ilustrasi, google.co.id |
Beda
dengan tukang parkir di tempat ramai yang lebih besar. Misalnya di PRJ,
Kemayoran. Di sini bisa sampai jutaan rupiah. Saya belum pernah menanyakan pada
tukang parkir di sana. Tetapi, beberapa teman pernah menawarkan, kalau ada
waktu luang ikut gabung jadi kru parkir di sana. Sayangnya saya banyak tugas
dari kampus waktu itu.
Tak
heran jika tukang parkir menjadi pekerjaan yang diincar banyak orang. Mereka
yang menganggur bisa masuk di sini. Ada yang membentuk kelompok kru parkir.
Kerja sama demi keamanan juga. Sebab, lahan parkir kadang-kadang menjadi
rebutan. Ada yang bekerja paruh waktu jaga sehingga yang lain bisa dapat uang
saja.
Malam
untuk kelompok A, siang untuk kelompok B. Atau juga dibagi perhari. Saya pernah
menjadi tukang parkir di beberapa gereja di Jakarta saat misa hari Sabtu dan
Minggu. Di sini pengelolaannya jelas. Setiap kelompok emndapat jatah sekali
seminggu. Ini bertujuan agar semuanya dapat bagian.
Hari
ini saya mendapat pengalaman baru. Tukang parkir yang beda sekali dengan yang
saya jumpai di kota. Tukang parkir ini berada di desa. Di tempat yang jauh dari
keramaian di daerah Klaten-Yogyakarta. Tepatnya Klaten-Jawa Tengah. Kebetulan
tadi siang, saya dan teman-teman mengunjungi sebuah tempat doa di sana.
Berziarah dan berekreasi.
Kami
tidak seharian di sana. Hanya sekitar 2 jam saja. Kami memarkir mobil di salah
satu tempat parkir dekat tempat doa itu. Sewaktu pulang, teman saya menanyakan
pada tukang parkir mengenai besarnya sewa parkir.
“Bayar
seiklasnya,” kata tukang parkir itu. Saya kaget dan terharu. Biasanya tukang
parkir mematok harga. Apalagi di tempat ziarah yang tak sepi pengunjung,
biasanya, di beberapa tempat, mereka mematok harga Rp. 5.000. Tukang parkir ini
beda.
Jawaban
itu menyiratkan nilai sebuah pekerjaan. Tidak banyak menuntut. Cukup
melaksanakan tugas dan bekerja sebaik mungkin. Soal harga sebagai bayaran,
terserah kepada pelanggan.
Saya
memberi Rp. 5000 untuk satu mobil kepada tukang parkir itu. Lalu, teman saya
menambahkan. Kebetulan kami pakai dua mobil. Saya baru menemukan seorang tukang
parkir seperti ini. Menjadi baru bagi saya dengan jawaban yang ia lontarkan.
Kata-kata
“Seiklasnya” saja terngiang di telinga. Saya menjadi sadar. Kadang-kadang saya
banyak menunut kepada orang lain. Padahal masih ada orang yang rendah hati, tak
menuntut, bekerja tanpa menuntut bayaran tinggi. Saya tidak emrendahkan pekerja
yang bekerja keras. Saya hanya salut dengan tukang parkir yang meminta bayaran
seiklas saja. Jawaban seiklas ini menggema di antara tuntutan biaya parkir yang
sudah dipatok per jam, atau dipatok seenaknya saja.
Terima
kasih mas untuk kata-katamu.
PA,
1/4/13
Gordi
Post a Comment