foto oleh no-body-cares |
Bapak
yang menjadi sopir mengarahkan mobil melalui ‘jalur dalam’. Maksudnya tidak
melalui jalur ramai. Kami melewati beberapa lorong mulai dari Jalan
Affandi-Gejayan, masuk satu gang lagi hingga tiba di Jalan Solo. Kemudian
dilanjutkan dengan jalan-jalan kecil hingga tiba di daerah
Giwangan-Umbulhardjo. Selanjutnya melalui jalan Imogiri.
Kami
sengaja melewati jalan-jalan kecil alias ‘jalur dalam’ agar terhindar dari
macet. Hari-hari besar atau musim liburan seperti lebaran ini biasanya ramai.
Jalanan di kota Yogyakarta biasanya macet karena
banyak pengunjung dari luar kota.
Dugaan kami ternyata salah. Bapak yang asli Yogya ini menyadari hal ini. Dia
pun berujar, “Wah, kita sudah berusaha mencari jalan-jalan kecil, tetapi
nyatanya kita masih terlambat dari biasanya.”
Perjalanan
ke rumah Pak Mul biasanya bisa ditempuh selama 3o-45 menit. Kali ini agak lama,
50 menit. Maklum hari libur. Meski agak telat, saya justru bersyukur karena
bisa mengenal jalur-jalur baru di kota
pendidikan ini. tiap perempatan jalan, saya bertanya kepada ibu yang duduk di
samping saya, “Ini daerah apa namanya, bu?” Ibu yang sudah lama tinggal di kota budaya ini pun
menjawab dengan lancar.
Diterima dengan senang hati
Setibanya
di rumah Bapak Mul, kami disambut dengan senang hati. Ketika mobil kami hampir
tiba di rumah, Bapak Mul sudah menunggu di depan rumah, mengenakan baju resmi
dan agak rapi. Baju resmi bernuansa Islami. Kami melihat dia tersenyum ketika
mobil kami tiba. Lalu, dia menunjukkan tempat parkir yang tidak jauh dari pintu
rumahnya. Sekitar 5 meter.
Kami
masuk rumah dan bersalaman dengan keluarga Bapak Mul sambil mengucapkan Selamat Hari Raya Lebaran. Pak Mul
merasa senang dengan kehadiran kami. Dia mengungkapkan kesenangannya itu di
hadapan kami. “Saya senang karena pastor dan kalian semua bisa mengunjungi kami
di sini,” katanya.
Pak
Mul adalah seorang Muslim. Dia bekerja di rumah kami sudah hampir 20-an tahun.
Kami yang berkunjung yang adalah semuanya Katolik bangga dengan kata-katanya.
Perbedaan keyakinan dan agama tidak membuat kami canggung. Kami tahu dia Muslim
dan dia tahu kami Katolik. Sudah lama kami bekerja sama, saling menghargai,
saling menghormati.
Pak
Mul bekerja di rumah kami dengan menempuh jarak 25 kilometer setiap harinya.
Pergi dan pulang 5o km. Setiap hari dia datang ke rumah kami, kecuali hari
Jumat. Dulu, sekitar 7 tahun lalu, dia datang dengan sepeda. Bayangkan orang
setua dia masih kuat menggenjot sepeda sepanjang lebih kurang 50 km setiap
hari. Setelah gempa yang melanda Yogya, Mei 2006, dia beralih ke sepeda motor.
Dia pun berangkat dari rumah sekitar jam 05.30 pagi dan pulang sekitar jam
04.oo sore. Dulu, waktu menggunakan sepeda, katanya, dia berangkat sekitar jam
04.00 pagi.
Jalanannya
mendaki waktu datang. Dari sudut Selatan kota
Yogyakarta sampai Utara kota Yogyakarta.
Dari tempat yang rendah ke tempat yang tinggi. Sungguh luar biasa
perjuangannya. Menurut cerita bapak dan ibu, yang bekerja di dapur, setelah
lebaran, Pak Mul berencana datang dengan sepeda lagi. Dengan sepeda memang
badan jadi lebih segar dan sehat, olahraga pagi, juga menikmati udara pagi.
Tetapi agak aneh, di usianya yang makin tua, dia malah menggenjot sepeda.
Bukannya semakin tua tenaga berkurang sehingga lebih bagus kalau pakai motor.
Tetapi alhamdulilah jika rencana itu menjadi nyata nanti, mungkin Pak Mul
merasa lebih nyaman dengan sepeda.
Ajang dialog antar-agama
Kunjungan
silaturahmi kali ini menjadi ajang dialog antar-agama bagi saya. Selain dengan
Bapak Mul sekeluarga, kami juga berbincang dengan keluarga adiknya Bapak Mul
yang rumahnya bersebelahan. Adiknya datang dan bersalaman dengan kami ketika
kami mau pulang. Dia juga membantu mengarahkan mobil untuk berbalik arah. Dia
sempat bercerita tentang nyamannya rumah dia dan kakaknya, Pak Mul, yang terletak
di atas bukit dan didasari bebatuan yang kuat.
“Waktu
gempa, rumah-rumah ini tetap kuat, berdiri kokoh, padahal rumah-rumah lain
sudah runtuh,” katanya dengan nada bersemangat. Rumah Pak Mul terletak di atas
bukit dan dasarnya terdiri atas bebatuan. Kalau fondasinya kuat, rumah pun akan
tahan ketika terjadi gempa.
Setelah
perbincangan itu, kami masuk ke mobil lalu pulang. Tak lupa kami melambaikan
tangan ketika mobil bergerak melambat dan akhirnya kami meninggalkan mereka.
Terima kasih untuk perjumpaan hari ini. terima kasih untuk Bapak Mul sekeluarga
yang sudah menerima kami.
PA,
21/8/2012
Gordi
Afri
Post a Comment