FOTO kompasiana |
Beberapa
hari lalu seorang teman menulis status di facebook. Dia menulis tentang pelayanan
kesehatan di RS Umum kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT. Pelayan rumah sakit mau mengoperasi sang pasien. Apa
daya, operasi berlangsung hanya setengah jalan. Tidak
sampai selesai. Namun, pihak rumah sakit meminta bayaran atas operasi yang
berjalan setengah itu. Beritanya bisadisimak di sini.
Ini
menandakan bahwa pelayanan rumah sakit di negeri ini belum memadai. Ini mesti
diakui. Alasannya bisa bermacam-macam. Bisa saja karena tenaga medis kurang.
Peralatan kurang memadai. Persediaan rumah sakit tidak merata. Sarana
komunikasi dan transportasi kurang memadai. Daftarnya pun bisa panjang. Tidak
perlu ditulis di sini.
Status
teman di atas beda dengan pernyataan sahabat saya yang bekerja di Jepang. Dia
juga menyampaikan hal yang hampir sama—lihat postingan sebelumnya tentang
restoran di Jepang—yaitu tentang rumah sakit. Kata sahabat saya, “Di Jepang, rumah
sakit lebih banyak dari pasien.” Maksudnya jelas, di sana banyak rumah sakit.
Banyak
rumah sakit bisa berarti pelayanannya juga bagus. Logikanya jelas, rumah sakit
yang pelayanannya jelek, akan ditinggalkan. Bisa diakui bahwa, Jepang memang
sudah maju dalam bidang ini. Belum ada berita dari Jepang tentang buruknya
pelayanan kesehatan. Kalau pun terjadi,
berarti perkataan sahabat ini tidak ada artinya. Apalah artinya membangun
banyak rumah sakit jika pelayanannya jelek.
Indonesia
dan Jepang seperti sepeda dan sepeda motor. Artinya, Jepang lebih maju jalannya
pembangunan ketimbang Indonesia. Indonesia masih menggeliat seperti pengayuh
sepeda. Sedangkan, Jepang, sudah melaju seperti pengendara sepeda motor Mega-pro.
Namun, bukan berarti Indonesia sama sekali kalah. Indonesia punya pelaung besar
untuk menyaingi Jepang. Jepang dan Indonesia memang pernah bertengkar selama
3,5 tahun. Namun, kini semuanya hanya dicatat dalam sejarah lampau. Sejarah
kini mencatat relasi bisnis dan budaya kedua negara makin baik.
Ini
berarti Indonesia masih punya harapan untuk mencapai kemajuan seperti di
Jepang. Indonesia juga bisa membangun rumah sakit seperti yang dimiliki orang
Jepang. Betatapun Jepang—dengan merek mobil, berbagai model mesin, computer,
kamera dan peralatan elektronik lainnya—sudah maju sekali, Indonesia tetap
punya peluang untuk mencapai ini semua. Indonesia tidak boleh kalah dari
Jepang. Dalam sejarah boleh saja kalah, tapi dalam meraih masa depan yang
cerah, tidak boleh kalah.
Jepang
dengan budaya kerja kerasnya mampu menjadi pesaing kekuatan ekonomi raksasa
dunia. Budaya kerja keras ini kiranya juga mesti menjadi bagian dari Indonesia.
Indonesia juga terkenal dengan budaya kerja kerasnya. Lihatlah para petani di
pedesaan yang meski minim perhatian pemerintah, mereka tetap berjuang dengan
giat. Lihatlah nelayan di laut-laut Indonesia yang tak takut dibawa arus meski
kehidupan mereka pas pasan saja. Mereka tidak meminta macam-macam pada
pemerintah. Kalau diperhatikan sungguh baik dan patut berte rima kasih. Kalau
tidak diperhatikan juga, kehidupan mesti berlanjut. Ini bukti bahwa Indonesia
juga punya budaya kerja keras.
Andai
pemerintah dengan budaya kerja keras ini memerhatikan sistem kesehatan di
negeri ini, niscaya kasus yang menimpa pasien di RSU Ruteng ini tidak terulang
kembali. Pasien akan mendapatkan pelayanan yang memadai. Indonesia memang
negara berpulau—agak sulit memetakan sistem kesehatan. Dari satu pulau ke pulau
berikutnya butuh waktu berjam-jam. Belum lagi, dari satu kota ke kota lainnya dalam
satu pulau, butuh berjam jam juga. Semua ini bukan penghambat jika pemerintah
dan rakyat berkomitmen kuat membenahi sistem kesehatan.
Selain
masalah pemerataan pelayan kesehatan—agar tidak menumpuk di kota dan di
kota-kota tertentu saja—masalah transportasi juga mesti dibenahi. Inilah salah
satu biang belum optimalnya sistem kesehatan di Indonesia. Di Pulau Flores,
sarana transportasi masih minim. Rakyat sudah bisa membeli motor dan mobil
tetapi pemerintah belum menyediakan jalan raya. Rakyat sudah belajar computer
tetapi pemerintah—PLN—belum mengalirkan listrik secara merata.
Pemerataan
ini mesti secepatnya dibenahi. Jangan
membuat rakyat terus menderita. Jangan
membiarkan rakyat mati gara-gara lamban dan lambatnya pelayanan dari pelayan
rumah sakit. Jangan membiarkan rakyat dari NTT dan Bali harus berobat ke
Surabaya dan Jakarta. Jangan biarkan rakyat dari Papua harus berobat ke
Makasar. Jangan biarkan rakyat dari Kepulauan Mentawai, harus mengarungi lautan
berjam-jam hanya untuk berobat di kota Padang atau malah terbang lagi ke
Jakarta.
Masih ingat cerita bayi
dari Papua yang lahir di pesawat Merpati tujuan Makasar. Bayinya salamat. Ini
berarti, Indonesia sebenarnya punya potensi besar untuk membenahi sistem
kesehatannya. Tak ada perawat dan dokter, para pramugari pun bisa jadi pelayan
kesehatan sementara.
Kelak, jika sistem
kesehatan kita sudah dibenahi, rakyat merasa nyaman berobat di negeri ini.
Orang berduit di Jakarta dan di kota-kota berduit lainnya di negeri ini tidak
perlu lagi berobat ke Singapura, Taiwan, Tailand, dan Malaysia. Atau juga ke
Eropa—misalnya ke Jerman. Biarkan rakyat mendapat tempat yang layak dan nyaman
untuk berobat di negerinya sendiri. Indonesia dalam hal ini bisa belajar dari
Jepang, atau juga Italia yang sistem kesehatannya masuk kategori top di dunia.
Salam cinta Indonesia.
PRM, 25/2/15
Gordi
Post a Comment