Halloween party ideas 2015

WAJAH YANG POLOS


Mungkin perlu wajah yang polos untuk menikmati keindahan seorang wanita. Itu berarti, wajah itu tanpa kosmetik. Dengan itu, kecantikan yang ada muncul dari kedalaman dan bukan dari penampakan polesan kosmetik. Di tengah kepolesan berbagai hal mulai dari kosmetik, makanan, sampai pada pengalaman iman, kita butuh kepolosan dalam berelasi dengan Tuhan.

Kepolosan seperti itu muncul dari suara seorang adik SD sore ini (18 Agustus). Suara itu terdengar indah dan menggugah.

“Kak, boleh kita foto bersama?” tanya seorang anak di Stasi Majuah-juah, Paroki St Paulus. Saya yang sedang mencek pesan masuk di hp sontak kaget dan membalas dengan senyum sambil menatap wajah adik itu.

“Ayo, tentu saja kita bisa berfoto bersama,” jawab saya sambil memeluknya.

Kami pun siap berfoto. Teman-teman lain dikumpulkan dalam barisan. Ada dua baris. Saya berada di barisan kedua bersama beberapa adik SD itu. Yang lainnya di depan. Ada beberapa hp yang mengabadikan barisan kami saat itu. Beberapa dari adik-adik ini bergiliran memberikan hp pada sang fotografer bergilir. Seolah-olah mereka tidak mau kehilangan momen ini. Boleh jadi, mereka merasa bangga sekali bisa berfoto bersama sore itu.

Saya senang dan bangga bisa berkumpul bersama mereka pada saat itu. Kalau boleh bilang, mereka adalah sahabat-sahabat yang langsung akrab pada saat itu. Kesempatan ini memang datang setelah Perayaan Ekaristi yang kami rayakan. Pada saat itu, saya membagikan pengalaman panggilan saya. Boleh jadi, mereka sudah mendengar cerita saya. Atau paling tidak, mereka sudah melihat saya. Jadi, tentu saja, kami bukan orang asing satu sama lainnya. Kami sudah saling kenal. Hanya saja masih disekat oleh rasa malu dan enggan sehingga permintaan itu pun seakan-akan begitu berjarak. Tetapi, justru permintaan itu adalah gambaran kepolosan seorang anak.

Permintaan adik tadi mengingatkan saya akan wajah-wajah polos di tempat lainnya yang saya temukan dalam kegiatan animasi panggilan ini. Wajah mereka menampakkan pemandangan yang bukan saja indah untuk dilihat, tetapi juga menarik untuk didekatkan. Itulah sebabnya, permintaan itu bukan saja sekadar ingin berfoto. Saya malah melihatnya sebagai sebuah ajakan untuk saling menguatkan dan berbagi. Hanya dalam kepolosanlah, kita bisa saling menguatkan dan berbagi.


Beberapa teman dari Italy berkomentar tentang foto itu. Ada yang bilang, Gordi, kamu sudah di jalan yang benar, anak-anak ditempatkan di barisan pertama, (Giorgio R). Boleh jadi ini sebuah keajaiban. Tidak ada pikiran untuk menempatkan mereka seperti itu sebenarnya. Tetapi, bagus juga ketika ada sahabat yang menilainya seperti itu.

Penilaian itu juga menaruhkan harapan yang indah akan masa depan Gereja dan Bangsa kita. Ada yang berkomentar, Gordi, sungguh indah melihat kamu berada di tengah masa depan ini. Merekalah harapan kita, (Nama samaran). Harapan memang selalu menjadi ciri khas anak-anak dan kaum muda. Maka, melihat mereka berarti melihat sebuah harapan. Kaum muda juga hendaknya memiliki harapan. Uskup Parma, Monsinyur Enrico Solmi dalam pesannya kepada kaum muda di Kota dan Keuskupan Parma pada 2016 yang lalu berpesan agar kaum muda memiliki harapan untuk bisa memperbaiki kota dan Gereja di kota Parma. Ia lalu menantang kaum muda dengan kata-kata seorang santo. Katanya, “Anak muda yang tidak memiliki mimpi adalah anak muda yang mati.”

Harapan selalu terkait dengan kehidupan. Itulah sebabnya, tanpa harapan sama dengan tanpa kehidupan. Dan, tanpa kehidupan sama maknanya dengan sebuah kematian. Entah kematian fisik, ide, kehidupan, pikiran, perbuatan, relasi, dan sebaginya.

Akhirnya, terima kasih kepada adik-adik yang polos dari Stasi Menjuah-juah. Wajah kalian akan saya ingat dan akan saya pandang terus menerus.

