Halloween party ideas 2015

Baru saja berlalu dari lalu lintas media, pemberitaaan tentang demo besar-besaran di Timur Tengah (Tunisia, Yaman, Libya, Mesir Yordania, dsb). Tidak hanya sebatas demo, gerakan itu berujung pada perang. Perang yang melenyapkan nyawa banyak orang. Prajurit yang terlibat langsung dalam peperangan dan juga warga sipil tak bersalah. Jauh sebelumnya, di awal abad 20, terjadi perang besar-besaran di Eropa. Perang ini pun mengorbankan ratusan ribu bahkan sampai jutaan prajurit. Belum terhitung korban warga sipil dan korban yang ditawan, disiksa, dan ditahan. Dari sini muncul istilah Perang Dunia I (1914-18) dan II (1939-45).

Di Indonesia, kisah tentang perang itu dikenal-luas melalui tulisan seorang wartawan kawakan. Dialah P.K.Ojong SH, yang menulis buku Perang Eropa jilid 1-3. Selain sebagai wartawan, dia dikenal sebagai guru, cendikiawan, pemerhati sejarah dan budaya, dan wiraswastawan. Buku ini merupakan kumpulan serial tulisan Ojong yang dimuat di majalah mingguan Star Weekly (Djakarta) tahun 1950-an. Enam puluhan tahun lalu dia menulis, tujuh tahun lalu Penerbit Buku Kompas membukukannya, dan sekarang saya baru saja selesai membacanya (buku jilid 1). Pembaca tulisan ini pun mungkin lebih dulu dari saya membaca buku ini. Dalam dunia akademik, tak ada kata terlambat untuk mulai membaca literatur apa saja. Apalagi kumpulan tulisan ini baru dibukukan. Dengan kata lain, masih ada banyak kesempatan untuk membaca buku ini.

Di mana-mana perang selalu menuntut korban. Prajurit akan bangga jika ada lawan yang meninggal. Dia akan dikenang sebagai pahlawan. Apalagi kalau korban meninggal itu adalah pemimpin prajurit. Mematikan  lawan menjadi harga mati yang mesti dikejar mati-matian. Boleh dibilang tiap prajurit perang mempunyai target mematikan lawan. Bahkan kalau perlu lebih dari satu.

Perang Eropa juga demikian. Ratusan ribu bahkan jutaan nyawa lenyap. Ada yang mati ditembak, dihanguskan bersama bom, hilang bersama pesawat tempur, tenggelam bersama kapal, mati membeku karena kedinginan es, dan sebagainya. Belum terhitung korban sipil akibat salah-sasaran. Menurut Ninok Leksono dalam Pengantar buku ini, Perang Eropa menewaskan sekitar 50 juta, dengan separuhnya dari Uni Soviet (Ninok Leksono dalam Pengantar P.K.Ojong, Perang Eropa Jilid 1, 2003: xxx).

Sejenak kita tengok perang dunia I yang berlangsung 4 tahun. Perang ini dalam arti tertentu merupakan “kekalahan” bagi negara Jerman. Kalau Jerman kalah, siapakah yang menang? Pemenag utama Perang Dunia I adalah Perancis (Ninok Leksono dalam Pengantar P.K.Ojong, Perang Eropa Jilid 1, 2003: xxvii). Selain itu, perang itu diakhiri dengan Perjanjian Versalles (1919). Perjanjian itu berisi demikian. Jerman tidak boleh mempunyai kapal perang yang lebih besar dari 10.000 ton. Jumlah tentara Jerman tidak boleh lebih dari 100.000 orang dan dilarang mempunyai tank yang adalah ciptaan Inggris pada Perang Dunia I. (P.K.Ojong, Perang Eropa Jilid 1, 2003: 2 dan 99). Selain pembatasan jumlah dan kemampuan militer Jerman, perjanjian ini juga memerintahkan Jerman untuk menyerahkan beberapa wilayahnya kepada negara tetangga, Perancis dan Polandia. Bagaimana reaksi Jerman terhadap isi perjanjian ini?

