Di Thailand, bulan Rosario bisa mengalahkan Misa hari Minggu. Ada banyak fakta yang membuktikannya. Memang antara keduanya tidak ada persaingan. Kalau bersaing menjadi orang beriman, bisa saja.
Gereja kami selalu penuh tiap malam. Saat berdoa Rosario. Sudah lebih dari 10 hari, kami berdoa bersama Bunda Maria. Antusias umat cukup tinggi. Saya selalu menghitung jumlah yang datang. Sampai sekarang minimal 80-an orang. Maksimalnya bisa sampai 120-an. Jumlah ini memang kecil dibanding Misa hari Minggu, yang sampai 400-an orang. Tapi, itukan hanya sekali seminggu. Meski doanya tiap malam, umat tidak pernah merasa bosan. Ada wajah-wajah yang selalu hadir. Kesetiaan rupanya menjadi pelajaran penting di bulan ini. Boleh jadi mereka juga belajar dari kesetiaan Bunda Maria.
Tak terhitung jumlahnya pengalaman di mana iman Maria diuji. Mulai dari kabar malaikat Gabriel bahwa Maria akan mengandung dari Roh Kudus. Tapi tak terhitung pula kesetiaan Maria menjadi makin kuat. Tak sekali pun Maria tergoda untuk menolak arahan malaikat. Maria memang adalah ibu dari kesetiaan. Bersama Maria, semoga kita juga menjadi orang Katolik yang setia pada iman dan kepercayaan.
Menjadi setia memang adalah tantangan dalam beriman Katolik. Meski ajarannya sangat ketat soal ini, misalnya dalam hal perkawinan, toh ada juga pasangan yang tidak setia. Bahkan ada pasangan Katolik yang karena satu dan lain hal mengingkari kesetiaan yang dijanjikan itu. Ini tentu amat menodai pasangan yang setia bahkan sampai merayakan pesta perak dan emas perkawinan. Atau juga para Romo yang merayakan pesta emas tahbisan. Ini adalah contoh kita dalam hal kesetiaan.
Di Thailand, tantangan kesetiaan itu makin besar. Kecenderungan untuk menengok agama Buddha amat besar. Tak jarang, mereka enggan bergabung dengan agama Katolik karena ketatnya ajaran kesetiaan ini. Tidak semua memang membenci ajaran kesetiaan. Ada yang justru memuji sampai menjatuhkan pilihan untuk menjadi Katolik karena kesetiaan ini. Kesetiaan rupanya bak pedang bermata dua. Meski pada prinsipnya, kesetiaan itu adalah nilai yang harus diperjuangkan. Tidak ada kandungan ajaran positif di dalamnya. Toh, ada juga yang membenci kesetiaan karena nafsu untuk tidak setia.
Di hadapan Maria, Bunda yang setia, kesetiaan itu seolah-olah hidup kembali. Umat Katolik dari paroki kami mulai bangun dari tidur panjangnya. Tiap malam, wajah-wajah lama bermunculan. Sudah lama mereka tidak melihat gereja. Di bulan ini, Bunda Maria seolah-olah menarik mereka ke gereja. Mereka boleh tidak setia pada gereja, tapi di depan Bunda Maria mereka akhirnya takluk juga.
Rasa terima kasih kami sampaikan pada sang Bunda. Karena dia, umat kami kembali ke rumah Allah. Di hadapan ketidaksetiaan umatnya, Bunda Maria membantu memulihkan rahmat kesetiaan itu. Orang-orang Thailand tentu tunduk pada pemerintah dan kerajaan, tapi tidak tunduk (secara total) pada agama. Paling tidak jika kita amati bagaimana umat beragama menghidupi nilai-nilai keagamaan. Orang Buddha misalnya masih tidak setia pada ajaran Buddha. Mereka memang menghormati dan memberi sedekah pada para Bhiksu yang turun di jalan-jalan tiap pagi. Tapi, mereka lupa bahwa kemabukan karena minuman beralkohol juga adalah bentuk ketidaksetiaan pada ajaran agama. Demikian juga dengan orang-orang Katolik yang kadang-kadang lebih mendewakan para Romo daripada menghayati iman personal kepada Allah.
Di hadapan Bunda Maria, kami ingin mempersembahkan ketidaksetiaan kami ini. Mungkin tidak elok dipandang, ketidaksetiaan kok dipersembahkan pada Bunda Maria. Tapi, inilah kami dengan kerapuhan yang terang-terangan kami alami dan kami hidupi. Bersama Bunda yang setia, semoga kami pun tunduk dan takluk pada ajakan Bunda Maria, untuk menjadi pribadi yang setia. Ya Bunda, tariklah kami pada kakimu yang setia menggendong Yesus Putra Allah selama dalam kandunganmu.
Km 48, 11/10/22
BK
Post a Comment