Halloween party ideas 2015

Google images
Pengalaman tinggal bersama keluarga petani sekaligus peternak membekas dalam ingatan saya. Pengalaman itu menjadi segar kembali dalam otak setelah mendengar kisah Gembala yang Baik.  Ada kemiripan yang begitu dekat.

Waktu itu saya masih di sekolah dasar. Tiap bangun pagi, saya selalu berpapasan muka dengan seorang bapak. Mula-mula heran, pagi-pagi begini kok sudah siap ke ladang. Apakah salah kalau tunggu agak siang setelah matahari terbit?Ternyata dia hendak ke ladang, memberi rumput kepada kerbaunya. Biasanya, dia memindahkan kerbaunya ke tempat yang ditumbuhi rumput segar.

Saya tahu sekarang. Dia tak ingin kerbaunya kelaparan. Semalaman, kerbaunya menempati daerah yang ada rumputnya. Paginya, kerbau itu harus dibawa ke tempat baru sehingga dia tetap mendapat rumput. Kadang-kadang bapak itu memotong sendiri rumput lalu dibawa ke tempat kerbau itu.

Menjelang siang, biasanya sekitar jam 10-11, dia pergi lagi. Dia akan memindahkan kerbaunya ke dekat air sungai. Kerbau tidak tahan panas dan cepat haus. Kalau siang, kerbau biasanya merendam di sungai sehingga tubuhnya tidak kepanasan.

Sorenya, bapak itu pergi lagi. Dia menggunakan waktu ini untuk berlama-lama berada di dekat kerbaunya. Ketika kerbau makan rumput, bapak itu berada di dekatnya. Kadang-kadang, saat seperti inilah, dia memberi garam untuk menjinakkan kerbaunya. Sebelum kembali ke rumahnya, bapak ini menempatkan kerbaunya di daerah yang berumput segar. Minimal cukup untuk makanan sepanjang malam sebelum esok pagi dipindahkan.

Dalam relasinya dengan ternak peliharaannya, bapak ini digolongkan sebagai gembala yang baik. Kisah Gembala yang Baik menampilkan hal serupa. Dalam relasi manusia dan Bapa, Yesus adalah perantara. Manusia ibarat domba (ternak peliharaan) dan Yesus adalah gembala (Sang pemilik rumput).

Yesus tahu domba-dombanya (manusia). Seperti bapak mengenal dan dekat dengan ternak peliharaannya. Domba-domba mendengar suara gembala. Mendengar juga kapan sang gembala mendekatinya. Entah pagi-pagi buta seperti bapak tadi maupun saat lain. Hanya domba yang tahu.


Lebih dari itu, gembala memanggil domba-dombanya dengan nama mereka masing-masing. Nama adalah sebuah tanda identitas. Memanggil orang dengan namanya merupakan sebuah penghormatan. Saya selalu bangga tiap kali orang yang lebih besar (kedudukan sosial) dan lebih tua (usia dan pengalaman) memanggil saya dengan nama saya. Ini pertanda dia memperhatikan saya dan sekaligus juga menunjukkan bahwa ia menghormati saya.
Google images

Memanggil dengan nama menurut hemat saya tidak saja merupakan bentuk penghormatan tetapi di situ terjalin relasi. Antara kerbau dan bapak yang tiap sore menemaninya makan rumput dan memberinya rumput ada relasi. Demikian juga dengan Yesus yang mengenal manusia. Ada relasi yang intim entah manusia sadar atau tidak.