Secara garis besar, Perang Eropa (atau juga disebut Perang Dunia II) melibatkan beberapa kubu negara. Italia dengan Jerman melawan Inggris-Amerika. Amerika-Inggris (alias Sekutu) melawan Jepang. Sementara “Belgia diserbu oleh Inggris-Perancis” (P.K.Ojong, Perang Eropa Jilid 1, 2003: 28). Selain itu, ada beberapa negara yang terlibat antara lain Rusia-Soviet, Perancis, dan Polandia. Perancis dan Polandia berpihak pada Amerika-Inggris. Kelompok ini dinamakan Sekutu.  Demikian juga dengan Rusia. Di luar sekutu ada 3 negara pemegang kendali yakni Italia dan Jerman serta Jepang. Bisa diduga karena korban banyak dan luasnya wilayah perang muncullah nama Perang Dunia.  

Beberapa tokoh sentral yang terlibat dalam perang ini adalah Benitto Mussolini (Italia), Adolf Hitler (Jerman), Joseph Stalin (Rusia), Winston Churchill (Inggris), Franklin Roosevelt (AS), Władysław Sikorski (Polandia), Hideki Tojo (Jepang), dan Chiang Kai-Shek (Cina). *Semua foto dari google images

Kita kembali ke Perjanjian Versalles.
Rupanya Jerman tak menggubris isi perjanjian ini. Bahkan Adolf Hitler merobek Perjanjian Versailes pada 1935. Saat itu, ia membentuk beberapa divisi panser (P.K.Ojong, Perang Eropa, Jilid 1, 2003: 3). Bahkan 5 tahun sebelumnya, Jerman membikin pocket battleship yang mempunyai meriam-meriam dari 11 inchi atau 28 cm diameter (P.K.Ojong, Perang Eropa Jilid 1, 2003: 99). Kalau pun kalah dalam Perang Dunia I, Jerman tidak takut memulai perang baru. Perang Dunia II merupakan ambisi Jerman untuk menguasai wilayah Eropa. Kalau dilihat dengan jeli, di sini tampak kaitan antara Perang Dunia I dan II. Selain itu, Perang Dunia II pada gilirannya nanti mewariskan Perang Dingin. Dalam Perang Dingin, pihak Sekutu tercerai-berai. Mereka balik menyerang Hitler. (Lih, Ninok Leksono dalam Pengantar P.K.Ojong, Perang Eropa Jilid 1, 2003; xxx-xxxi).

Kemajuan Teknologi
Saya lebih tertarik melihat kemajuan teknologi di balik peperangan ini. Perang ini boleh dibilang sebagai ajang lomba perkembangan teknologi. Jerman dengan kegesitan para sarjana dan insinyurnya, menciptakan dan memperbarui peralatan perangnya. Demikian juga dengan Amerika dan Inggris serta Uni Soviet dan Italia.

Perhatikan pada halaman 239-40. Perseteruan perkembangan teknologi melalui U-Boat (Kapal Selam Jerman) dan FUMB (alat penangkis baru Jerman). Dikisahkan bahwa U-Boat berlayar dengan menggunakan motor diesel di permukaan laut pada malam hari. Siang hari dia bersembunyi di bawah air. Jadi, agak sulit menelusuri jejak kapal ini. Namun, Inggris tidak kehilangan akal. Ia mempunyai radar yang bisa menelusuri gerak-gerik kapal ini. Tertangkaplah kapal ini ketika mendadak disoroti lampu senter dari pesawat.

Meski demikian, sarjana Jerman menciptakan alat baru, FUBM, yang dapat menunjukkan saat mana kapal ini berada di wilayah radar pihak lawan. Namun, ini bukan solusi sempurna sebab masih ada celah. Pilot pesawat masih bisa meminta bantuan melalui udara dan laut untuk melacak dan mengejar kapal selam ini. Dan, diketahui pula bahwa, pada tahun 1943, para sarjana Sekutu menemukan sebuah alat untuk mencegat U-Boat dengan radar yang mengirim gelombang yang tidak dapat ditangkap oleh  FUMB.  Berlomba mencapai yang lebih.

Ini hanya sebuah contoh. Perkembangan lain dalam menjawabi perkembangan zaman itu adalah pembuatan torpedo jarak jauh oleh teknisi Angkatan Laut Italia, Letnan-Muda Teseo Tesei dan Elios Toschi tahun 1935 (P.K.Ojong, Perang Eropa, Jilid 1, 2003: 255). Torpedo ini dikemudikan oleh manusia katak.



