Halloween party ideas 2015


Ada kekhasan tersendiri di hari kedua tri-hari suci. Jumat Agung, Jalan Salib, dan Cium salib. Seperti apakah kekhasan itu?

Jumat Agung merupakan hari kedua dari Tri-Hari Suci dalam kalender liturgi Gereja Katolik dan beberapa Gereja Kristen Protestan. Gereja Kristen itu kan banyak, jadi tidak bisa disamakan atau dipukul-rata. Mereka berdiri sendiri di bawah bendera Gereja Kristen. Beda dengan Gereja Katolik yang satu. Memang ada juga ritus Barat yang dikenal sebagai Gereja Katolik Roma dan ritus Timur yang dikenal sebagai Gereja Katolik Ortodoks. Tetapi perbedaan ritus ini tidak memisahkan gereja Katolik.

Jumat Agung menjadi hari berkabung, katakanlah demikian bagi Gereja Katolik. Mengapa? Berkabung kan pertanda ada sesuatu yang menyedihkan. Memang, pada hari Jumat ini Yesus wafat di salib. Sebelum wafat, Yesus menderita, disiksa, dipukul, dicaci-maki, disuruh memikul salib berat, dan siksaan lainnya. Inilah penderitaan-Nya. Oleh karena itu, Jumat Agung menjadi hari untuk memperingati Sengsara dan Wafatnya Tuhan Yesus.

Pada hari Jumat Agung dikenangkan pula jalan salib Yesus. Ada drama siksaan untuk menggambarkan penderitaan Yesus dahulu. Makanya, di beberapa gereja ada visualisasi jalan salib. Ada yang berperan sebagai Yesus, serdadu, Maria, para murid, dan tokoh-tokoh lainnya. Ada pula gereja yang hanya dengan membaca ulang rumusan jalan salib yang telah disusun. Semuanya bertujuan untuk mengenangkan sengsara dan wafat Tuhan Yesus.

Nah, pada sore harinya ada upacara penghormatan salib. Ini bahasa baku dari cium salib. Memang yang terjadi pada Jumat sore adalah umat mencium salib Yesus. Salib yang bukan hanya berupa kayu palang tetapi ada corpus daging, Tubuh Yesus. Inilah bedanya salib orang Kristen dan Katolik. Tentu ada alasan teologis bagi umat Kristen sehingga salib mereka hanya berupa palang kayu, tanpa tubuh Yesus.

Penghormatan salib merupakan tindakan untuk memusatkan perhatian pada salib sebagai sumber kebahagiaan. Salib kok sumber kebahagiaan? Tidak diterima akal manusia. Memang demikianlah kesan awalnya. Namun salib menjadi sumber kebahagiaan karena dari salib itulah Yesus berseru kepada Bapa-Nya. Seruan antara Anak dan Bapa-Nya. Kelak, Yesus tidak hanya berhenti di salib. Dia juga akan bangkit. Maka, salib menjadi sumber kebahagiaan. *Semua gambar dari google

Demikianlah kiranya kaitan antara Jumat Agung, Jalan Salib, dan Cium Salib. Semoga dengan menghayati ibadat Jumat Agung dan Penghormatan Salib, kita menjadi semakin dekat dengan Yesus.***

CPR, 8/4/2012
Gordi Afri

Baca juga: Tradisi Tuguran pada Hari Kamis Putih


Ada satu kebiasaan dalam Gereja Katolik khususnya pada hari Kamis Putih. Setelah misa, ada doa bersama di depan Sakramen Mahakudus yang ditahtakan di luar tabernakel. Inilah yang dinamakan tuguran. Apa makna tuguran ini?

Saya bertanya karena sudah lama berada dalam kebingungan. Sebagai makhluk berasio tentu saya bertanya tentang praktik hidup yang saya jalankan. Ini bukan mengada-ada. Ini merupakan bentuk pencarian. Kalau toh tidak ada jawaban yang memuaskan atau tidak ada jawaban sama sekali, tidak apa-apa. Itu menjadi tugas besar bagi saya untuk menemukannya.

Malam ini, saya juga ikut dalam rombongan besar menuju gereja paroki. Jumlah kami yang berjalan bersama sekitar 30-an orang. Jarum jam menunjukkan pukul 10.45. Kami membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di gereja. Ketika sampai di gereja masih ada kelompok doa yang mengadakan tuguran. Menurut jadwalnya, kelompok kami merupakan kelompok terakhir untuk doa-tuguran.

Pukul 11, kami mulai berdoa. Ada petunjuk berupa selembar kertas dengan 2 halaman. Di dalamnya ada urutan dan keterangan doa. Petunjuk ini dibuat di Keuskupan Agung Jakarta. Jadi, boleh jadi ketika kami mengikuti tuguran di gereja Katolik mana saja di Jakarta ini, petunjuk inilah yang digunakan dan selalu sama. Ada nyanyian, doa, dan sembah sujud. Bagian terbesar adalah doa hening.

