ILUSTRASI kaskus |
Sepak
bola sejatinya adalah permainan yang merakyat. Sebab, permainan ini adalah
permainan para rakyat kecil. Di mata rakyat kecil, permainan ini tidak pernah
menjadi polemik. Sepak bola bagi rakyat kecil adalah sebuah kegembiraan. Itulah
sebabnya rakyat di kampung-kampung beramai-ramai menonton pertandingan sepak
bola di lapangan kampung mereka. Sore hari orang tua tertawa menyaksikan
lucunya permainan anak dan cucu mereka. Kelelahan setelah seharian bekerja
terusir dengan menyaksikan pertandingan sepak bola.
Di
mata mereka, sepak bola menjadi sebuah hiburan. Karena hiburan, mereka tidak
pernah menjadikan sepak bola sebagai sumber konflik. Justru sepak bola menjadi
solusi konflik bagi mereka. Lihatlah keluarga yang berseteru, anak-anak mereka
sama-sama bermain di lapangan. Mereka tidak pernah mempersoalkan di luar
lapangan ada konflik. Tidak. Yang ada hanya perdamaian.
Sepak
bola sebagai hiburan rakyat kecil bukan saja milik Indonesia. Penulis pernah
membaca kisah hidup beberapa permainan dari salah satu negeri sepak bola,
Brasil. Mereka bermain di lapangan kampung. Bola pun bukan bola yang
diperebutkan para pemain internasional. Bolanya hanya berupa gulungan kertas
dan plastik. Beberapa film juga mengisahkan kehidupan masa kecil beberapa
pemain legenda Brasil ini. Penulis juga pernah merasakan asyiknya bermain
dengan bola hasil gulungan kertas, daun, bahkan plastik. Meski bola ini
sederhana, permainan kami justru mengasyikkan. Tidak ada pertengkaran. Tidak
ada sakit hati setelah kalah. Yang ada hanya puas.
Permainan
sepak bola bagi kami saat itu menjadi hiburan harian. Karena hiburan harian,
bagi kami, permainan itu bukan milik hari ini saja. Permainan kami seperti
bentuk bola itu sendiri, bulat. Hari ini kalah, besok menang. Bola tidak pernah
memihak satu posisi. Demikian juga kami waktu itu.
Sepak
bola Indonesia saat ini sedang dilanda rasa sedih. Rasa sedih pertama-tama
bukan kepada pengelolanya. Rasa sedih itu justru dialami rakyat kecil. Betapa
olahraga yang menjadi kebangaan dan kecintaan mereka itu kini menjadi sumber
polemik. Berbagai kepentingan muncul dari kelompok pengelola. Bahkan berbagai
kelompok ikut campur tangan. Saking ramainya campur tangan ini, pengelola sepak
bola internasional pun ikut nimbrung. Alhasil, sepak bola Indonesia disepak keluar
lapangan dari pengelola sepak bola internasional. Sepak bola Indonesia ibarat
bola yang tak berangin, yang tak layak masuk lapangan sepak bola, yang harus
ditendang keluar.
Rakyat
tentu tak rugi sebab mereka tidak ikut mengelola sepak bola ini. Rakyat kecil
si pelosok sana tetap mencintai sepak bola. Bagi mereka, sepak bola yang
bermasalah adalah sepak bola nasional. Sepak bola di kampung mereka tidak
bermasalah. Sepak bola di kampung mereka tetap menjadi tontonan yang
menyenangkan. Betapa malunya sepak bola nasional melihat sepak bola kampungan
ini. Satunya menciptakan suasana gembira, satunya lagi sedih.
Sepak
bola kampungan semestinya menjadi contoh bagi sepak bola nasional. Belajar
membuat sepak bola menjadi tontonan yang menarik, yang membuat tertawa. Sepak
bola memang sejatinya adalah hiburan. Dan karena hiburan sepak bola mestinya
membuat orang tertawa. Sepak bola bukan bisnis. Ketika bisnis masuk ranah sepak
bola, hancurlah jati dirinya. Bisnis masuk, mafia juga masuk. Italia dengan
pengalaman panjangnya mengelola sepak bola menjadi contoh. Beberapa klub sudah
tak tahan dengan mafia-bisnis. Bangkrut. Beberapa lagi menunggu waktu. Di mana
ada bisnis memang, di situ rawan mafia. Maka, kalau tidak hati-hati bisa-bisa
bangkrut.
Rakyat
kecil di Indonesia seperti penggemar sepak bola di Italia. Mereka kecewa ketika
sepak bola bukan lagi tontonan yang menggembirakan. Banyak yang bergurau, zaman
emas sepak bola, sudah berlalu. Kini datang zaman sepak bola mafia. Sepak bola
Indonesia juga kiranya demikian. Zaman emas sepak bola Indonesia sudah berlalu.
Sepak bola Indonesia kini adalah sepak bola bisnis. Sepak bola mafia.
Maka,
kalau mau kembalikan sepak bola pada tontonan yang menggembirakan, kembalikan
sepak bola itu pada rakyat. Jangan beri hak mengelola kepada pecinta bisnis.
Sebab, kepentingan mereka terselib di dalam nama besarnya dunia sepak bola.
Banyak teman saya dari negara sepak bola bertanya, bagaimana mungkin dari lebih
dari 250 juta penduduk Indonesia, tidak bisa menghasilkan klub sepak bola yang
bermutu?
Saya
diam saja mendengarnya. Saya bisa menjawabnya tetapi tidak saya jawab. Saya
mengerti maksud pertanyaannya tetapi tidak mau menanggapi. Ah dunia sepak bola
Indonesia memang belum bisa memberikan kepuasan kepada pecinta sepak bola Indonesia.
PRM,
2/6/15
Post a Comment