Situasi saat ini
Dari sini dapat diketahui bahwa, ada perkembangan teknologi di beberapa negara yang terlibat perang. Kini, Rusia sudah menghasilkan banyak teknisi yang menjangkau angkasa. Begitu pula dengan Jerman, Amerika, Inggris, Perancis, dan Italia.

Di Asia sendiri ada Jepang. Menjadi pelajaran berharga bagi Jepang ketika kapalnya berhasil ditaklukkan oleh Sekutu. Juga ketika dua kota (Hiroshima dan Nagasaki) mereka dibombardir bom.  Kini, Jepang pun mengalami perkembangan teknologi yang sangat pesat. Meski baru-baru ini teknologi nuklir Jepang hancur dan merugikan banyak orang, perkembangan teknologi lainnya tidak musnah. Berapa jenis kendaraan yang dibuat Jepang cukup handal dan selalu diperbarui. Sebut saja Yamaha, Mitsubishi, Suzuki, Kia, Hyundai dan sebagainya.

Alangkan baik kalau Indonesia belajar dari peristiwa ini. Kemajuan teknologi memang mampu menyokong dan mempercepat mobilitas manusia. Teknologi robot kini tren di beberapa universitas di Indonesia. Baru-baru ini, sudah mulai muncul peserta kontes robot dari beberapa universitas seperti ITB, UGM, UI, ITS, dan yang lainnya. Jika ini dikembangkan, model teknologi lain di tanah air pun bermunculan.

Kalau Indonesia bisa membuat kapal laut handal dan pesawat yang handal, wilayah negara ini aman. Tak ada lagi kapal asing yang mencuri ikan dan menjarah pelaut kita. Indonesia membutuhkan sarana itu saat ini. Maraknya pencurian ikan oleh kapal asing semestinya menggugah hati anak bangsa untuk menciptakan kapal perang yang berkualitas. Dari segi kecepatan dan ketepatan dalam membidik musuh.

Namun, ada sisi lain di balik itu. Perkembangan teknologi semestinya kembali pada tujuan utamanya yakni mempercepat mobilitas manusia. Kapal perang tadi sebagai contoh. Dia ada untuk menjaga keutuhan wilayah laut dan menggertak musuh. Jangan sampai teknologi itu malah merugikan manusia. Seperti kita lihat dalam bahaya perang di atas. Meski manusia bukan target utama. Sebagai pengendali teknologi itu, manusia juga menjadi target secara tak langsung. Target lawan adalah teknologi itu. Namun, teknologi dan operatornya tidak dipisahkan. Lawan menargetkan penghancuran kapal perang. Namun mereka belum bisa menyelamatkan manusia yang ada dalam kapal itu. Jika nyawa manusia selalu di atas, semestinya kapal hancur tetapi manusianya selamat. Tiap perkembangan memang mengingatkan kita akan dualitas dampak perkembangan itu.

Cempaka Putih, 29 Juni 2011
Gordi Afri


Ada dua sikap yang muncul ketika berhadapan dengan orang yang kita kenal baik. Pertama, kita mengakuinya sebagai orang yang kita kenal. Namun, (kedua), kadang-kadang di antara kita, ada yang masih ragu-ragu dengan keyakinannya. Sepintas kita melihat masalahnya ada di objek (orang yang kita kenal). Namun, kalau disadari kita jangan mengabaikan juga dengan subjek (kita yang melihatnya).

Para murid bertemu Yesus (orang yang mereka kenal). Ada yang menyembah dan ada pula yang ragu-ragu. Mula-mula saya melihat ke-ragu-ragu-an ini berkaitan dengan identitas Yesus. Kalau demikian, mereka kurang cekatan. Yesus hidup bersama mereka selama ini. Bagaimana mungkin mereka masih ragu-ragu? *Foto google images

Rupanya, ragu-ragu yang dimaksud adalah ragu-ragu dengan kesanggupan mereka untuk mengikut Yesus. Mereka tahu akan diutus. Namun, mereka ragu, tak berdaya. Mereka sudah mengetahui dan merasakan kasih Yesus bagi mereka selama ini. Mereka ragu-ragu, apakah mereka bisa seperti itu?