BM, 21/8/2017
Gordi

GEREJA DI TENGAH SAWIT


Gereja hadir di mana-mana termasuk di tengah Kebun Sawit. Inilah yang kami lihat hari ini. Gereja memang selain berarti gedung fisik juga kumpulan umat yang percaya kepada Yesus Kristus. Maka, di mana umat hadir, di situlah Gereja hadir.

Gereja ini boleh dibilang berwajah Kebun Sawit. Wajahnya ini mengelilingi gedung sederhana itu. Gereja itu—seperti Kebun Sawit—tidak lepas dari kehidupan warganya. Jika sawit adalah salah satu denyut nadi kehidupan warga, Gereja juga hadir menjadi bagian dari kehidupan warga.

Dari jalan tanah tampak nama gereja itu: Gereja Katolik, Stasi St. Dominikus-Tambusai. Tulisan Gereja Katolik itu makin memperjelas identitas bangunan itu. Identitas ini ditambah dengan lambang salib di atas bubungan gereja. Dari jauh, tamu boleh menebak gedung ini.

Saya sendiri langsung menebaknya sebelum memasuki gerbang gereja. Tebakan ini seolah-olah menyapa kami sebagai tamu. Saat masuk di pelataran gedung gereja, umat berdatangan memberi salam. “Selamat pagi, selamat pagi,” sapa mereka. Saya dan teman-teman dari Pekanbaru langsung menjawab sapaan itu sambil membagikan senyum indah di siang bolong itu.



Salam itu tidaki berhenti di sini. Umat lain pun berdatangan satu per satu. Mereka pada umumnya datang dengan sepeda motor. Hanya beberapa yang berjalan kaki. Menurut beberapa umat, yang berjalan kaki biasanya yang rumahnya dekat. Atau juga memilih jalan kaki sekadar untuk bercerita. Ini menarik. Daripada naik motor tanpa obrolan, lebih baik berjalan kaki sambil bergurau.

Yang naik sepeda motor juga ada untungnya. Mereka tiba lebih cepat juga untuk ngobrol sama umat lainnya. Obrolan mereka kiranya memberi penegasan tentang kehidupan mereka. Mereka pada umumnya hidup berdampingan, berdekatan, harmonis, saling kenal, dan aman tenteram.

Di rumah sebelah gereja, kami melihat ada Ibu berjilbab. Identitasnya pun sudah jelas. Dia muslim. Dengan jilbabnya, Ibu ini bukan saja memberi tahu kami bahwa dia muslim, tetapi dia membalas sapaan kami. Saya yang orang baru hanya memberi senyuman dan anggukan sebagai tanda hormat. Dia tetap membalasnya meski kami tidak saling kenal.

Dari sini saja sudah bisa ditebak, mereka hidup berdampingan. Identitas ini makin tampak dalam obrolan di dalam gereja sebelum misa dan saat makan bersama setelah misa. Hidup berdampingan seperti ini kiranya menjadi bahan pelajaran bagi orang kota. Cara hidup tertutup dan cuek di kota membuat orang-orang di sini bisa jadi panutan. Rumah mereka memang tidak berpagar seperti di kota. Dengan ini, mereka dengan mudah berinteraksi satu sama lain.

Selesai misa, kami makan bersama di rumah salah satu umat. Suasana persaudaraan dan kedekatan makin terasa. Kami semua tertampung di dalam rumah besar ini. Saya membayangkan betapa murah hatinya pemilik rumah ini. Dia tentunya mengeluarkan biaya besar untuk menyiapkan makanan dan minuman. Berapa kilo gram berasnya, berapa biaya lauknya, berapa biaya untuk minuman kopinya, waktu dan tenaga untuk menyiapkannya, dan sebagainya. Biaya ini tentu besar jika dihitung semuanya.

Biaya ini—bagi orang kota—tentunya amat besar lagi. Tetapi, biaya ini seolah-olah tidak begitu besar bagi orang sederhana di tengah kebun sawit ini. Jika biayanya terasa besar dan berat, pasti mereka tidak bisa tersenyum satu sama lain. Rupanya mereka semua tersenyum dan berguyon ria. Ekspresi ini kiranya menunjukkan bahwa biaya ini bagi mereka bukan sebuah beban. Biaya ini justru mempererat persatuan mereka.

Terima kasih untuk keluarga Bapak Sirait yang sudah menyuguhkan hidangan istimewa. Air putih, kopi pahit, nasi-sayur-daging ayam, dan guyonan yang menghidupkan. Sampai jumpa di lain kesempatan.

