FOTO, zujava.com |
Tak
sengaja kutemukan suatu sore. Kala itu, ibuku bekerja di dapur. Aku sibuk
sendiri. Ibuku memberikan begitu saja buku itu padaku. Mungkin, pikirnya, biar
aku juga sibuk sendiri. Dia juga mungkin berpikir, dia tak mau sibuk denganku.
Dia bekerja sehingga tidak boleh diganggu.
Kubuka
buku itu. Belum tahu membacanya. Maklum, belum sekolah. Belum tahu
menerjemahkan gambar. Tetapi, aku senang melihat gambar-gambar. Mungkin indra
melihatku waktu itu mulai berfungsi dengan baik. Dengan indra itulah aku bisa
merasa tertarik dengan gambar itu.
Gambar
seorang anak kecil—sepertiku waktu itu—menyusuri jalan setapak ke sekolahnya.
Di tangannya ada beberapa buku. Dia sendirian. Entah kakak dan adiknya di mana.
Atau mungkin dia seorang diri. Tidak ada yang menemaninya. Ibu tidak. Bapak
juga tidak. Kakek juga tidak. Nenek juga tidak. Tidak ada sopir atau tukang
ojek yang mengantarnya. Ceritanya lain kalau dia diantar sama bapak atau ibunya
atau sopir pribadinya. Tidak. Dia sendiri.
Dia
sendiri ke sekolah membawa bukunya. Entaha apa isi buku itu. Tidak dijelaskan.
Aku hanya berhenti dan terharu dengan buku yang dibawanya itu. Hanya dia dan
buku itu. Bagi dia, dia dan buku sudah cukup menjadi media untuk memperoleh
pendidikan. Mungkin perlu juga didikan guru dan orang tua. Itu perkara
kemudian. Di gambar itu, hanya dia dan buku itu.
Aku
pun menebak, gambar itu adalah seorang siswa. Lengkap dengan bukunya. Sebab,
tidak ada anak yang sedang memancing dan membawa buku. Anak yang sedang membawa
buku tentu anak sekolah.
Buku
itu diberikan begitu saja sama ibuku. Tidak berpikir kalau buku itu menjadi
guruku. Guru yang mengajarku melihat sesuatu dengan kacamata pendidikan. Guru
yang mengajarku tidak saja dengan membaca dan menulis tetapi juga dengan
melihat. Melihat gambar. Gambar anak sekolah. Buku itu guruku. Buku yang aku
kenang selalu.
PRM,
28/5/15
Gordi
Post a Comment