MEREKA MENCARI TUHAN
Di Barat saat ini, pencarian akan Tuhan tidak lagi dengan jalan pengalaman. Mereka lebih cenderung mencarinya dengan jalan pengetahuan atau akal budi. Maka, jika akal budi tak menemukannya, Tuhan itu pun langsung disingkirkan dari kehidupan. Kehidupan dengan Tuhan—dengan demikian—berarti kehidupan dengan akal budi yang mampu memahami Tuhan.
Di Timur, pencarian akan Tuhan lebih cenderung dengan jalan pengalaman. Itulah sebabnya Tuhan mereka adalah Tuhan yang dihidupi dan bukan Tuhan yang dipahami. Orang Timur tidak terlalu repot dengan memahami Tuhan. Mereka lebih cenderung repot dengan mengalami Tuhan.
Cara hidup orang Timur ini saya lihat hari ini. Mereka datang dari berbagai wilayah di sekitar Danau Kota Panjang, Riau untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Dengan perahu kecil, mereka datang berkelompok 5-8 orang. Mereka terbiasa mengarungi danau itu sekitar 45 menit sampai 1 jam untuk sampai di Gereja Katolik St Antonius. Perahu itu hanya didorong oleh mesin berkekuatan 1 Kilo. Tampak seperti mesin potong rumput yang digendong. Meski kecil, mesin itu mampu mendorong perahu berisi 5-8 orang.
Boleh jadi orang kota melihatnya luar biasa. Tetapi bagi mereka ini biasa. Mereka biasa datang bertemu Tuhan. Tuhan bagi mereka tetaplah Dia yang diyakini, disembah, dan dijelmakan dalam hidup. “Kami selalu datang ke gereja, kapan pun Pastor datang,” komentar Firman, salah 1 dari 3 nahkoda perahu yang menjemput kami siang ini.
Seperti mereka, kami juga mencari Tuhan. Kami berlima (Ibu Minhui, Pastor Franco, SX., dua teman dari Italia—Luca dan Lucas—serta saya sendiri) berangkat dari pastoran pada pukul 08.00. Perjalanan ini rupanya panjang. Kami melewati beberapa kabupaten sebelum sampai di dekat Danau Kota Panjang.
Perjalanan darat ini memakan waktu 3 jam. Melewati jalanan berkelok, lebar dan sempit, sedikit bergelombang, dan variasi lainnya. Saat kami tiba di dekat danau, 3 nahkoda mungil menyambut kami. Mereka rupanya sudah menyiapkan perahu. Kami lalu menurunkan perlengkapan perjalanan dari mobil dan langsung menuruni tangga menuju pelabuhan ala kadarnya.
Perjalanan selanjutnya selama 45 menit adalah menyusuri danau ini. Kami dibagi dalam 2 perahu. Kami bertiga plus semua perlengkapan perjalanan. Di perahu lainnya bertiga plus 2 nahkoda Aris dan Firman.
Perjalanan ini menjadi menarik sekali karena bumbu perjalanan yang kami nikmati. Berbagi pengalaman dengan sang nahkoda baik selama perjalanan pergi maupun pulang. Sambutan hangat dari umat. Sambutan mereka sungguh menampakkan kekayaan kehidupan mereka yang sederhana. Mereka tidak bekerja pada hari-hari kerja seperti ini tetapi rupanya mereka bekerja hanya pada pagi hari.
Saya merasa senang berada di tengah mereka. “Kalian memberi saya cinta dan kasih sayang sehingga saya merasa seperti di rumah sendiri,” kata saya pada mereka. Mereka tersenyum haru. Senyum ini mereka tampakkan selama Misa dan setelah Misa. Ibu Minhui kiranya puas melihat senyum mereka saat ia menjelaskan maksud kedatangan kami.
Senyum ini terus mereka munculkan pada saat kami makan siang bersama di rumah Ketua Stasi. Sungguh senyum yang luar biasa. Dengan senyum itu pun, kami bisa berkomunikasi. Saya membantu menerjemahkan beberapa kalimat dari bahasa Italia kepada mereka semua baik anak muda maupun orang tua. Juga untuk menjelaskan kepada teman-teman Italia tentang kalimat yang mereka sampaikan.
Tetapi terjemahan yang paling pas adalah dengan bahasa senyum dan bahasa tubuh. Kedua bahasa ini mempunyai kekuatan yang dahsyat. Akhirnya, dengan senyum ini juga, kami dan mereka mencari Tuhan hari ini. Terima Kasih Yesus atas bimbingan-Mu sepanjang perjalanan kami, dari pagi sampai sore hari ini.
BM, 10/08/2017
Gordi
Post a Comment