BM, 11/08/2017
Gordi

MEREKA MENCARI TUHAN 


Di Barat saat ini, pencarian akan Tuhan tidak lagi dengan jalan pengalaman. Mereka lebih cenderung mencarinya dengan jalan pengetahuan atau akal budi. Maka, jika akal budi tak menemukannya, Tuhan itu pun langsung disingkirkan dari kehidupan. Kehidupan dengan Tuhan—dengan demikian—berarti kehidupan dengan akal budi yang mampu memahami Tuhan.

Di Timur, pencarian akan Tuhan lebih cenderung dengan jalan pengalaman. Itulah sebabnya Tuhan mereka adalah Tuhan yang dihidupi dan bukan Tuhan yang dipahami. Orang Timur tidak terlalu repot dengan memahami Tuhan. Mereka lebih cenderung repot dengan mengalami Tuhan.

Cara hidup orang Timur ini saya lihat hari ini. Mereka datang dari berbagai wilayah di sekitar Danau Kota Panjang, Riau untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Dengan perahu kecil, mereka datang berkelompok 5-8 orang. Mereka terbiasa mengarungi danau itu sekitar 45 menit sampai 1 jam untuk sampai di Gereja Katolik St Antonius. Perahu itu hanya didorong oleh mesin berkekuatan 1 Kilo. Tampak seperti mesin potong rumput yang digendong. Meski kecil, mesin itu mampu mendorong perahu berisi 5-8 orang.


Boleh jadi orang kota melihatnya luar biasa. Tetapi bagi mereka ini biasa. Mereka biasa datang bertemu Tuhan. Tuhan bagi mereka tetaplah Dia yang diyakini, disembah, dan dijelmakan dalam hidup. “Kami selalu datang ke gereja, kapan pun Pastor datang,” komentar Firman, salah 1 dari 3 nahkoda perahu yang menjemput kami siang ini.

Seperti mereka, kami juga mencari Tuhan. Kami berlima (Ibu Minhui, Pastor Franco, SX., dua teman dari Italia—Luca dan Lucas—serta saya sendiri) berangkat dari pastoran pada pukul 08.00. Perjalanan ini rupanya panjang. Kami melewati beberapa kabupaten sebelum sampai di dekat Danau Kota Panjang.

Perjalanan darat ini memakan waktu 3 jam. Melewati jalanan berkelok, lebar dan sempit, sedikit bergelombang, dan variasi lainnya. Saat kami tiba di dekat danau, 3 nahkoda mungil menyambut kami. Mereka rupanya sudah menyiapkan perahu. Kami lalu menurunkan perlengkapan perjalanan dari mobil dan langsung menuruni tangga menuju pelabuhan ala kadarnya.


Perjalanan selanjutnya selama 45 menit adalah menyusuri danau ini. Kami dibagi dalam 2 perahu. Kami bertiga plus semua perlengkapan perjalanan. Di perahu lainnya bertiga plus 2 nahkoda Aris dan Firman. 

Perjalanan ini menjadi menarik sekali karena bumbu perjalanan yang kami nikmati. Berbagi pengalaman dengan sang nahkoda baik selama perjalanan pergi maupun pulang. Sambutan hangat dari umat. Sambutan mereka sungguh menampakkan kekayaan kehidupan mereka yang sederhana. Mereka tidak bekerja pada hari-hari kerja seperti ini tetapi rupanya mereka bekerja hanya pada pagi hari.

Saya merasa senang berada di tengah mereka. “Kalian memberi saya cinta dan kasih sayang sehingga saya merasa seperti di rumah sendiri,” kata saya pada mereka. Mereka tersenyum haru. Senyum ini mereka tampakkan selama Misa dan setelah Misa. Ibu Minhui kiranya puas melihat senyum mereka saat ia menjelaskan maksud kedatangan kami.

Senyum ini terus mereka munculkan pada saat kami makan siang bersama di rumah Ketua Stasi. Sungguh senyum yang luar biasa. Dengan senyum itu pun, kami bisa berkomunikasi. Saya membantu menerjemahkan beberapa kalimat dari bahasa Italia kepada mereka semua baik anak muda maupun orang tua. Juga untuk menjelaskan kepada teman-teman Italia tentang kalimat yang mereka sampaikan.

Tetapi terjemahan yang paling pas adalah dengan bahasa senyum dan bahasa tubuh. Kedua bahasa ini mempunyai kekuatan yang dahsyat. Akhirnya, dengan senyum ini juga, kami dan mereka mencari Tuhan hari ini. Terima Kasih Yesus atas bimbingan-Mu sepanjang perjalanan kami, dari pagi sampai sore hari ini.

BM, 10/08/2017
Gordi

Powered by Blogger.