foto oleh gpidsacramento |
Seorang teman bercerita, semasa kecil,
perayaan Natal merupakan perayaan besar, ramai, dan khusyuk di kampungnya. Satu
keluarga bersama masyarakat ikut bergembira menyemarakkan pesta ini. Saat itu,
tak ada hal lain kecuali semua orang bersatu dan bergembira bersama. Tiap orang
berjabatan tangan dengan tetangganya sambil mengucapkan “Selamat Pesta Natal”.
Kita lihat di media beberapa hari
belakangan, keluarga-keluarga Kristiani menyiapkan kue dan jenis makanan
lainnya. Mulai dari yang tradisional sampai kue dan makanan khusus yang dipesan
di rumah makan elit. Kantong dikuras untuk membeli semua itu. Entahlah umat
memilih sesuai selera dan kebutuhannya. Semoga saja semua itu membantu mereka
menemukan kegembiraan.
Semestinya kegembiraan Natal ini tidak
berhenti di sini tetapi berlanjut terus untuk kehidupan selanjutnya. Keluarga
menciptakan kegembiraan bagi anggotanya. Pemimpin menggembirakan bawahannya.
Bos menggembirakan karyawan/wati dan anak buahnya. Mengutip St Kartono (Kompas,
22/12/2011), para guru menggembirakan para muridnya. Namun, kegembiraan itu
semestinya tidak melulu terpaku pada hal material-fisik belaka. Ini sebuah
tantangan.
Mol-mol dan pusat belanja berlomba
menawarkan barang-barang dengan diskon besar menjelang Natal. Umat mungkin
tergoda dengan semua itu. Hendaknya, kita ingat bahwa Yesus datang ke dunia
untuk semua manusia. Oleh karena itu, kita semestinya mengingat mereka yang
belum beruntung alias miskin. Romo Aloys Budi Purnomo, Pr mengatakan perayaan
Natal mesti berpihak pada yang miskin (Kompas, 21/12/2011). Sebagian besar dari
masyarakat Indonesia masih miskin secara ekonomi. Maka, agak kurang greget jika
kita membeli barang mewah semntara saudari/a kita yang lain belum mendapatkan
rezeki secukupnya.
Kemiskinan menjadi masalah besar di negeri
ini. Kemiskinan ini kiranya masuk dalam kategori daerah “Lorong Gelap dan
Panjang” (Romo BS Mardiadmaja, SJ dalam Kompas, 24/12/2011). Mengutip Mardi,
lorong itu gelap dan panjang. Penghuninya berusaha sekuat tenaga untuk keluar
namun belum berhasil juga. Pesan Natal bersama PGI-KWI tahun ini menyerukan
sebuah semangat baru untuk keluar dari lorong gelap itu. Akankah terjadi bahwa
“Bangsa yang Berjalan dalam Kegelapan Telah Melihat Terang yang Besar?” Hemat
saya, seruan ini merupakan seruan kenabian untuk menyemangati bagsa ini keluar
dari silang sengkarut kegelapan itu. Usaha ini bukanlah usaha mudah. Namun,
kalau dikerjakan bersama, mulai dari diri sendiri dan mulai dari hal kecil,
kiranya harapan itu tercapai.
Melihat persiapan Natal di berbagai gereja
yang penuh kreasi dan juga tampaknya memakan biaya tinggi, kita mesti waspada.
Paus Benediktus XVI dalam pesannya mengatakan, hendaknya kita tidak berhenti
dan terpaku pada pohon Natal, tetapi menembus batas cakrawala untuk sampai pada
Allah. Ada bahaya jika kegembiraan seperti diserukan pada awal tadi terletak
pada persiapan material-fisik belaka. Pohon Natal dengan kemewahannya jauh dari
kesan karut-marut situasi masyarakat. Semoga umat Kristiani menyiapkan hati
untuk menyambut kelahiran Yesus.
Saat ini, perayaan Natal sedang dan akan
berlangsung. Kita semua mengharapkan agar perayaan ini berlangsung aman hingga
besok tanggal 25. Kehadiran aparat keamanan di sejumlah gereja hendaknya
memperlancar acara ini. Ada yang berkomentar, kehadiran aparat keamanan justru
membuat perayaan tidak nyaman. Kita menghargai upaya aparat keamanan dengan
kebijakannya. Namun, semestinya mereka juga tahu umat tidak biasa mengikuti
perayaan di gereja dengan kehadiran pihak keamanan. Maka, berhati-hatilah agar
tidak terjadi kesalahpahaman antara aparat keamanan dan umat. Semua berjalan
sesuai perannya. Selamat Natal untuk umat Kristiani yang merayakannya.
CPR, 24/12/2011
Gordi Afri
Gordi Afri
*Dimuat di blog kompasiana pada25/12/11
Post a Comment