WAJAH YANG POLOS
Mungkin perlu wajah yang polos untuk menikmati keindahan seorang wanita. Itu berarti, wajah itu tanpa kosmetik. Dengan itu, kecantikan yang ada muncul dari kedalaman dan bukan dari penampakan polesan kosmetik. Di tengah kepolesan berbagai hal mulai dari kosmetik, makanan, sampai pada pengalaman iman, kita butuh kepolosan dalam berelasi dengan Tuhan.
Kepolosan seperti itu muncul dari suara seorang adik SD sore ini (18 Agustus). Suara itu terdengar indah dan menggugah.
“Kak, boleh kita foto bersama?” tanya seorang anak di Stasi Majuah-juah, Paroki St Paulus. Saya yang sedang mencek pesan masuk di hp sontak kaget dan membalas dengan senyum sambil menatap wajah adik itu.
“Ayo, tentu saja kita bisa berfoto bersama,” jawab saya sambil memeluknya.
Kami pun siap berfoto. Teman-teman lain dikumpulkan dalam barisan. Ada dua baris. Saya berada di barisan kedua bersama beberapa adik SD itu. Yang lainnya di depan. Ada beberapa hp yang mengabadikan barisan kami saat itu. Beberapa dari adik-adik ini bergiliran memberikan hp pada sang fotografer bergilir. Seolah-olah mereka tidak mau kehilangan momen ini. Boleh jadi, mereka merasa bangga sekali bisa berfoto bersama sore itu.
Saya senang dan bangga bisa berkumpul bersama mereka pada saat itu. Kalau boleh bilang, mereka adalah sahabat-sahabat yang langsung akrab pada saat itu. Kesempatan ini memang datang setelah Perayaan Ekaristi yang kami rayakan. Pada saat itu, saya membagikan pengalaman panggilan saya. Boleh jadi, mereka sudah mendengar cerita saya. Atau paling tidak, mereka sudah melihat saya. Jadi, tentu saja, kami bukan orang asing satu sama lainnya. Kami sudah saling kenal. Hanya saja masih disekat oleh rasa malu dan enggan sehingga permintaan itu pun seakan-akan begitu berjarak. Tetapi, justru permintaan itu adalah gambaran kepolosan seorang anak.
Permintaan adik tadi mengingatkan saya akan wajah-wajah polos di tempat lainnya yang saya temukan dalam kegiatan animasi panggilan ini. Wajah mereka menampakkan pemandangan yang bukan saja indah untuk dilihat, tetapi juga menarik untuk didekatkan. Itulah sebabnya, permintaan itu bukan saja sekadar ingin berfoto. Saya malah melihatnya sebagai sebuah ajakan untuk saling menguatkan dan berbagi. Hanya dalam kepolosanlah, kita bisa saling menguatkan dan berbagi.
Beberapa teman dari Italy berkomentar tentang foto itu. Ada yang bilang, Gordi, kamu sudah di jalan yang benar, anak-anak ditempatkan di barisan pertama, (Giorgio R). Boleh jadi ini sebuah keajaiban. Tidak ada pikiran untuk menempatkan mereka seperti itu sebenarnya. Tetapi, bagus juga ketika ada sahabat yang menilainya seperti itu.
Penilaian itu juga menaruhkan harapan yang indah akan masa depan Gereja dan Bangsa kita. Ada yang berkomentar, Gordi, sungguh indah melihat kamu berada di tengah masa depan ini. Merekalah harapan kita, (Nama samaran). Harapan memang selalu menjadi ciri khas anak-anak dan kaum muda. Maka, melihat mereka berarti melihat sebuah harapan. Kaum muda juga hendaknya memiliki harapan. Uskup Parma, Monsinyur Enrico Solmi dalam pesannya kepada kaum muda di Kota dan Keuskupan Parma pada 2016 yang lalu berpesan agar kaum muda memiliki harapan untuk bisa memperbaiki kota dan Gereja di kota Parma. Ia lalu menantang kaum muda dengan kata-kata seorang santo. Katanya, “Anak muda yang tidak memiliki mimpi adalah anak muda yang mati.”
Harapan selalu terkait dengan kehidupan. Itulah sebabnya, tanpa harapan sama dengan tanpa kehidupan. Dan, tanpa kehidupan sama maknanya dengan sebuah kematian. Entah kematian fisik, ide, kehidupan, pikiran, perbuatan, relasi, dan sebaginya.
Akhirnya, terima kasih kepada adik-adik yang polos dari Stasi Menjuah-juah. Wajah kalian akan saya ingat dan akan saya pandang terus menerus.
BM, 21/8/2017
Gordi
Post a Comment