Halloween party ideas 2015

GEREJA DI TENGAH SAWIT


Gereja hadir di mana-mana termasuk di tengah Kebun Sawit. Inilah yang kami lihat hari ini. Gereja memang selain berarti gedung fisik juga kumpulan umat yang percaya kepada Yesus Kristus. Maka, di mana umat hadir, di situlah Gereja hadir.

Gereja ini boleh dibilang berwajah Kebun Sawit. Wajahnya ini mengelilingi gedung sederhana itu. Gereja itu—seperti Kebun Sawit—tidak lepas dari kehidupan warganya. Jika sawit adalah salah satu denyut nadi kehidupan warga, Gereja juga hadir menjadi bagian dari kehidupan warga.

Dari jalan tanah tampak nama gereja itu: Gereja Katolik, Stasi St. Dominikus-Tambusai. Tulisan Gereja Katolik itu makin memperjelas identitas bangunan itu. Identitas ini ditambah dengan lambang salib di atas bubungan gereja. Dari jauh, tamu boleh menebak gedung ini.

Saya sendiri langsung menebaknya sebelum memasuki gerbang gereja. Tebakan ini seolah-olah menyapa kami sebagai tamu. Saat masuk di pelataran gedung gereja, umat berdatangan memberi salam. “Selamat pagi, selamat pagi,” sapa mereka. Saya dan teman-teman dari Pekanbaru langsung menjawab sapaan itu sambil membagikan senyum indah di siang bolong itu.



Salam itu tidaki berhenti di sini. Umat lain pun berdatangan satu per satu. Mereka pada umumnya datang dengan sepeda motor. Hanya beberapa yang berjalan kaki. Menurut beberapa umat, yang berjalan kaki biasanya yang rumahnya dekat. Atau juga memilih jalan kaki sekadar untuk bercerita. Ini menarik. Daripada naik motor tanpa obrolan, lebih baik berjalan kaki sambil bergurau.

Yang naik sepeda motor juga ada untungnya. Mereka tiba lebih cepat juga untuk ngobrol sama umat lainnya. Obrolan mereka kiranya memberi penegasan tentang kehidupan mereka. Mereka pada umumnya hidup berdampingan, berdekatan, harmonis, saling kenal, dan aman tenteram.

Di rumah sebelah gereja, kami melihat ada Ibu berjilbab. Identitasnya pun sudah jelas. Dia muslim. Dengan jilbabnya, Ibu ini bukan saja memberi tahu kami bahwa dia muslim, tetapi dia membalas sapaan kami. Saya yang orang baru hanya memberi senyuman dan anggukan sebagai tanda hormat. Dia tetap membalasnya meski kami tidak saling kenal.

Dari sini saja sudah bisa ditebak, mereka hidup berdampingan. Identitas ini makin tampak dalam obrolan di dalam gereja sebelum misa dan saat makan bersama setelah misa. Hidup berdampingan seperti ini kiranya menjadi bahan pelajaran bagi orang kota. Cara hidup tertutup dan cuek di kota membuat orang-orang di sini bisa jadi panutan. Rumah mereka memang tidak berpagar seperti di kota. Dengan ini, mereka dengan mudah berinteraksi satu sama lain.

Selesai misa, kami makan bersama di rumah salah satu umat. Suasana persaudaraan dan kedekatan makin terasa. Kami semua tertampung di dalam rumah besar ini. Saya membayangkan betapa murah hatinya pemilik rumah ini. Dia tentunya mengeluarkan biaya besar untuk menyiapkan makanan dan minuman. Berapa kilo gram berasnya, berapa biaya lauknya, berapa biaya untuk minuman kopinya, waktu dan tenaga untuk menyiapkannya, dan sebagainya. Biaya ini tentu besar jika dihitung semuanya.

Biaya ini—bagi orang kota—tentunya amat besar lagi. Tetapi, biaya ini seolah-olah tidak begitu besar bagi orang sederhana di tengah kebun sawit ini. Jika biayanya terasa besar dan berat, pasti mereka tidak bisa tersenyum satu sama lain. Rupanya mereka semua tersenyum dan berguyon ria. Ekspresi ini kiranya menunjukkan bahwa biaya ini bagi mereka bukan sebuah beban. Biaya ini justru mempererat persatuan mereka.

Terima kasih untuk keluarga Bapak Sirait yang sudah menyuguhkan hidangan istimewa. Air putih, kopi pahit, nasi-sayur-daging ayam, dan guyonan yang menghidupkan. Sampai jumpa di lain kesempatan.

BM, 11/08/2017
Gordi

MEREKA MENCARI TUHAN 


Di Barat saat ini, pencarian akan Tuhan tidak lagi dengan jalan pengalaman. Mereka lebih cenderung mencarinya dengan jalan pengetahuan atau akal budi. Maka, jika akal budi tak menemukannya, Tuhan itu pun langsung disingkirkan dari kehidupan. Kehidupan dengan Tuhan—dengan demikian—berarti kehidupan dengan akal budi yang mampu memahami Tuhan.

Di Timur, pencarian akan Tuhan lebih cenderung dengan jalan pengalaman. Itulah sebabnya Tuhan mereka adalah Tuhan yang dihidupi dan bukan Tuhan yang dipahami. Orang Timur tidak terlalu repot dengan memahami Tuhan. Mereka lebih cenderung repot dengan mengalami Tuhan.

Cara hidup orang Timur ini saya lihat hari ini. Mereka datang dari berbagai wilayah di sekitar Danau Kota Panjang, Riau untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Dengan perahu kecil, mereka datang berkelompok 5-8 orang. Mereka terbiasa mengarungi danau itu sekitar 45 menit sampai 1 jam untuk sampai di Gereja Katolik St Antonius. Perahu itu hanya didorong oleh mesin berkekuatan 1 Kilo. Tampak seperti mesin potong rumput yang digendong. Meski kecil, mesin itu mampu mendorong perahu berisi 5-8 orang.


