FOTO ilustrasi, infojambi.com |
Jadi
rakyat kok sakit. Emang gak ada rumah sakit yang bisa ubah sakit jadi sehat? Ya
tetap saja sakit. Sakit gara-gara jadi rakyat di negeri ini. Kalau rakyat
sakit, itu artinya ada yang tak beres. Entah rakyatnya yang memang tidak tahu
jaga kesehatan atau pemerintahnya yang tidak pandai menyehatkan warga yang
sakit.
Baru
saja menyapa teman di facebook. Ngobrol sebentar seputar situasi terkini di
kampung halaman. Didahului dengan kabar terkini dari kami. Kami baik-baik saja.
Sehat walafiat. Teman yang bekerja di Pulau Dewata ini bertanya, kapan telepon
ke rumah? Saya telepon terakhir kali bulan lalu. Belum telepon untuk bulan ini.
Kami memang beda. Dia, katanya, sering telepon ke rumah. Maklum, dari Bali bisa
telepon setiap saat ke rumah. Dia beda dengan saya, yang tak hobi telepon
berkali-kali jika tak perlu. Jika perlu, dua atau tiga kali pun, saya bisa
telepon dua atau tiga kali ke rumah. Tapi jarang sekali. Toh, semuanya berjalan
baik-baik saja.
Karena
dia sering telepon ke rumah, saya tanya kabar darinya. Dia menyinggung masalah
yang sudah lama kami bahas. Soal jalan raya dan listrik. Hari gini masih bahas
jalan raya dan listrik? Beginilah kehidupan di kampung. Orang kota mungkin
kaget. Tapi, orang desa tidak kaget. Seperti orang desa memandang orang kota,
tidak perlu kaget. Orang desa dengan keterbatasannya dalam teknologi canggih
tidak perlu banyak kaget apalagi khawatir tentang hidup harian. Sebab, tanpa
teknologi pun sebenarnya hidup harian tetap bisa dijalani. Bukan pembelaan tapi
pujian. Maklum, saya orang desa yang pernah dan selalu merasakan indahnya
kehidupan di desa.
Jalan
raya sudah dikerjakan namun belum sampai di kampung. Listrik juga demikian.
Instalasi sudah dipasang di tiap rumah, tiang listrik sudah didatangkan, namun
pekerjaan terganjal. Jalan tidak dilanjutkan. Listirk dibiarkan berhenti di
tengah jalan. Lalu saya tanya, mengapa?
Jawab
teman saya, untuk jalan mungkin dilanjutkan tahun 2016, sesuai program Jokowi.
Untuk listrik, ada masalah teknis antara kepala PLN di kecamatan dan kontraktor
yang mengerjakan proyek ini.
Saya
lalu menyambung, hemmm ini namanya perjanjian. Dalam dunia politik, janji
adalah harta emas. Dengan janji, politikus bisa menjual idenya. Ide yang
membuat masyarakat terbius dalam kebahagiaan dan kenikmatan hidup. Janji
kampanye politik ibarat narkoba yang selalu menawarkan kenikmatan sepanjang
waktu. Meski nikmat, janji itu sebenarnya pahit. Pahit sekali. Dan, itulah
sebabnya, saya membalas kepada teman saya, beginilah sakitnya jadi rakyat di
negeri ini.
Dia
setuju jika janji itu menyakitkan. Jalan dan listrik yang diprogramkan itu
sudah dimasyarakatkan sejak beberapa tahun lalu. Sebelum pemilihan bupati yang
sebentar lagi berakhir masa jabatannya ini, program itu sudah dikabarkan pada
masyarakat. Dan, politik itu betul-betul datang sebelum makan siang dimulai.
Menjelang akhir masa jabatan, pemerintah berusaha menggenapi janjinya. Janji
yang menciptakan janji baru lagi. Di mana-mana pekerjaan di menit-menit
tterakhir biasanya tidak membuahan hasil memuaskan. Dan benar, jalan dan
listirk itu pun tidak tuntas.
Boleh
jadi ketidaktuntasan itu jadi harta emas para politikus untuk berkampanye
menjelang pilkada nanti. Dengan itu, dia bisa bermulut manis di hadapan
pemilih. Ah, rakyat selalu jadi korban janji manis. Sakitnya menjadi rakyat di
negeri ini. kalau begini terus, di bawa ke mana negeri ini?
Jakarta mungkin terlalu jauh menjangkau pelosok negeri
ini sehingga penguasa di pelosok dengan langkah kaki lenggang menguasai rakyatnya
semau gue.
Salam
cinta rakyat.
PRM,
9/5/15
Gordi
Post a Comment