*Foto, Aldo Fenalosa, regional.kompas.com |
Pagi ini saat sarapan,
seorang sahabat bertanya, apakah kalian sudah siapkan sesuatu untuk acara
besok? Acara yang dimaksud adalah perayaan 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Negara
Republik Indonesia.
Dia bertanya karena dia
ingat acara ini. Dia orang asing tetapi jiwanya ada di Indonesia. Maklum dia
pernah tinggal dan bekerja di Indonesia bertahun-tahun pada masa mudanya. Tak
heran, jika acara ini membekas dalam benaknya.
Ingatan akan sejarah adalah
salah satu cara menghargai jasa para pahlawan yang telah gugur. Para pahlawan
yang bukan saja bergelar pahlawan tetapi para pejuang pada umumnya. Soekarno
sejak awal menekankan ini. Kata Soekarno, bangsa yang mau maju adalah bangsa
yang mengingat sejarahnya sendiri. Pertanyaan sahabat saya tadi mengingatkan
saya akan pentingnya memahami sejarah bangsa Indonesia.
Saat ini, sejarah bangsa
memang kurang diminati. Jangan heran juga jika anak-anak sekolah kurang
berminat mempelajarinya. Para pendidik ditantang untuk meningkatkan minat siswa
dan mahasiswa untuk mempelajari sejarah. Agak susah memang pada awalnya. Bukan
karena pelajarannya tetapi karena sejarah bangsa Indonesia sendiri telah
dipalsukan. Bukan rahasia lagi jika saat (almarhum) Presiden Soeharto masih
berkuasa, sejarah bangsa dipalsukan. Maksudnya, didesain agar sesuai dengan
kemauan penguasa. Tak heran jika kemudian tak banyak yang tahu sejarah bangsa
Indonesia yang sebenarnya. Bukan hanya itu, sejarah bangsa Indonesia menjadi
sekadar kronik karena tidak menjelaskan secara detail latar belakang di balik
peristiwa. Saya ingat dosen sejarah di STF Driyarkara-Jakarta yang mengajak
kami untuk berlatih menulis sejarah bukan dengan gaya kronik tetapi dengan
membeberkan latar belakang peristiwa di balik tanggal sejarah.
Tentang hal ini, saya
beruntung bisa membaca literatur asing yang membahas sejarah bangsa Indonesia.
Tentu banyak juga pelajar Indonesia yang membaca literatur ini khususnya yang
menekuni sejarah. Salah satu sumber yang mudah kita dapat adalah literatur yang
ditulis dalam bahasa Inggris. Ada banyak kiranya khususnya yang ditulis oleh
peneliti asing. Kalau mau yang lebih lagi—tentu untuk mereka yang menguasai
bahasa asing selain Inggris—silakan cari dalam bahasa Jerman, Prancis, Belanda,
atau Italia. Saya kebetulan saja menemukan literatur ini saat mempresentasikan
sedikit budaya Indonesia di luar negeri. Orang asing suka bertanya dan mereka
senang jika kita bisa menjawab pertanyaan mereka. Maka, di sinilah pentingnya
mencintai sejarah.
Hari ini, 17 Agustus 2015,
Bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-70. Usia yang tidak muda.
Atau boleh dikatakan masuk usia tua. Kitab kuno meramalkan umur manusia hanya
70, jika kuat 80 tahun. Maka, umur bangsa kita menandakan kuatnya bangsa ini.
Namun, bangsa ini sebenarnya belum dikatakan kuat. Kenyataannya lemah. Lihat
saja duka kita yang mendalam hari ini yakni jatuhnya pesawat Trigana di Papua.
Ini tentu jadi kelemahan kita. Teman-teman asing bertanya pada saya, mengapa
kalian tidak mencegah celaka ini? Bukankah beberapa waktu lalu kalian juga
mengalami musibah seperti ini (maksudnya kecelakaan pesawat Herkules)? Benar
juga. Mengapa kita tidak bisa mencegahnya? Salah satu jawabannya ya kita
sebenarnya belum siap menangani semua kelalaian kecil seperti ini. Ini hanya
salah satu kasus. Kasus lain bisa didaftar dan akan jadi panjang sekali.
Umur 70 menjadi harapan
kita bersama agar Bangsa kita bisa makin sejahtera. Biarlah kata orang usia ini
menandakan ketuaan. Bagi kita, usia ini menadakan kekuatan. Maksudnya, makin
tambah umur, makin kuat pula kita membangun bangsa ini. Mungkin mudah dibicarakan
tetapi menjalaninya sulit. Tidak apa-apa. Yang penting kita mencobanya. Asal
ada semangat, kita pasti bisa.
Semangat ini juga yang kami
selalu banggakan di luar negeri. Kemarin sore, kami membuatkan makanan khas
Indonesia untuk menandakan pesta kemerdekaan ini. Teman-teman kami senang dan
memuji kami. Kami memang membuatnya dengan semangat kemerdekaan. Banyak yang
memuji betapa enaknya makanan Indonesia. Kami lalu membalasnya selain dengan
terima kasih juga membanggakan bahwa ini tandanya di Indonesia masyarakatnya
makan makanan enak dan bergizi. Meski kenyataannya banyak juga warga yang makan
makanan ala kadarnya alias kurang gizi. Lihatlah di NTT yang masih ada anak
kurang gizi. Entah mereka tidak bisa mencari makanan bergizi padahal tanah masih
subur untuk menanam makanan bergizi. Ataukah pemerintah provinsi NTT yang tidak
mau memerhatikan mereka. Ini tantangan untuk Bapak Gubernur NTT, Frans Lebu
Raya yang baru saja mendapat penghargaan dari Presiden Jokowi untuk
memerhatikan rakyatnya khususnya yang kekurangan gizi. Semoga penghargaan ini
menjadi semangat baru untuk memberi gizi kemerdekaan kepada rakyat. Termasuk
merdeka dari kondisi kurang gizi.
Di tanah air, semangat
kemerdekaan ini ada. Ini tandanya rakyat Indonesia tetap bangga akan hari
kemerdekaannya. Kebangaan ini juga yang membuat kami di luar negeri merayakan
pesta kemerdekaan in. Besok, 17 Agustus, kami akan berkumpul di kota Milan
tepatnya di paviliun Indonesia di tempat Expo untuk merayakan kemerdekaan ini.
Kami tetap membawa kebangaan sebagai anak bangsa Indonesia. Kami ingat betapa
berat perjuangan para pejuang kita dahulu. Jangan heran jika di
Nunukan-Kalimantan sana, para veteran ingin mengingat lagi semangat juang
mereka dulu dengan menghormati bendera Merah Putih. Kami ingat perjuangan
mereka dan kami menghormatinya. Acara yang akan kami rayakan besok menjadi
salah satu tanda penghormatan kami kepada para pejuang dan kepada seluruh
rakyat Indonesia di tanah air.
Kami berada di negeri asing
tetapi hati kami ikut bergembira bersama kalian, segenap rakyat Indonesia di
tanah air. Hati kami berbunga seperti hati sahabat saya yang menanyakan
persiapan kemerdekaan tadi pagi. Dia bertanya karena dia ingat dan ingin
mengikuti acara 17-an yang dia hidupi selama bekerja di Indonesia.
Salam kemerdekaan dan
selamat ulang tahun ke-70 untuk Bangsa Indonesia.
Parma-Italia, 16/7/2015
dini hari
Gordi
Post a Comment