Gambar dari m.okezone.com |
Telingaku panas mendengar semua ini. Mereka bertanya dan terus bertanya.
Mengapa temanku ditembak mati. Katanya mendengar berita Indonesia menembak mati
para tahanan. Kujawab sesuai yang kutahu informasinya. Mereka selayaknya
dihukum mati. Wong sudah ditahan bertahun-tahun.
Tak puas rupanya. Jawaban memang kadang tidak memuaskan. Puas menurutku
menjawabnya demikian. Bangsanya bukan bangsa Indonesia. Bangsanya berbudaya
tulis dan argumen. Kadang aku harus salut dengan ketajaman berpikirnya.
Makanya, muncul lagi suaranya. Mengapa, mengapa, dan mengapa temanku di tembak
mati.
Aku menjawab dengan argumenku. Argumen yang kuat. Logika berpikir yang
tepat dan benar. Wong saya belajar logika 6 bulan kok. Satu mata kuliah.
Jawabanku memang tepat dan benar. Sayang, kandas di pertanyaan soal HAM.
Bolehkah membunuh sesama manusia? Aku berpegang pada pendapatku. Tidak!
Tapi???? Tapi ya, wong mereka sudah ditembak mati. Yang sudah mati tidak
dapat dihidupkan kembali. Kata mantan dosenku lewat opini-nya di koran KOMPAS,
hukuman mati, setelah pelakunya ditembak mati, tidak bisa diganggu gugat lagi.
Hukuman mati memang seperti itu meski boleh jadi keputusannya keliru. Dan jelas
ada keliru. Tidak ada keputusan hukum yang benar total.
Telingaku panas mendengar rentetan pertanyaan itu. Lebih panas lagi
mendengar kasus penangkapan wakil KPK oleh POLRI. Muncul sendiri bayangan kasus
mirip beberapa tahun lalu. Cicak vs Buaya.
Negeri ini mau jadi apa? Ketika semuanya berkuasa taka da lagi yang mau
dikuasai. Hatiku hanya berharap semua pada akhirnya pulih. Aku mencintaimu
Indonesia. Negeri besar dan banyak orang pintarnya. Hatiku berharap pada mereka
yang bisa mengendalikan negeri ini pada jalan yang benar.
PRM, 25/1/2015
Gordi
Gordi
Post a Comment