Menurut petunjuk itu, doa tuguran memang merupakan doa hening. Nyanyian dan doa yang ada dalam petunjuk hanyalah selingan. Kami mengikuti petunjuk yang ada dan selesai pukul 11.30. Petugas gereja datang dan mengumumkan bahwa, masih ada waktu 30 menit untuk melakukan doa hening. Kami belum diperbolehkan pulang karena akan menunggu berkat penutup sekaligus pentahtaan kembali sakramen mahakudus ke sakristi (tempat persiapan imam dan petugas liturgi lainnya sebelum masuk ke gereja).

Saat tuguran, sakramen mahakudus ditahtakan di sudut kiri altar. Di Gereja Paskalis Cempaka Putih, tempat pentahtaan itu berada di bawah kaki patung Bunda Maria.

Beginilah kami melakukan tuguran pada hari Kamis Putih tahun 2012 ini. Saya jadi tahu bahwa bagian terpenting dari tuguran itu adalah saat hening. Masih menurut petunjuk yang ada, tuguran merupakan bentuk partisipasi kita dalam doa bersama Yesus di Taman Getsemani. Di taman itu Yesus berdoa sebelum nyawanya disiksa oleh serdadu Yahudi. Pantas kiranya di situ ada suasana hening.

Menjelang pukul 12, seorang pastor datang dan memberkati kami dengan sakramen mahakudus ini. Setelahnya, sakramen itu dibawa ke sakristi lalu kami pulang. Masih dalam rombongan besar, kami menyusuri jalan pulang. Malam ini suasana jalan agak sepi. Memang waktunya hampir tiba untuk pergantian hari. Kami sudah melewati beberapa menit di hari Jumat. Hari sengsara dalam tradisi Kristiani. Meski hari sengsara, kami tetap menyebutnya hari Jumat Agung. Tentang hal ini lebih baik dilanjut besok saja.***

CPR, 6/4/2012
Gordi Afri




Seperti apa rasanya membasuh kaki teman? Adakah rasa jijik? Mengapa saya harus membasuh kaki teman saya?

Itulah deretan pertanyaan yang muncul dengan adanya tradisi pembasuhan kaki pada hari Kamis Putih. Saya bertanya karena heran. Di kampung saya tidak ada tradisi seperti ini. Kalau pun ada, dan saya kenal sejak SD, itu bukan tradisi adat. Itu adalah tradisi yang diwariskan oleh Gereja Katolik.

Gereja Katolik mewarisi tradisi itu karena Yesus-lah yang pertama kali melakukannya. Ia membasuh kaki murid-murid-Nya. Dalam tradisi Yahudi (tradisi masyarakat zaman Yesus), upacara pembasuhan kaki ini merupakan bentuk pembersihan diri. Jangan heran jika tamu dipersilakan untuk membersihkan kakinya sebelum masuk rumah orang.

Ini bukan tradisi saya, jadi wajar kalau saya jijik pada awalnya. Memegang telapak kaki teman, mencucinya dengan air, mengeringkannya dengan lap, lalu menciumnya. Tak peduli, apakah kaki itu bau atau tidak, bersih atau tidak. Sebetulnya pasti bersih karena saya baru saja membersihkannya. Jadi, tak ada alasan untuk jijik menciumnya.

Menurut ahli tafsir Kitab Suci, pembasuhan kaki, pertama-tama bukan merupakan bentuk pelayanan. Upacara ini mau menegaskan tentang kehidupan para murid Yesus. Mereka akan dibawa ke tujuan hidup mereka yakni mengikuti Yesus. Di sana mereka akan hidup dalam pelayanan yang total. Jadi, dengan pembasuhan ini, Yesus mau mengingatkan para murid akan jati diri mereka. Mereka akan melayani seperti Yesus. Dengan itu, mereka akan tahu ke mana tujuan mereka yakni menuju rumah Bapa sebagaimana Yesus ke sana.

Saya sempat terharu dengan pembasuhan kaki ini. Rasanya ada penyesalan yang mendalam. Mengapa? Bukan karena saya telah melakukan dosa besar dan sekarang diampuni. Tetapi, dalam pembasuhan itu saya diingatkan untuk melihat konfrater saya sebagai saudara.

Pelukan erat dari teman, yang dibuat setelah mencium kaki, menjadi tanda bahwa, saya tidak hidup sendiri. Saya bersalah tetapi orang lain mengampuni. Dia rela mencium kaki saya, demikian juga saya mencium kaki teman yang lain.

Rasa jijik hilang seketika. Yang ada hanya persaudaraan yang erat. Beginilah cara hidup orang Kristiani yang diwariskan Yesus. Kalau mau mengikuti Yesus, kita mesti rela membasuh dan mencium kaki yang paling kotor sekali pun. Pembasuhan kaki merupakan simbol tindakan yang begitu berarti.

Mana ada seorang bos mencium kaki karyawannya? Ini sebuah pengkhianatan, kalau itu terjadi. Tetapi Yesus memutarbalikkan logika berpikir itu. Dan, memang saya percaya bahwa dengan pembasuhan kaki, ada suasana baru. Maka, mari kita saling mencintai dan mengasihi.***

CPR, 6/4/2012
Gordi Afri

Tulisan sebelumnya: 

Powered by Blogger.