Boleh jadi orang kota melihatnya luar biasa. Tetapi bagi mereka ini biasa. Mereka biasa datang bertemu Tuhan. Tuhan bagi mereka tetaplah Dia yang diyakini, disembah, dan dijelmakan dalam hidup. “Kami selalu datang ke gereja, kapan pun Pastor datang,” komentar Firman, salah 1 dari 3 nahkoda perahu yang menjemput kami siang ini.

Seperti mereka, kami juga mencari Tuhan. Kami berlima (Ibu Minhui, Pastor Franco, SX., dua teman dari Italia—Luca dan Lucas—serta saya sendiri) berangkat dari pastoran pada pukul 08.00. Perjalanan ini rupanya panjang. Kami melewati beberapa kabupaten sebelum sampai di dekat Danau Kota Panjang.

Perjalanan darat ini memakan waktu 3 jam. Melewati jalanan berkelok, lebar dan sempit, sedikit bergelombang, dan variasi lainnya. Saat kami tiba di dekat danau, 3 nahkoda mungil menyambut kami. Mereka rupanya sudah menyiapkan perahu. Kami lalu menurunkan perlengkapan perjalanan dari mobil dan langsung menuruni tangga menuju pelabuhan ala kadarnya.


Perjalanan selanjutnya selama 45 menit adalah menyusuri danau ini. Kami dibagi dalam 2 perahu. Kami bertiga plus semua perlengkapan perjalanan. Di perahu lainnya bertiga plus 2 nahkoda Aris dan Firman. 

Perjalanan ini menjadi menarik sekali karena bumbu perjalanan yang kami nikmati. Berbagi pengalaman dengan sang nahkoda baik selama perjalanan pergi maupun pulang. Sambutan hangat dari umat. Sambutan mereka sungguh menampakkan kekayaan kehidupan mereka yang sederhana. Mereka tidak bekerja pada hari-hari kerja seperti ini tetapi rupanya mereka bekerja hanya pada pagi hari.

Saya merasa senang berada di tengah mereka. “Kalian memberi saya cinta dan kasih sayang sehingga saya merasa seperti di rumah sendiri,” kata saya pada mereka. Mereka tersenyum haru. Senyum ini mereka tampakkan selama Misa dan setelah Misa. Ibu Minhui kiranya puas melihat senyum mereka saat ia menjelaskan maksud kedatangan kami.

Senyum ini terus mereka munculkan pada saat kami makan siang bersama di rumah Ketua Stasi. Sungguh senyum yang luar biasa. Dengan senyum itu pun, kami bisa berkomunikasi. Saya membantu menerjemahkan beberapa kalimat dari bahasa Italia kepada mereka semua baik anak muda maupun orang tua. Juga untuk menjelaskan kepada teman-teman Italia tentang kalimat yang mereka sampaikan.

Tetapi terjemahan yang paling pas adalah dengan bahasa senyum dan bahasa tubuh. Kedua bahasa ini mempunyai kekuatan yang dahsyat. Akhirnya, dengan senyum ini juga, kami dan mereka mencari Tuhan hari ini. Terima Kasih Yesus atas bimbingan-Mu sepanjang perjalanan kami, dari pagi sampai sore hari ini.

BM, 10/08/2017
Gordi

FISIK TUA, SEMANGAT MUDA



Fisik tua, semangat muda. Ini kiranya bisa menggambarkan keadaan anggota kor di Pekanbaru. Sebagian dari mereka berfisik tua, tetapi sebagian besar lagi berfisik muda. Yang tua boleh jadi berjiwa muda, tetapi yang muda juga lebih bersemangat muda.

Jiwa muda ini menjiwai latihan kor malam ini. Sang dirigen di depan memimpin dengan ketagasan nan lembut. Dia tersenyum saat suara mereka bagus dan tetap tersenyum saat suara mereka kurang bagus. Namun, setelah itu, dia akan memberikan penilaian yang tegas.


Dia akan meminta untuk mengulangi beberapa bait yang salah. Permintaannya dengan senyum manis dan suara yang tegas. Tegas dan senyum kiranya sikap yang pas untuk menumbuhkan jiwa dan semangat muda. Sang dirigen kiranya tahu betul, dua sikap ini mampu mengambil hati anggota kor. Lebih dari hati, dia pun mengajak mereka untuk memberikan suara yang merdu.

Inilah pemandangan malam ini dalam latihan kor. Mereka menyanyi untuk saya yang akan menerima anugerah Agung pada 21 Oktober nanti. Mereka tidak kaget saat saya hadir ditengah mereka. Mereka biasa-biasa saja. Rupanya mereka belum tahu siapa saya. Sebagian yang sudah tahu tersenyum-senyum saja. Begitu tahu, mereka langsung kaget dan memandang ke arah saya.

Pandangan itu antara cinta dan kasih sayang. Cinta karena mereka memang mencintai saya. Kasih sayang karena mereka sudah memberikan kasih sayang itu pada saya. Mereka—meski lelah dari tempat kerja—tetap bersemangat untuk datang latihan. Mereka begitu mencintai saya. Dengan suara, gerakkan tangan, tekanan jari di tuts keyboard, pukulan tangan di tambur, dan sebagainya. Dengan alat musik, cinta dan kasih itu menjadi makin lengkap. Dengan suara merdu, cinta dan kasih itu makin bergema.

Terima kasih untuk kalian semua.

BM, 9/8/17
Gordi

Powered by Blogger.