Iman para murid dipertebal dengan peristiwa ini. Kalau melihat dari perspektif sekarang, sikap mereka tak ada salahnya. Justru memang seperti itu sebaiknya. Meragukan sesuatu berarti melihat lebih dalam dan mencari akar dari sesuatu. Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf modern, mengatakan “Aku yang ragu adalah aku yang eksis”. Dengan kata lain, eksistensi kita nyata dalam tindakan meragukan itu. Iman yang semula diragukan—menurut saya—akan menjadi iman yang murni dan mengakar kuat.

Meski demikian, sebagai orang beriman Katolik, keragu-raguan terhadap iman itu semestinya jangan dipupuk-berkepanjangan. Meragukan dalam jangka panjang tanpa mencari dasar mengantar kita pada sikap skeptis. Jika skeptis ini berkepanjangan akan berbahaya bagi perkembangan iman kita. Demikian juga dengan perkembangan kehidupan sosial. Kalau semuanya diragukan, apa yang masih bisa menjadi dasar pijakan kita? Masih adakah yang patut kita percayai jika semuanya diragukan?

Meragukan saja tidak cukup. Mesti ada yang menjadi dasar dan batu pijakan. Ibarat rumah yang berdiri di atas batu dan fondasi yang kuat. Teologi Katolik—menurut saya—sangat tepat. Ada dasar yang kuat yakni iman dan wahyu. Kedua hal ini menjadi inti agama Katolik. Dua hal ini juga yang menjadi batu pijakan agar kita bisa percaya pada Allah dan yakin akan iman yang dipilih. Pencarian dan pergumulan akan iman dan peristiwa pewahyuan terjadi dalam peziarahan hidup. Kadang-kadang sangat sulit untuk memahami cinta Allah yang begitu besar. Tetapi jangan takut “Allah menyertai kita” dalam peziarahan hidup ini.

Ibarat seorang pewarta, para murid mempunyai sesuatu yang diyakini betul untuk diberitakan kepada orang lain. Demikian juga kita, umat Katolik mesti mempunyai dasar iman yang kuat supaya bisa percaya pada Allah dan bisa dibagikan pada sesama. Iman itu berakar dalam pengalaman—seperti dialami para murid—namun iman itu mesti dipertanggungjawabkan. Jangan sampai kita “Ya” saja tetapi tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Yesus yang naik ke surga itu memberi warisan rohani pada para murid dan para murid memberi pada kita di zaman ini. (Pesta Kenaikan Tuhan Yesus, 2011).

Cempaka Putih, 2 Juni 2011
Gordi Afri

Pendahuluan
            Tulisan ini dibagi empat bagian. Bagian pertama menjelaskan pengertian Substansi menurut Spinoza (Baruch dpe Spinoza, 1632-77). Bagian kedua menjelaskan dua konsep yang berkaitan dengan konsep substansi yakni konsep ‘attribute’ dan ‘modus’. Bagian kedua ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari pengertian substansi pada bagian pertama. Bagian ketiga menjelaskan konsep Allah atau Alam sebagai kenyataan tunggal. Bagian keempat menjelaskan konsep Allah sebagai substansi tak terhingga. Tulisan ini ditutup dengan kesimpulan.

