Halloween party ideas 2015

FOTO kompasiana
Beberapa hari lalu seorang teman menulis status di facebook. Dia menulis tentang pelayanan kesehatan di RS Umum kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT. Pelayan rumah sakit mau mengoperasi sang pasien. Apa daya, operasi berlangsung hanya setengah jalan. Tidak sampai selesai. Namun, pihak rumah sakit meminta bayaran atas operasi yang berjalan setengah itu. Beritanya bisadisimak di sini. 

Ini menandakan bahwa pelayanan rumah sakit di negeri ini belum memadai. Ini mesti diakui. Alasannya bisa bermacam-macam. Bisa saja karena tenaga medis kurang. Peralatan kurang memadai. Persediaan rumah sakit tidak merata. Sarana komunikasi dan transportasi kurang memadai. Daftarnya pun bisa panjang. Tidak perlu ditulis di sini.

Status teman di atas beda dengan pernyataan sahabat saya yang bekerja di Jepang. Dia juga menyampaikan hal yang hampir sama—lihat postingan sebelumnya tentang restoran di Jepang—yaitu tentang rumah sakit. Kata sahabat saya, “Di Jepang, rumah sakit lebih banyak dari pasien.” Maksudnya jelas, di sana banyak rumah sakit.

Banyak rumah sakit bisa berarti pelayanannya juga bagus. Logikanya jelas, rumah sakit yang pelayanannya jelek, akan ditinggalkan. Bisa diakui bahwa, Jepang memang sudah maju dalam bidang ini. Belum ada berita dari Jepang tentang buruknya pelayanan kesehatan.  Kalau pun terjadi, berarti perkataan sahabat ini tidak ada artinya. Apalah artinya membangun banyak rumah sakit jika pelayanannya jelek.

Indonesia dan Jepang seperti sepeda dan sepeda motor. Artinya, Jepang lebih maju jalannya pembangunan ketimbang Indonesia. Indonesia masih menggeliat seperti pengayuh sepeda. Sedangkan, Jepang, sudah melaju seperti pengendara sepeda motor Mega-pro. Namun, bukan berarti Indonesia sama sekali kalah. Indonesia punya pelaung besar untuk menyaingi Jepang. Jepang dan Indonesia memang pernah bertengkar selama 3,5 tahun. Namun, kini semuanya hanya dicatat dalam sejarah lampau. Sejarah kini mencatat relasi bisnis dan budaya kedua negara makin baik.

Ini berarti Indonesia masih punya harapan untuk mencapai kemajuan seperti di Jepang. Indonesia juga bisa membangun rumah sakit seperti yang dimiliki orang Jepang. Betatapun Jepang—dengan merek mobil, berbagai model mesin, computer, kamera dan peralatan elektronik lainnya—sudah maju sekali, Indonesia tetap punya peluang untuk mencapai ini semua. Indonesia tidak boleh kalah dari Jepang. Dalam sejarah boleh saja kalah, tapi dalam meraih masa depan yang cerah, tidak boleh kalah.

Jepang dengan budaya kerja kerasnya mampu menjadi pesaing kekuatan ekonomi raksasa dunia. Budaya kerja keras ini kiranya juga mesti menjadi bagian dari Indonesia. Indonesia juga terkenal dengan budaya kerja kerasnya. Lihatlah para petani di pedesaan yang meski minim perhatian pemerintah, mereka tetap berjuang dengan giat. Lihatlah nelayan di laut-laut Indonesia yang tak takut dibawa arus meski kehidupan mereka pas pasan saja. Mereka tidak meminta macam-macam pada pemerintah. Kalau diperhatikan sungguh baik dan patut berte rima kasih. Kalau tidak diperhatikan juga, kehidupan mesti berlanjut. Ini bukti bahwa Indonesia juga punya budaya kerja keras.

Andai pemerintah dengan budaya kerja keras ini memerhatikan sistem kesehatan di negeri ini, niscaya kasus yang menimpa pasien di RSU Ruteng ini tidak terulang kembali. Pasien akan mendapatkan pelayanan yang memadai. Indonesia memang negara berpulau—agak sulit memetakan sistem kesehatan. Dari satu pulau ke pulau berikutnya butuh waktu berjam-jam. Belum lagi, dari satu kota ke kota lainnya dalam satu pulau, butuh berjam jam juga. Semua ini bukan penghambat jika pemerintah dan rakyat berkomitmen kuat membenahi sistem kesehatan.

Selain masalah pemerataan pelayan kesehatan—agar tidak menumpuk di kota dan di kota-kota tertentu saja—masalah transportasi juga mesti dibenahi. Inilah salah satu biang belum optimalnya sistem kesehatan di Indonesia. Di Pulau Flores, sarana transportasi masih minim. Rakyat sudah bisa membeli motor dan mobil tetapi pemerintah belum menyediakan jalan raya. Rakyat sudah belajar computer tetapi pemerintah—PLN—belum mengalirkan listrik secara merata.

Pemerataan ini mesti secepatnya dibenahi. Jangan membuat rakyat terus menderita. Jangan membiarkan rakyat mati gara-gara lamban dan lambatnya pelayanan dari pelayan rumah sakit. Jangan membiarkan rakyat dari NTT dan Bali harus berobat ke Surabaya dan Jakarta. Jangan biarkan rakyat dari Papua harus berobat ke Makasar. Jangan biarkan rakyat dari Kepulauan Mentawai, harus mengarungi lautan berjam-jam hanya untuk berobat di kota Padang atau malah terbang lagi ke Jakarta.

Masih ingat cerita bayi dari Papua yang lahir di pesawat Merpati tujuan Makasar. Bayinya salamat. Ini berarti, Indonesia sebenarnya punya potensi besar untuk membenahi sistem kesehatannya. Tak ada perawat dan dokter, para pramugari pun bisa jadi pelayan kesehatan sementara.

Kelak, jika sistem kesehatan kita sudah dibenahi, rakyat merasa nyaman berobat di negeri ini. Orang berduit di Jakarta dan di kota-kota berduit lainnya di negeri ini tidak perlu lagi berobat ke Singapura, Taiwan, Tailand, dan Malaysia. Atau juga ke Eropa—misalnya ke Jerman. Biarkan rakyat mendapat tempat yang layak dan nyaman untuk berobat di negerinya sendiri. Indonesia dalam hal ini bisa belajar dari Jepang, atau juga Italia yang sistem kesehatannya masuk kategori top di dunia.  

Salam cinta Indonesia.

PRM, 25/2/15
Gordi

Post a Comment

Powered by Blogger.