Halloween party ideas 2015

Minum kopi sudah menjadi kegemaran rakyat negeri ini. Dari Sabang sampai Merauke ada gerai kopi. Kopi juga menjadi salah satu komoditas andalan negeri ini.

Kopi tidak saja menjadi kegemaran masyarakat kalangan atas, kaum elit, kaum berada. Kaum bawah, akar rumput, juga gemar minum kopi. Tak heran jika di rumah mereka tersediakopi untuk diminum.

Istilah cangkir kopi pun tidak asing di telinga masyarakat. Cangkir kopi dalam judul tulisan ini tidak berkaitan langsung dengan tulisan yang ada di dalam buku Cangkir Kopi Jon Pakir.

Cangkir kopi memang dimaksud sebagai cangkir kopi benaran. Istilah ini masuk dalam tulisan ini karena latar belakang tulisan yang ada dalam buku ini. Buku ini berisi kumpulan tulisan yang tersebar di berbagai media masa. Sewaktu tersebar dalam media, tulisan itu bisa dibaca sambil menikmati kopi hangat pagi hari. Atau juga sambil menikmati kopi di kafe bersama teman.

Sementara, nama Jon Pakir adalah nama diri Emha Ainun Nadjib, novelis dan budayawan dari Yogyakarta. Ia menggunakan nama ini untuk menyebut dirinya. Nama ini dipilih begitu saja tanpa ada latar sejarah atau keterkaitan lainnya.

Buku ini menarik untuk dibaca. Cocok dibaca oleh siapa saja yang suka membaca dan sedang belajar menulis. Idenya mengalir. Maklum, kumpulan tulisan ini sudah tersebar di berbagai media masa. Jangan heran jika gaya bahasanya adalah gaya bahasa koran dan media masa populer. Silakan membaca buku ini dan nikmatilah gaya bahasanya.

Selamat membaca.

Judul Buku: Cangkir Kopi Jon Pakir
Penulis: Emha Ainun Nadjib, budayawan dan penulis, novelis dan penyair
Penerbit : MIZAN
Tahun terbit: 1992
Kota Terbit: Bandung
Jumlah halaman: 395
Isi: kumpulan tulisan ringan yang tersebar di media massa.


PA, Maret 2013

Gordi Afri



google.co.id

Novel ini mengisahkan kehidupan dua bersaudara, Mansur dan Laminah, kakak-adik, anak dari Madang. Mereka sejak kecil ditinggal ibu. Lalu ayah meninggal saat mereka sang Kakak kira-kira berumur 8-9 tahunan. Sang adik masih kecil.

Sejak kepergian ayah, mereka tinggal dengan Tante. Di situ mereka hidup tidak tenang. Mansur dipaksa bekerja keras, menggembala di padang, dan mencari kayu bakar. Sedangkan adik, Laminah, dipaksa menjaga sepupunya yang masih kecil.

Sewaktu masih ada ayah, mereka hidup bahagia. Ayah sering memungut durian atau mencari ikan di sungai. Mereka menunggu di rumah. Mereka juga ikut ayah menjual durian ke ujung sungai. Pergi dengan rakit yang bergerak dengan arus sungai.

Mereka juga sering berkunjung ke rumah Tante yang berdekatan. Waktu itu Tante dan suaminya sayang sama mereka. Mereka dimanja.

Namun, ketika ayah tidak ada, sikap suami Tante berubah. Dia menjadi bengis dan kadang-kadang tidak menaruh iba pada anak yatim piatu itu. Laminah yang jadi korban, dipukul karena membuat anaknya luka. Padahal anaknya menginjak pisau saat bermain dengan Laminah.

Apa boleh buat, sang kakak makin besar dan tangguh. Mereka berlindung di rumah sepasang kakek-nenek yang amat sayang pada mereka sebelum berangkat ke Bengkulu untuk mencari pekerjaan.

Saya salut dengan kegigihan-perjuangan sang kaka beradik dalam novel ini. Meski ini hanya novel, kisahnya membawa pesan perjuangan dan kejujuran. Kedua nilai ini yang dihidupi kakak-beradik.

Namun, saya tidak begitu tertarik dengan novel ini. Sesuai judulnya, kisah kedua kakak-adik ini berakhir tragis. Mereka selalu dirundung duka. Banyak cobaan hidup yang mereka alami. Sampai akhirnya adik bunuh diri dengan cara mencebur ke laut karena stres sang kakak dipenjarakan.

Kemudian sang kakak kecewa karena harus hidup sendiri. Baginya tidak ada arti kalau adik telah tiada. Dia pergi dengan kapal lalu mencebur ke laut. Kru penyelamat kapal berusaha menolongnya namun gagal.

Saya sedih membaca novel ini. Amat sedih mengikuti kisah hidup kedua kakak-adik ini. Terlalu sedih. Penulis novel ini mengisahkan cerita yang berakhir sedih.

Meski ini novel tua, patut dibaca. Bahasanya masih gaya dulu. Paling tidak saya jadi tahu gaya bahasa zaman itu.


Judul Buku: TAK PUTUS DIRUNDUNG MALANG
Penulis: S. Takdir Alisjbhana
Penerbit : Dian Rakyat
Tahun terbit: 1993 (Cet ke-13)
Kota Terbit: Jakarta
Jumlah halaman: 116


PA, 23/3/13
Gordi




gambar dari sousukmawanlone.blogspot.com
Saya sebenarnya sama sekali tidak berdunia maya ketika keluar rumah. Saya punya laptop di ruang kerja di Yogyakarta, saat ini. Tetapi itu bukan milik saya. Ketika pada Rabu, 10-13 April 2013, saya ada di Makasar, saya tidak membawa laptop. Dengan demikian saya tidak berdunia maya seperti ketika di Jogja.

Namun, ternyata fakta berbicara lain. Di Makasar saya bisa pakai laptop. Adik saya, Rifan, berbaik hati. Dia merelakan laptop beserta modem internetnya saya pakai. Saya pun berterima kasih padanya. Sungguh di luar dugaanku.

Saya iseng-iseng saja bertanya apakah ada warnet dekat sini. Dia jawab, tidak. Tetapi dia memberi solusi. Jika mau, pakailah laptop saya ini, katanya. Wah saya sebagai kakak tidak menolak. Saya berterima kasih padanya.

Dengan laptopnya, saya bisa berdunia maya. Menulis beberapa artikel. Termasuk artikel ini (yang kedua). Di kompasiana saya tulis beberapa artikel. Pokoknya laptopnya ini sungguh bermanfaat. Terima kasih untuk adikku, Rifan, yang berbaik hati. Indahnya persaudaraan antara adik dan kakak.

Tulisan ini dibuat dari kamar tidur di Seminari Petrus Claver, Mariso, Makassar. Salam persaudaraan.

Makassar, 21.30 WITA

Gordi Afri
Powered by Blogger.