GEREJA DI TENGAH SAWIT
Gereja hadir di mana-mana termasuk di tengah Kebun Sawit. Inilah yang kami lihat hari ini. Gereja memang selain berarti gedung fisik juga kumpulan umat yang percaya kepada Yesus Kristus. Maka, di mana umat hadir, di situlah Gereja hadir.
Gereja ini boleh dibilang berwajah Kebun Sawit. Wajahnya ini mengelilingi gedung sederhana itu. Gereja itu—seperti Kebun Sawit—tidak lepas dari kehidupan warganya. Jika sawit adalah salah satu denyut nadi kehidupan warga, Gereja juga hadir menjadi bagian dari kehidupan warga.
Dari jalan tanah tampak nama gereja itu: Gereja Katolik, Stasi St. Dominikus-Tambusai. Tulisan Gereja Katolik itu makin memperjelas identitas bangunan itu. Identitas ini ditambah dengan lambang salib di atas bubungan gereja. Dari jauh, tamu boleh menebak gedung ini.
Saya sendiri langsung menebaknya sebelum memasuki gerbang gereja. Tebakan ini seolah-olah menyapa kami sebagai tamu. Saat masuk di pelataran gedung gereja, umat berdatangan memberi salam. “Selamat pagi, selamat pagi,” sapa mereka. Saya dan teman-teman dari Pekanbaru langsung menjawab sapaan itu sambil membagikan senyum indah di siang bolong itu.
Salam itu tidaki berhenti di sini. Umat lain pun berdatangan satu per satu. Mereka pada umumnya datang dengan sepeda motor. Hanya beberapa yang berjalan kaki. Menurut beberapa umat, yang berjalan kaki biasanya yang rumahnya dekat. Atau juga memilih jalan kaki sekadar untuk bercerita. Ini menarik. Daripada naik motor tanpa obrolan, lebih baik berjalan kaki sambil bergurau.
Yang naik sepeda motor juga ada untungnya. Mereka tiba lebih cepat juga untuk ngobrol sama umat lainnya. Obrolan mereka kiranya memberi penegasan tentang kehidupan mereka. Mereka pada umumnya hidup berdampingan, berdekatan, harmonis, saling kenal, dan aman tenteram.
Di rumah sebelah gereja, kami melihat ada Ibu berjilbab. Identitasnya pun sudah jelas. Dia muslim. Dengan jilbabnya, Ibu ini bukan saja memberi tahu kami bahwa dia muslim, tetapi dia membalas sapaan kami. Saya yang orang baru hanya memberi senyuman dan anggukan sebagai tanda hormat. Dia tetap membalasnya meski kami tidak saling kenal.
Dari sini saja sudah bisa ditebak, mereka hidup berdampingan. Identitas ini makin tampak dalam obrolan di dalam gereja sebelum misa dan saat makan bersama setelah misa. Hidup berdampingan seperti ini kiranya menjadi bahan pelajaran bagi orang kota. Cara hidup tertutup dan cuek di kota membuat orang-orang di sini bisa jadi panutan. Rumah mereka memang tidak berpagar seperti di kota. Dengan ini, mereka dengan mudah berinteraksi satu sama lain.
Selesai misa, kami makan bersama di rumah salah satu umat. Suasana persaudaraan dan kedekatan makin terasa. Kami semua tertampung di dalam rumah besar ini. Saya membayangkan betapa murah hatinya pemilik rumah ini. Dia tentunya mengeluarkan biaya besar untuk menyiapkan makanan dan minuman. Berapa kilo gram berasnya, berapa biaya lauknya, berapa biaya untuk minuman kopinya, waktu dan tenaga untuk menyiapkannya, dan sebagainya. Biaya ini tentu besar jika dihitung semuanya.
Biaya ini—bagi orang kota—tentunya amat besar lagi. Tetapi, biaya ini seolah-olah tidak begitu besar bagi orang sederhana di tengah kebun sawit ini. Jika biayanya terasa besar dan berat, pasti mereka tidak bisa tersenyum satu sama lain. Rupanya mereka semua tersenyum dan berguyon ria. Ekspresi ini kiranya menunjukkan bahwa biaya ini bagi mereka bukan sebuah beban. Biaya ini justru mempererat persatuan mereka.
Terima kasih untuk keluarga Bapak Sirait yang sudah menyuguhkan hidangan istimewa. Air putih, kopi pahit, nasi-sayur-daging ayam, dan guyonan yang menghidupkan. Sampai jumpa di lain kesempatan.
BM, 11/08/2017
Gordi
Post a Comment