Substansi menurut Spinoza
            Spinoza—seperti Descartes—ingin menemukan jaminan atau pegangan yang pasti bagi segala bentuk pengetahuan. Pegangan yang pasti itu bagi Spinoza adalah konsep substansi. Substansi menurut Spinoza adalah sesuatu yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri.[i] Dalam rumusan lain Spinoza mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya.[ii] Konsep substansi itu sudah terbentuk pada dirinya sendiri. Spinoza memahami substansi sebagai suatu kenyataan yang mandiri tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain. Substansi tidak berelasi dengan sesuatu yang lain, dan tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain (causa sui: penyebab dirinya sendiri). Spinoza berpendapat bahwa ada satu dan hanya satu substansi, dan substansi itu adalah Allah. Ia tidak setuju dengan Descartes yang mengatakan ada tiga substansi yang saling berkaitan. Substansi ini menurut Spinoza bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual. Sifat lain dari substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak (artinya sama sekali tidak bergantung pada yang lain), dan tunggal. Menurut Spinoza yang memenuhi semua definisi ini adalah Allah. Allah mempunyai sifat abadi, tidak terbatas, mutlak, tunggal, dan utuh.[iii]
            Allah adalah substansi menurut Spinoza maka Allah adalah sesuatu yang ada pada dirinya dan dipahami melalui dirinya sendiri; Allah adalah sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya; Allah adalah suatu kenyataan yang mandiri tapi juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain; Allah tidak berelasi dengan yang lain; Allah tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain; Allah bersifat individual sekaligus menjadi hakikat segala sesuatu yang tampaknya individual. Kalau demikian bagaimana Spinoza mengetahui atau mengenal Allah yang tak terbatas kalau Allah itu hanya bisa dipahami melalui dirinya sendiri? Bagaimana mungkin pikiran Spinoza yang adalah manusia dan terbatas mengenal Allah yang tak terbatas itu? Di sinilah letak rasionalisme Spinoza. Rasio manusia—menurut Spinoza—mampu mengenal dan menjelaskan seluruh realitas berdasarkan asas atau prinsip pertama yang adalah substansi itu sendiri.[iv] Rasio itu pula yang memampukan Spinoza untuk menjelaskan substansi tak terhingga atau Allah itu. Dengan kata lain, Allah yang sedemikian tak terhingga itu bisa dijelaskan dengan kekuatan rasio manusia. Namun sebetulnya pikiran manusia itu adalah bagian dari pikiran tak terbatas dari Allah.[v] Pikiran manusia—dalam hal ini Spinoza—bisa menjelaskan sesuatu yang tak terbatas, yang melampau daya tangkapnya karena masih  merupakan bagian dari yang tak terbtas itu. Yang tak terbatas itu adalah Allah dan pikiran manusia yang menjelaskan Allah itu merupakan bagian dari yang tak terbatas itu.

Dua konsep yang berkaitan dengan konsep substansi
            Spinoza menjelaskan dua konsep yang berhubungan dengan konsep substansi yakni konsep attribute dan modus. Attribut  atau atribut di sini berarti segala sesuatu yang ditangkap intelek sebagai hakikat substansi, sedangkan modus adalah hal-hal yang berubah-ubah pada substansi.[vi] Atribut merupakan sifat atau ciri khas yang melekat pada substansi dan modi merupakan berbagai bentuk atau cara keberadaan dari substansi (dari kata modus, bentuk tunggal kata benda Latin yang berarti ‘cara’).[vii] Keluasan (ekstensi) menurut Spinoza adalah sebuah attribut karena kita tangkap sebagai hakikat benda-benda jasmani. Sedangkan warna, ukuran, dst adalah modus. Keluasan juga merupakan attribut Allah yang adalah substansi tak terhingga. Keluasan bisa dimengerti sebagai hakikat dari Allah, dan juga sebagai sifat atau ciri khas yang melekat pada Allah. Allah mempunyai sifat keluasan. Tampaknya keluasan yang dimaksudkan Spinoza di sini adalah sesuatu yang tak terhingga. Seperti konsep Spinoza yang dikenakan pada Allah yakni konsep substansi tak terhingga. Allah dimengerti sebagai sesuatu yang tak terhingga. Pikiran menurut Spinoza adalah attribut dari substansi tunggal yaitu Allah. Pikiran memiliki modus-modus, misalnya aliran tertentu, imajinasi tertentu, dst. Pikiran juga bisa dimengerti sebagai hakikat dari Allah, dan juga sebagai sifat atau ciri khas yang melekat pada Allah. Hakikat dari Allah adalah pikiran, dan sifat atau ciri khas dari Allah itu sendiri adalah pikiran (berpikir).

