foto oleh ppinantes2 |
“Pekerjaan kamu apa?” tanya sang pegawai.
Pegawai ini kelihatan aneh. Masa dia tidak
bisa membedakan pegawai kebersihan dan penyapu jalan. Semestinya dia tahu mana
yang pegawai dan mana yang bukan. Namun, agak sulit membedakannya. Peserta
pesta amat banyak. Lagi pula, semuanya mengenakan seragam batik.
“Saya tidak punya pekerjaan. Saya hanya petugas penyapu jalan,” jawab sang
penyapu jalan.
Dia menjawab apa adanya, tanpa malu,
dengan pegawai kantor yang ramah ini. Dia tahu, yang berhadapan dengannya
sekarang adalah pegawai kantor. Dari wangi parfumnya, dia tahu, ini pegawai.
“Bapak pegawai kantor, bukan?” sambungnya
lagi.
“Ya, saya pegawai kantor. Pekerjaan kita berbeda, namun kita semua mendapat
gaji.”
“Betul pak, saya senang mendapat gaji. Angkanya kecil, namun saya bahagia.
Dengan gaji itu, saya bisa menghidupi istri dan anak-anak saya.”
“Saya mendapat banyak gaji, tetapi saya
tidak terlalu bangga dengan gaji itu. Saya kesal karena teman-teman datang
kemudian dari saya. Saya mengimpikan agar kami datang lebih awal, sebelum jam
kantor mulai.”
“Saya bahagia, bisa bangun pagi dan
membersihkan jalanan. Sebelum anak sekolah dan orang tua yang mengantar mereka
menggunakan jalan, kami sudah membersihkannya. Sebelum tengah hari, kami sudah
kembali ke rumah. Alhamdulilaah, kami selalu mendapat rezeki secukupnya selama
puluhan tahun pekerjaanku sebagai penyapu jalan.”
Kisah ini hanyalah fiktif. Kalau ada yang
tersinggung mohon maaf, saya tidak bermaksud menyinggung perasaan pembaca. Dari
kisah sederhana ini, kiranya kita tahu. Kebahagiaan seorang tidak ditentukan
oleh banyaknya uang yang diperoleh. Kebahagiaan seseorang tidak pula ditentukan
oleh status/kedudukan sosial. Kebahagiaan sesorang ditentukan oleh
kesuksesannya dalam bekerja. Bagimana dia menjalankan pekerjaannya, itulah yang
menentukan kebahagiaannya. Singkatnya kebahagiaan itu muncul dari dalam. Bukan
dari luar. Semoga terinspirasi.
CPR, 21/12/2011
Gordi Afri
Gordi Afri
*Dimuat di blog kompasiana pada 22/12/11
Post a Comment