Kisah ini menampilkan sosok pemimpin (gembala) yang baik. Gembala yang baik diringkas dengan satu kalimat. Gembala yang mengenal domba-dombanya, pemimpin yang memperhatikan rakyatnya. Dari mengenal, seorang pemimpin menjadi tahu dan dari tahu dia menjadi pelayan. Kita semua adalah pemimpin di suatu tempat, suatu instansi, suatu kesempatan. Bapak tadi adalah seorang pemimpin yang memperhatikan bawahannya (ternak peliharaannya). Dia menjadi pelayan total, dari pagi hingga sore. Dalam dialah ternaknya mencapai kepuasan dalam makanan. Dalam Yesus juga manusia memperoleh hidup abadi, hidup penuh kebahagiaan. Hidup yang selalu ceria meski ditimpa kesusahan dan masalah besar.
Cempaka Putih, 13 Mei 2011
Gordy Afri 


foto ilustrasi dari internet
Berbaring di tempat tidur saat sakit kadang dilihat sebagai tindakan pasif. Tak banyak yang bisa dilakukan selain tidur, berbaring, dan menunggu kunjungan. Sebetulnya, tindakan itu bukan melulu pasif. Tampaknya pasif tetapi bisa juga aktif. Ide cemerlang kadang muncul dari tempat tidur. Meskipun oleh sebagian penulis novel atau cerita pendek, ide itu muncul di toilet.

Beberapa teman menceritakan pengalamannya saat  sakit. Kerinduan akan kunjungan dari sesama adalah kerinduan terbesar saat sakit. Menyendiri di kamar membuka tabir kesepian. Tak ada yang bisa diajak bicara. Sendiri, hanya bisa memandang apa yang bisa dipandang dalam kamar.

Selebihnya ide liar melayang ke mana-mana, lamunan menembus tembok kamar. Ini pertanda si sakit juga berpikir. Selain itu, pergulatan dengan penyakit menjadi menu setiap saat. Di atas semua ini ada pengalaman terdalam yakni kerinduan akan kehadiran orang lain di kamar.

Kadang orang enggan membantu si sakit. Macam-macam alasan bisa diajukan. Bukan mantri/bidan/perawat/dokter, takut terjangkit, tidak ada yang bisa diberikan buat si sakit, takut mengganggu, bukan jam besuk, dan sebagainya. Yang dibutuhkan si sakit sebenarnya hanya satu, yakni kehadiran kita. Syukur kalau bisa menyapanya, bisa berbagi cerita dengannya. Yang lain tidak terlalu mendesak baginya.

 Seorang kakek yang bergulat dengan penyakit AIDS yang dideritanya tidak mengharapkan kesembuhan dari pengunjungnya. Ia tahu penyakitnya tidak mudah disembuhkan. Harapan untuk sembuh kecil. Namun, ia mengharapkan kehadiran orang lain di sampingnya. Memberinya senyum saja sudah merupakan kebahagiaan baginya.

Beberapa teman membenarkan hal ini. Ketika sakit, kerinduan terbesar adalah dikunjungi teman. Betapa sepinya berada di kamar pada siang hari. Saat-saat itulah muncul kerinduan untuk dijenguk. Teman yang sekadar menyapa dari pintu saja merupakan sebuah penghiburan bagi si sakit. Beberapa teman mengakui kalau sapaan semacam itu mengusir kesepian yang menghinggapinya selama sakit.

Penulis salut dengan sepasang suami istri yang dengan berani mengajak berbicara kepada pasien di sebuah rumah sakit. Mulai dengan perbincangan hangat. Rupanya mereka tahu, bercerita adalah hal yang dibutuhkan si sakit. Lama-lama mereka berdoa untuk kesembuhan si sakit. Meski tidak seiman dengan mereka, penulis yang waktu itu sedang sakit  menghargai usaha mereka untuk berdoa. Kehadiran mereka menciptakan suasana baru.

Lebih mudah mengalami Tuhan yang mencintai manusia saat sakit ketimbang saat sehat. Secara fisik, si sakit lebih banyak diam dan pasif. Saat itulah disadari betapa ia rindu akan Tuhan yang bisa menguatkan dan menyembuhkannya. Kesadaran ini agak beda ketika sehat di mana manusia lebih berperan aktif dalam aktivitasnya. Tuhan pun disingkirkan jauh dan sama sekali hampir tidak mendapat tempat di hatinya.

