Halloween party ideas 2015


Dari gedung tinggi ke pohon tinggi. Dari berwarna-warni ke warna hijau.

Demikianlah gambaran pemandangan yang terlintas di mata saya dua tahun lalu. Betapa tidak, saya baru saja datang dari Jakarta. Tinggal di antara jejeran bangunan tinggi. Pemandangan yang sehari-hari nyata di depan mata. Tentu ada juga pepohonan hijau seperti di sekitar rumah kami di bilangan Jakarta Pusat. Tetapi apalah artinya pepohonan itu dibanding luasnya gedung tinggi di seluruh kota Jakarta.

Datang ke Italia, negara yang dijuluki sebagai kaya budaya dan seni. Selain seni, rupanya Italia dikenal sebagai negara hijau. Maksudnya, hampir di setiap kota selalu ada bagian hijaunya. Italia memang sangat ketat dalam menerapkan hukumnya. Salah satunya adalah mewajibkan pembangun apartemen untuk menyediakan lahan kosong sebagai ‘bagian hijau’ di sekitar pekarangan apartemen. Jika ini tidak dipenuhi, izin mendirikan sebuah apartemen tidak akan keluar. Jangan heran jika di setiap bagian dari sebuah kota, selalu ada bagian hijaunya. Entah berupa taman kota atau pekarangan apartemen.

Suatu ketika, saya pergi ke pinggiran kota Ravenna, salah satu kota seni di Italia. Menginap di salah satu rumah yang letaknya di bagian tengah hutan. Bukan hutan tanpa pemilik. Hutan yang dimaksud adalah rerimbunan pohon cemara. Pepohonan inilah yang mengelilingi rumah ini. Rumah hening ini tepat berada di tengah hutan cemara ini. Tidak banyak suara yang masuk ke rumah ini. Maka, sangat cocok jika rumah ini dipakai sebagai rumah untuk berhening. Entah berdoa atau bermeditasi. Rupanya banyak pengunjung rumah ini betah tinggal di sini. Lumayan menikmati keheningan dan hijaunya kompleks ini.

Setiap hari, saya berjalan-jalan mengitari kompleks ini. Lebih dari dua kali saya berputar-putar. Boleh dibilang, minimal 14 kali saya mengelilingi kompleks ini selama 7 hari di sana. Saya tak ingat apakah pernah 3 atau 4 kali sehari. Atau kadang-kadang 1 kali saja. Hari pertama saya mengitari semua sudutnya. Hari berikutnya, kadang-kadang berhenti lama di bawah satu pohon. Atau berhenti tepat di ujung jalan. Tidak ada mobil yang lewat karena memang tidak boleh lewat sembarang di kompleks ini. Pejalan kaki tentu saja tetapi tidak untuk mobil. Pemandagn hijau dari ujung jalan itu membuat saya betah menatapnya lama-lama. Betapa indahnya pohon cemara ini. Saya berandai-andai, kalau saja ada yang menemani, saya akan mengajak teman saya untuk duduk dan bercerita lama atau duduk bermeditasi lama-lama di sini. Kalau teman saya itu perempuan, saya mengajaknya bercinta di bawah pohon cemara ini saja. Pasti dia akan betah duduk berdua sambil bercerita di kompleks ini.

Saya yakin pemilik rumah ini betah tinggal di sini. Rasanya seperti tinggal di vila pribadi di kawasan puncak, Bogor, Jawa Barat. Letak rumah yang berada di tengah seolah-olah menunjukkan bahwa rumah itulah yang jadi pusat kompleks ini. Dari rumah inilah semua inspirasi untuk membangun dan melestarikan kompelks ini. Pemilik rumah suatu pagi berbisik pada saya, “Rumah ini bukan rumah kita. Kita menerimanya secara gratis. Pemiliknya menugaskan kita untuk melestarikan kawasan yang ada. Itulah sebabnya, kami terus merawat pepohonan ini dan menjaga keaslian kompleks ini sesuai arahan pemiliknya yang telah tiada itu.”

Saya tertegun mendengar ujaran pemilik rumah ini. Kawasan hijau seperti ini memang mesti dilestarikan. Dan, tentu banyak godaan untuk melalaikannya. Kawasan indah dan teduh ini bisa saja dirusakkan dalam sekejap mata. Cukup membuang sampah di sembarang tempat, rusaklah kawasan ini. Tidak ada lagi udara bersih karena sudah terpolusi oleh bau busuk sampah tadi. Tapi, ini tidak saya temukan di kompleks ini. Pemilik rumah justru menunjukkan pada pengunjung cara dia melestarikan kawasan ini. Salah satunya ya, bangun pagi-pagi, sambil berlari-lari, dia membawa tong sampah organiknya. Membuangnya di salah satu bagian dari rumah ini. Di sana sudah ada tempat khusus yang disediakan. Di sanalah sampah organik itu disimpan. Sampah-sampah itu akan diolah secara alamiah hingga nantinya akan jadi pupuk. Saya tidak sempat memintanya menjelaskan cara pengolahannya.

Rupanya tidak cukup sebatas mengagumi kawasan hijau tetapi mesti tahu cara membangun dan merawatnya.

