tetapi Dia tidak tidur selamanya di sana.
Meski hanya sementara, orang-orang datang ingin melihatnya. Termasuk
kita—kiranya. Beginilah kadang-kadang gambaran iman kita. Iman sebatas sensasi.
Iman sebatas yang tampak dari luar. Iman seperti ini dimiliki banyak orang
dalam setiap agama.
Iman yang seolah-olah mendalam padahal
dangkal. Iman yang seperti air di kolam yang jarang dibersihkan. Iman
kolam ikan. Iman yang kelihatannya biru atau hijau dan dalam padahal
hanya 1 meter. Dalam 1 meter itu terdapat banyak plankton dan bunga-bunga air.
Itulah yang menghambat penglihatan. Iman yang hanya sebatas mau melihat tetapi
tidak mau mencari langkah berikutnya.
Maria dan para murid—seperti umat
Katolik di Paroki Santa Cristina hari ini. Kami tidak membayangkan akan ada
umat sebanyak ini. Baru kali ini gereja ini tidak bisa menampung umat yang
datang. Pastor paroki memberi salam kepada semua yang datang dan menegaskan bahwa
baru kali ini gereja penuh. Biasanya hanya 200 sampai 300 orang. Hari ini
diperkirakan lebih dari 400 orang. Ini sudah banyak untuk ukuran paroki di
tengah kota Parma ini. Tentu jumlah ini kecil dibanding gereja-gereja di
Jakarta, Jogja, Makasar, apalagi di Flores, Timor, Ambon, Bali, dan Papua.
Iman seperti ini kiranya perlu terus
dibina. Iman sejatinya tidak boleh statis tetapi dinamis. Iman perlu
perkembangan. Ini tentu tugas setiap orang beriman. Iman dengan demikian
menjadi sebuah pencarian. Entah pencarian dengan akal atau juga dengan
pengalaman sehari-hari. Iman yang bagi kelompok tertentu harus bisa
dipertanggung jawabkan. Tentu dengan akal. Iman yang bagi yang lain juga tak
perlu dipertanggung jawabkan dengan akal tetapi dinyatakan dalam perbuatan,
dalam kenyataan hidup sehari-hari. Iman seperti inilah kiranya yang juga dimiliki Maria dan para murid Yesus.
Dengan iman ini
mereka mencari Yesus. Pencarian mereka mungkin hanya sampai ‘terminal’ tetapi
ini adalah titik dasar untuk perjalanan iman selanjutnya. Iman memang kadang
sulit dimengerti. Dan justru seperti inilah yang dialami para murid. Mereka
hidup dan tinggal bersama Yesus namun butuh waktu bagi mereka untuk memahami
arti semua yang Yesus buat. Iman yang butuh pemahaman dan pencarian.
Kiranya umat
Katolik hari ini—yang merayakan Minggu Paskah, Pesta Kebangkitan Yesus—tidak
saja berhenti pada menjadi Katolik Napas alias Natal-Paskah. Tetapi, menjadi
orang Katolik yang menjiwai kesehariannya dengan nilai-nilai Katolik. Tidak
dipungkiri iman seperti ini kadang-kadang sulit. Lebih gampang menjadi Katolik
Napas ketimbang menjadi Katolik sepanjang hari, apalagi sepanjang
hidup. Bagaimana pun menjadi Katolik memang sejatinya adalah menjadi orang yang
selalu mencari. Tidak akan pernah puas dengan sebuah penemuan. Hari ini mungkin
bertemu Yesus dalam doa namun besok tidak ada lagi pengalaman perjumpaan
seperti ini. Tidak apa-apa. Meski Yesus tidak dijumpai sehari-hari, Dia
sebenarnya sudah berpesan, “Marilah dan Kamu akan melihatnya.” Marilah kita
mencari dan kita akan melihatnya.
Selamat Paskah
2015
Parma, 6 April
2015
Gordi
Post a Comment