Allah atau Alam adalah kenyataan tunggal
            Spinoza mengatakan bahwa dunia hanyalah satu substansi dengan kedua attribut yakni keluasan dan pikiran. Kita bisa melihat dunia dari attribut pikiran, dan kita menyebutnya ‘Allah’ tapi juga bisa melihatnya dari attribut keluasan dan kita menyebutnya ‘alam’.[viii] Dengan kata lain dunia juga mempunyai dua hakikat atau ciri khas yang melekat padanya yakni keluasan dan pikiran. Dari sini dapat dimengerti bahwa melihat dunia dari segi pikiran sama dengan melihat Allah. Sebaliknya melihat dunia dari segi keluasan sama dengan melihat alam. Pikiran (thought) di sini meliputi kesadaran (consciousness) dan pikiran itu sendriri (thought) sedangkan keluasan (extension)  meliputi tempat atau ruang (space) dan zat atau bahan (matter).[ix]
Kalau Allah adalah satu-satunya substansi maka segala yang ada harus berasal dari Allah.[x] Semua yang ada di atas alam ini; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dst berasal dari Allah. Semuanya ini tidak lain adalah cara berada dari Allah. Keberadaan dari semuanya ini bergantung pada Allah. Maka, bisa dikatakan bahwa alam dan segala isinya identik dengan Allah. Lalu apa bedanya Allah dan Alam? Yang berbeda hanyalah istilah atau sudut pandangnya saja. Sebagai Allah, alam adalah natura naturans (alam yang melahirkan). Sebagai dirinya sendiri, alam adalah natura naturata (alam yang dilahirkan).[xi] Dari sini, Spinoza menyimpulkan bahwa Allah atau Alam adalah kenyataan tunggal. Kenyataan tunggal di sini berarti satu kesatuan. Maka, pandangan Spinoza ini disebut sebagai monisme, yakni keyakinan bahwa segala yang ada merupakan suatu kesatuan dan pada akhirnya segala-galanya adalah satu.[xii] Spinoza menyebutnya Deus sive Natura (Allah atau alam).
Penjabaran lebih jelasnya bisa dilihat pada skema di bawah. Alam, sebagai Allah atau natura naturans mempunyai sifat abadi, tidak berubah, tersembunyi dan unik. Sedangkan, alam sebagai alam mempunyai sifat sementara, berubah, kelihatan, dan berbeda. Sumber skema: ww.friesian.com/spinoza.htm. *Untuk lebih jelasnya pembaca mengecek ke alamat ini, karena tidak bisa dimasukkan ke laman ini.
Pandangan ini tentu saja berbeda dari ajaran agama-agama monoteis yang melihat Allah sebagai pencipta alam semesta. Allah yang dipikirkan Spinoza bukanlah Allah yang bersifat personal dan memisahkan diri dari ciptaannya. Menurut Spinoza, batu atau pohon yang tampak di hadapan kita itu tak lain daripada Allah yang menampakkan diri, maka alam semesta ini sakral dan religius. Segalanya ada dalam Allah termasuk manusia yang adalah pikiran Allah. Tidak ada yang di luar Dia. Tak heran kalau Spinoza menyebut Allah sama dengan aturan kosmos.[xiii] Kehendak Allah ia samakan dengan kehendak alam maka hukum-hukum alam itu merupakan kehendak Allah. Pandangan seperti ini disebut sebagai panteisme, ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta.[xiv] Dari sini dapat disimpulkan bahwa Allah dan Alam merupakan kenyataan tunggal. Keduanya adalah satu substansi. Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa istilah Allah dan Alam muncul karena berbeda sudut pandang dalam melihat substansi ini. 