Salm cinta hijau.

PRM, 31/8/2015

Warna kesukaanmu apa? Begitu pertanyaan teman saya beberapa waktu lalu. Pertanyaan semacam ini sering saya dengar. Saya pun menjawab ala kadarnya. Bukan karena tidak mau menjawab. Saya menghormati teman yang bertanya ini. Tentu dia punya maksud di balik bertanya. Atau tentu saja ada juga yang bertanya ala kadarnya saja alias iseng. 

Saya menjawab sekenanya saja karena saya tidak pernah memilih warna yang paling saya suka. Bagi saya semua warna itu sama saja. Tentu menjadi indah ketika ditempatkan pada situasi yang cocok. Kalau saya sedang melihat bendera Indonesia, saya suka warna Merah yang dipadan dengan Putih. Demikian ketika naik gunung bulan Agustus kemarin. Saya lihat banyak sekali dua warna ini ditempelkan pada batu atau pohon. Hanya saja posisinya terbalik seperti benderanya Polandia. Rupanya bendera ini jadi penanda jalur pendakian yang berlaku di seluruh Eropa. Saya dapat jawaban ini dari seorang Italia yang suka naik gunung. 

Kalau saya sedang memandang ke langit atau menatap indahnya lautan, saya suka warna biru. Mataku menatap berjam-jam melihat birunya langit dan laut. Demikian ketika melihat pelangi yang warnanya macam-macam. Rupanya jadi indah. Keindahan yang tiada tara. Seperti indahnya pulau-pulau di Indonesia yang diminikan di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. 

Keindahan seperti inilah yang saya hidupi sejak masa kecil. Karena saya hidup di gunung, warna dominan yang saya lihat adalah warna hijau. Tanpa mengurangi warna langit-biru. Hijau bagi saya adalah tanda kesuburan. Kesuburan yang menjadi impian kami, para petani. Tanah subur adalah idaman. Di baliknya, ada hasil panen. Entah padi, kopi, cengkeh, fanili, cokelat, pohon Jati, Mahoni, Ampupu, Sengon, dan sebagainya. 

Di balik kesuburan juga tersimpan rerimbunan pohon. Rerimbunan yang mungkin sederhana tetapi dari sudut pandang seni, rerimbunan itu jadi indah. Rerimbunan yang juga jadi sarang burung, tempat berteduhnya manusia. Di balik kesuburan, juga tersimpan rerumput hijau. Rumput yang jadi tempat terbaik untuk bermain sepak bola bagi kami anak desa. Rumput yang juga jadi makanan ternak kami. Kuda, Kerbau, Sapi, Kambing, dan sebagainya. 

Hijau bagi kami adalah warna rejeki. Belum senang rasanya kalau belum muncul kehijauan. Sebaliknya, kalau hijau muncul, perasaan langsung bergembira ria. Bukan saja bergembira tetapi mata kami juga seolah-olah tak berkedip melihat indahnya alam. Melihat bunga mekar, dedaunan hijau kala musim hujan mulai. Kami bahagia dengan warna hijau. 

Warna hijau juga menjadi warna harapan. Harapan akan hasil panen padi. Harapan ini sudah kami tanamkan sejak kami menanam padi. Berlanjut ketika kami melihat padi itu bertumbuh subur nan hijau saat berumur 1,5-2 bulan. Maka, di balik hijau tersimpan harapan besar. Kalau panen padi berhasil betapa kebahagiaan kami bertambah. Maka, hijau itu sungguh besar artinya bagi kami. 
Kalau ada lagi yang bertanya, apa warna kesukaan saya, saya akan menjawab untuk saat ini, saya memilih warna hijau. Tentu warna hijau menjadi lebih indah juga ketika dipadukan dengan warna lainnya. 
Jadi, apa warna kesukaanmu???

Parma, 31/8/2015

ilustrasi di sini

Uang, uang, dan uang
Manusia membutuhkanmu
Semua orang ingin memilikimu
Apa pun usahanya muaranya ke kamu

Kaum hawa
Teman perjalanan kaum adam
Teman setia kaum adam
Juga membutuhkan uang

Uang dan kaum hawa
Uang dan kaum adam
Kaum adam banyak uang
Kaum hawa ingin memiliki uang

Kaum adam membeli kaum hawa
Dengan segepok uang
Beruntunglah kaum adam yang beruang
Namun ia berdusta karena uang

Tak pandang bulu
Semua kaum adam hampir berdusta
Gara-gara uang
Politikus, penguasa, kader partai, dan sebagainya

Kaum adam diperhamba oleh uang
Boleh jadi kaum hawa juga
Tetapi yang tampak adalah kaum adam
Yang “membeli” kaum hawa

Uang memang meraja sekarang ini
Ada uang ada hawa
Ada uang ada nafsu
Ada uang apa pun bisa diraih

Sampai kapan perhambaan ini?
Hanya waktu yang tahu
Tanya saja pada rerumput yang bergoyang
Kata Ebit dalam lagunya

PA, 16/2/13
Gordi



Powered by Blogger.