Halloween party ideas 2015

BERONDONG BERBAHASA TAGALOG

Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila, FOTO: rappler.com 

Berondong dan diberondong bisa terjadi di mana-mana. Bukan saja berondong yang memberondong tetapi juga siapa saja bisa memberondong.

Saya sudah diberondong sejak di Bandara Internasional Ninoy Aquino Manila. Berbagai pertanyaan muncul. Yang sering diulang-ulang adalah mengapa Anda tidak bisa berbahasa Tagalog? Saya sudah jawab dengan baik tapi orang ini datang beberapa kali.

Berondongan pertama dengan pertanyaan berbahasa Tagalog. Saya jawab kalau saya tidak bisa bahasa Tagalog. Lalu, masih ditanya mengapa. Kemudian, untuk apa tujuan kedatangan saya ke Filipina. Masih banyak lagi pertanyaan lain dengan bahasa Inggris dan Tagalog.

Berondong di bandara ini rupanya tidak sendiri. Ia sama dengan para gadis di Mol, para perawat di Laboratorium, para Ibu di sebuah kapel, yang memberondong saya dengan bahasa Tagalog. Setelah dijawab tidak bisa berbahasa Tagalog baru mereka ngehhh. Oh rupanya bukan orang Filipina.

Sulit dipercaya tetapi fakta tidak bisa berbohong. Berondong di bandara itu memang tampaknya berpegang teguh pada fakta. Seperti para gadis lainnya, ia menilai seseorang dari tampilan luar.

Beberapa teman muda dari Filipina memang menjelaskan jika wajah saya itu wajah orang Filipina. Di Italia dulu saya selalu punya banyak teman yang menyapa di jalan. Mereka adalah orang Filipina. Mereka menyapa karena melihat saya. Di mata mereka, saya adalah orang Filipina.

Memang benar di mata mereka tetapi belum tentu di identitas saya. Saya orang Indonesia dan tidak bisa berbahasa Tagalog. Inilah yang jadi masalah bagi saya dan bagi mereka. Kalau saya menjawab YA, wajah saya mendukung. Namun, kalau mereka terus menyapa dengan Tagalog, saya mesti mesti jawab TIDAK bisa. Saya tidak membohongi saya dan mereka.

Karena tidak berbahasa Tagalog, saya pun dipandang sebelah mata. Di mata mereka, saya seperti orang sombong. Berwajah Filipina kok tetapi berbahasa Inggris. Ini namanya tidak mencintai bahasa sendiri, demikian anggapan mereka. Padahal, saya memang mencintai bahasa saya dan belum saatnya mencintai bahasa mereka. Jika sudah bisa Tagalog, saya pun akan masuk 100% dari wajah sampai ke lubuk hati dalam budaya mereka.

Karena dipandang sebelah mata, saya pun kesulitan untuk jalan-jalan sendiri. Kalau naik angkot, saya selalu berjalan dengan teman yang berbahasa Tagalog. Biarkan mereka yang menjelaskan rute perjalanan dan besarnya ongkos kirim. Semuanya dalam bahasa Tagalog.

Inilah berondongan awal tinggal di negeri Filipna ini. Semoga ini menjadi pelajaran berharga kini, nanti, dan sepanjang selamanya. Kiranya penting diingat pepatah Indonesia, Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung. Saya akan mengikuti dan menghormati adat istiadat orang Filipina.

Quezon City, 11/12/17

Gordi SX

EKARISTI DI MOL FILIPINA
 
Salah satu kael di dalam mol di Filipina, FOTO: philconfessionsskel
Andai Filipina ada di Indonesia, orang Indonesia tidak kesulitan mencari gereja. Di Indonesia, masih ada yang sulit menemukan gereja. Di Filipina, gereja ada di banyak tempat. Bahkan di mol pun ada gereja.

Itulah yang terjadi di Filipina. Saya heran dengan kejadian ini. Tetapi keheranan ini mesti sampai pada rasa percaya. Tidak akan berhenti pada rasa heran, meski baru tiba di sini.

Sehari setelah tiba di Filipina, saya melihat keheranan dan kepercayaan itu. Teman saya dari Brasil menceritakan fakta yang akan saya lihat. Saya tidak percaya dan hanya merasa heran.

“Kamu akan melihat gereja di dalam mol. Kita akan mengikuti misa di sana,” cerita teman saya.

“Hahh????? Gereja di mol? Misa di mol???” saya tambah heran.

“Yang benar saja??”

“Kamu akan melihatnya nanti,” jelasnya.

Setelah 5 menit perjalanan, kami tiba di Mol. Di mol ini akan ada tiga rasa sekaligus. Heran, ingin tahu, dan percaya. Ketiganya adalah perasaan saya.

Saya tidak habis pikir dengan kata-kata teman saya. Sambil menyusuri pintu masuk SM City Fairview dan melewati beberapa eskalator, saya merenungkan kata-kata itu. Apakah benar itu akan terjadi?

Menanjak ke lanti 3, perasaan saya menuju pada rasa percaya. Gereja tempat merayakan misa ini benar-benar ada. Dan, tepat saja, gereja itu ada. Berupa sebuah ruang kecil di lantai itu untuk berdoa. Jika penuh isinya bisa 500 orang. Dan, sore ini lebih dari 500 umat yang hadir. Di luar gereja, masih ada umat yang duduk berjejer di kursi.

Tidak seperti saya yang heran, orang Filipina sudah biasa dengan hal ini. Mungkin karena mayoritas Katolik, di sini mol pun bisa jadi tempat ibadah.

Menurut teman saya, di 3 mol yang letaknya dekat dengan rumah kami, ada 3 kapel untuk merayakan misa. Rupanya bukan untuk orang Katolik saja. Di salah satu mol—jelas teman saya—ada gereja untuk orang Protestan. Ini berarti tempat berdoa ini tidak ekslusif untuk orang Katolik.

Dan sore ini, kali pertama bagi saya merayakan misa di dalam mol. Rasanya memang seperti berdoa dalam gedung gereja. Ada umat, ada gambar 14 perhentian jalan salib, ada anggota kor, ada Salib, altar, dan mimbar.

Kebijakan untuk menyediakan satu ruangan doa di mol rupanya muncul sejak lama. Di belakang ini, ada bunga-bunga bisnis. Orang Filipina suka kunjungi mol. Dalam mol, mereka bisa berbelanja sekaligus menghindari sengatnya matahari di luar.

Alasan ini yang jadi pertimbangan pemilik mol. Daripada ke gereja dulu lalu ke mol, lebih baik hadirkan gereja di mol. Selesai misa, mereka bisa keliling dan belanja di mol. Inilah yang terjadi sore ini juga.

Berdoa memang bisa dibuat di mana-mana seperti Yesus mengatakan, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka,” (Mat 18: 20).
Kapan kita akan berkumpul dalam nama-Nya?

Quezon City, 4/12/17

Gordi SX
Powered by Blogger.