Allah sebagai substansi tak terhingga
            Pertanyaannya adalah mengapa Allah disebut sebagai substansi tak terhingga? Paparan di atas hanya menyebut Allah sebagai substansi tak terhingga tetapi alasan sampai menyebut demikian belum dijelaskan. Spinoza—seperti pada paparan di atas tadi hanya menyebut dua dari sifat atau hakikat Allah sebagai substansi yakni keluasan dan pikiran atau dalam sumber lain diterjemahkan sebagai pemikiran dan pengembangan.[xv] Kalau argumen Spinoza hanya sampai di sini, konsepnya tentang Allah sebagai substansi tak terhingga bisa diproblematisir. Dia hanya menyebut dua sifat Allah maka konsep Allah itu hanya terbatas pada dua itu. Dengan demikian konsepnya bukan lagi substansi tak terhingga atau Allah tetapi substansi terbatas atau Allah. Terbatas karena hanya terdapat dua sifat dari Allah, dan bukan banyak atau tak terhingga.
            Spinoza tidak berhenti di sini. Ia menjelaskan lebih lanjut tentang konsep Allah sebagai substansi tak terhingga. Menyebut tak terhingga berarti ada banyak sampai tak bisa dihitung atau tak terhingga. Ia mengatakan bahwa Tuhan juga memiliki sifat-sifat lainnya yang tak terbatas jumlahnya, karena Dia tidak terbatas dalam setiap aspeknya; tetapi sifat-sifat lain tersebut tidak kita ketahui.[xvi] Di sinilah letak ketidakterhingga-an dari Allah. Hanya dua yang disebut Spinoza saja yang dapat diketahui dari sifat Allah. Masih banyak sifat lainnya yang tidak diketahui. Pemikiran Spinoza ini menjadi kuat dan jelas kalau melihat pengertian Allah menurut Spinoza. Allah merupakan sebuah substansi maka sebagai substansi tentu saja Allah itu tidak bisa dimengerti atau dipahami seluruhnya. Hakikat dari sebuah substansi tidak bisa dipahami sepenuhnya. Selain itu Allah menurut Spinoza bukan person atau pribadi seperti dipahami orang Kristen. Hakikat seorang pribadi yang terbatas saja tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh manusia apalagi hakikat Allah yang bukan pribadi tetapi sebuah substansi. Di sini menjadi jelas bahwa memang konsep substansi tak terhingga atau Allah menurut Spinoza itu bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian pertanyaan yang sempat dilontarkan penulis pada bagian awal juga bisa dijelaskan. Bagaimana mungkin pikiran Spinoza yang adalah manusia dan terbatas mengenal Allah yang tak terbatas itu? Pikiran manusia termasuk Spinoza memang terbatas tetapi tetap mampu menjelaskan sesuatu yang tak terbatas. Ia tetap konsisten pada pandangannya bahwa Allah itu adalah substansi tak terhingga karena ia melihat ketakterbatasan dari Allah. Dengan pikirannya yang terbatas ia menjelaskan bahwa masih ada sifat-sifat lain dari Allah yang tak terbatas namun sifat itu tidak dapat diketahui. Di sini tampak kekuatan rasio sebagai sumber pengetahuan (rasionalisme) sebagaimana dipikirkan Spinoza. Rasio mampu menunjukkan bahwa ADA yang tak terbatas dari Allah da hal itu tidak diketahui atau mungkin tidak bisa diketahui oleh manusia. Tetapi yang tak terbatas itu tetap ada.

Kesimpulan
            Demikianlah pemaparan mengenai konsep substansi tak terhingga atau Allah menurut Spinoza. Bermula dari sebuah kekaguman akan tokoh Spinoza yang dengan tegas mengatakan Allah itu sebagai substansi tak terhingga sementara Allah itu sendiri hanya bisa dipahami melalui dirinya sendiri. Bagaimana Spinoza memahami sesuatu di luar dirinya (Allah) yang tak terhingga dengan pikirannya yang terbatas dan lagi pula hal yang di luar dirinya itu tidak berelasi dengan dia. Di sini mau diperlihatkan bahwa Spinoza adalah tokoh yang mengagungkan peran rasio dalam mencari sumber pengetahuan. Dia yakin bahwa rasio manusia yang terbatas itu mampu menjelaskan substansi tak terhingga atau Allah.





Catatan Akhir
[i] F. Budi Hardiman, hlm. 47.
[ii] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[iii] Ibid.
[iv] Ibid. hlm. 206.
[v] Spinoza, seperti dikutip F. Budi Hardiman, hlm. 48.
[vi] Ibid. hlm. 47.
[vii] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[viii] F. Budi Hardiman, hlm. 48.
[ix] Bdk. Baruch Spinoza (1632-1677)  dalam http://www.friesian.com/spinoza.htm
[x] Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, hlm. 212.
[xi] Ibid.
[xii] Franz Magnis Suseno, hlm. 194.
[xiii] Lih. Harry Hamersma, hlm. 11.
[xiv] KBBI, hlm. 1017.
[xv] Bertrand Russell, hlm. 749.
[xvi] Ibid.




Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat. Jakarta: Gramedia.
Hamersma, Harry. 1986. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tjahjadi, Simon Petrus L. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.

Baruch Spinoza (1632-1677)  dalam http://www.friesian.com/spinoza.htm diunduh pada 22/11/09 jam 15.52.

 

Jakarta, 27 Mei 2011

Gordy Afri

Tulisan ini dibuat pada semester ganjil 2009/10 di STF Driyarkara, Jakarta


Powered by Blogger.