Sebenarnya Tuhan itu ada di mana-mana. Dia melampaui ruang dan waktu. Dia ada baik waktu sakit maupun sehat. Dia ada di mana-mana. Dia bukan melulu ada di Bait Allah, Gereja, Masjid, Kuil, Vihara, Pura, Pohon, Batu, dan tempat tinggal Tuhan lainnya. Ia ada di mana-mana. Dan yang paling sederhana kehadirannya adalah Dia ada dalam hati setiap manusia. Manusia pun berhak untuk “menyadari” dan “tidak menyadari” kehadirannya.

Di sini teruji keyakinannya. Atau memilih yakin “Tuhan ada di hati” atau memilih “Tuhan tidak ada di hati”. Dua-duanya merupakan keyakinan yang paling dalam dari manusia. Bagi yang yakin akan mengatakan bahwa pernapasan adalah bukti bahwa Dia hadir. Dia memutuskan sesuatu setelah mengalami kebimbangan adalah bukti Dia hadir.

Namun, bagi yang tidak pun akan mengatakn bahwa keputusan itu melulu merupakan tindakan saya tanpa intervensi pihak lain. Begitu juga pernapasan adalah pemberian alam. Memang manusia mengalami pernapasan sebagaimana adanya makhluk lain di bumi.

Bagi si sakit, kehadiran dan kunjungan dari orang sekitarnya merupakan bukti cinta Tuhan. Tuhan hadir lewat pengunjung. Bukti cinta paling nyata yang bisa dirasakan oleh si sakit. Dia kiini tahu Tuhan hadri dan mendampinginya selama sakit. Tuhan bukan lagi Dia yang jauh tetapi Dia yang dekat yakni di sampingnya.

Cempaka Putih, 6 Mei 2011
Gordy Afri  

Paskah tahun 2011. Dimulai dengan hari Kamis Putih dan berakhir hari Minggu Paskah. Perayaan hari pertama dimulai pagi di Gereja Katedral, Jakarta. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Monsinyur Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta. Para Imam Katolik memadati gereja ini. Datang dari berbagai paroki di KAJ dan juga ada imam projo dari luar KAJ. Para pastor/imam ini adalah perpanjangan tangan uskup dalam melayani umat.

Selain itu, umat yang hadir juga banyak. Tenda yang dipasang panitia di luar dan samping gereja dipadati umat. Perayaan ini memang merupakan perayaan para imam. Namun, imam juga kan dekat dengan umat. Ibarat gembala dan domba. Maka tak ada salahnya dunk kalau para “domba” ini ikut hadir.

Dalam penggembalaannya, para pastor perlu dikuatkan dengan doa dan dukungan umat. Di samping itu, mereka juga mesi setia dengan panggilan mulia itu. Itulah sebabnya dalam perayaan hari ini, mereka semua membaraui janji imamat mereka di hadapan uskup. Semoga tetap setia ya…para pastor/romo/imam. Proficiat.

Sore, pukul 6.30, komunitas mengadakan misa Kamis Putih. Perayaan mengenangkan perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya. Pada perayaan misa ini, kami mengadakan acara pembasuhan kaki (saling membasuh kaki). Misa yang dipimpin oleh Rm Wawan, SX ini berlangsung dengan khidmat. Dia membagikan pengalaman misionernya selama berkarya di Taiwan. Dia juga mengingat konfrater di sana yang juga merayakan paskah seperti umat Katolik di seluruh dunia.

Dalam khotbahnya dia mengatakan bahwa pembasuhan kaki itu bukan tindakan bodoh dan buruk. Itu merupakan sebuah bentuk pelayanan mulia dari seorang guru kepada murid-muridnya (Yesus dan para murid-Nya). Lebih lanjut ia menerangkan bahwa kesatuan guru dan murid menjadi kegembiraan besar kita, umat Kristiani bagi dunia. Kegembiraan ini kiranya diwartakan kepada semua orang.

Menjelang tengah malam, kami mengikuti doa tuguran di gereja Paroki Paskalis, Cempaka Putih. Tuguran mengingatkan umat Katolik akan doa Yesus di Taman Getsemani. Jadi, malam ini umat Katolik ikut ambil bagian dalam doa bersama Yesus di taman itu. Sekarang, umat melakukannya di hadapan Sakramen Mahakudus yang disimpan dalam sibori (sibori, tempat penyimpanan Sakramen Mahakudus). Yesus bukan saja dekat dengan manusia dalam sibori itu tetapi juga dekat dengan setiap orang dalam hati.*Semua gambar dari google images



Keesokannya (Jumat Agung), umat Katolik mengenangkan peristiwa Yesus menderita karena dideritakan demikian oleh manusia. Disiksa dengan caci-maki, dihasut dengan kata-kata kasar, dipukul, dibebankan dengan kayu salib berat. Semuanya berat. Fisik lemas karena didera begitu hebat. Dia pun jatuh, tak tahan, dan wafat di salib lalu dimakamkan. Telapak tangan dan kaki ditembusi paku, dirapatkan dengan kayu salib. Kejamnya manusia. Dari atas salib itu Yesus berseru, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani, Allahku, Allahku mengapa Engkau tinggalkan Aku?” Seruan yang diartikan sepihak oleh para serdadu bahwa Yesus memanggil Bapa-Nya dan menyelamatkan diri-Nya. Yesus tidak turun dari salib. Seruan itu membuka mata mereka kemudian bahwa Yesus benar-benar Anak Allah. Beberapa di antaranya sadar dan membuka hati.

Visualisasi ini juga yang digemakan lagi oleh sejumlah mahasiswi/a dari berbagai kampus di Jakarta Timur. Saya dan ketiga teman diundang mengikuti acara ini. Mereka ini termasuk orang yang berani dan tidak segan mengungkapkan iman di tengah orang berbeda keyakinan. Ini baru namanya iman yang mengakar dalam diri dan bukan iman tempelan.

Yesus yang diperankan seorang mahasiswa diarak menuju tempat wafatnya. Visualisasi jalan salib ini dibuat di kampus Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun. Beberapa penghuni kampus dan pemilik warung di sekitar rute heran-heran dan terharu melihat Yesus disiksa sementara Veronika yang diperankan seorang mahasiswi mengusap wajahnya. Mereka mungkin tak tahu arti di balik semua ini tetapi bagus kalau mereka melihat dan menghormati peristiwa ini. 

Sabtu Suci. Hari yang disebut juga Malam Paskah. Malam Kebangkitan Tuhan Yesus. Kebangkitan yang unik. Setelah menderita, wafat, lalu bangkit. Semuanya dihitung 3 hari sejak Ia wafat di kayu salib. Ini mengingatkan kita akan Syahadat Para Rasul, “…pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati…” Malam ini kegembiraan itu muncul setelah menyaksikan peristiwa sedih kemarin. Namun apakah kita juga bangkit dari kebiasaan buruk kita?

Peristiwa Kebangkitan malam ini merupakan sebuah kerinduan. Tak salah kalau Pastor Paroki Kelapa Gading, Rm Antonius Gunardi, MSF mengatakan kalau anak-anak dan para remaja hari-hari ini merindukan kedatangan Justin Bieber (17 tahun) asal Kanada, apakah umat sekalian juga merindukan Kebangkitan Yesus? Tentu saja ada kerinduan. Ia melihat umat yang sejak pukul 3 sore tadi sudah menduduki bangku-bangku dalam gereja. Mereka takut tidak dapat tempat duduk. Ini sebuah kerinduan untuk menghadiri misa malam paskah. Kerinduan ini kiranya mengubah kebiasaan buruk kita. Yesus hadir membawa pembaruan dalam hati umat masing-masing.

Minggu Paskah. “Pada hari pertama minggi itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur…” Yesus tidak ada dikubur. Ia memang sudah bangkit dan duduk di sisi kanan Bapa. Tak tahu kapan persisinya Yesus meninggalkan kubur itu. Padahal hari Jumat baru dikuburkan. Jumat, Sabtu, dan Minggu pagi hilang. Pas tiga hari. Ya….Dia bangkit pada hari ketiga. Selesailah rangkaian paskah. Namun makna paskah tentu saja terus diperbarui. Selamat Paskah.

Cempaka Putih, 28 April 2011
Gordy Afri

Powered by Blogger.