Halloween party ideas 2015


Inilah pengalaman menarik lain dalam perjalanan dari Roma ke Parma. Kami lewat jalan tol supaya cepat. Jalannya tentu sama dengan tol di Indonesia. Namanya sama. Tetapi pengelolaannya beda. Sama sekali beda.

Selain itu, posisi mobil juga beda. Kalau di Indonesia mobil jalan di sebelah kiri. Sebab, sopirnya duduk di sebelah kanan. Tempat untuk menyetir ada di situ. Sedangkan di Italia, sopir duduk di sebelah kiri. Tempat untuk stir ada di situ. Sehingga, mobilnya berjalan di sebelah kanan.

Di jalan tol juga demikian. Kami jalan di lajur kanan. Jalur kiri untuk kendaraan dari arah berlawanan. Dan, di tengah ada pembatasnya. Sudah ada pembagian lajurnya. Tidak ada yang saling rebut. Dan di lajur kanan, ada pembagian lagi seperti di Indonesia. Jalan itu dibagi tiga atau empat. Jalur ujung luar untuk yang paling lambat. Jalur dalam untuk yang cepat atau untuk mendahului.

Di sini, jalur kiri untuk mendahului. Dan hanya itu. Setelah berhasil mendahului kendaraan lain, akan kembali ke jalur semula. Jadi, jalur kiri ini tetap kosong. Dan digunakan hanya saat mendahului saja. Tidak saling rebut. Beda dengan di Indonesia. Jalur dalam ini (bagian kanan) bukan saja untuk mendahului. Sebab, bisa maju dari jalur mana saja. Kiri atau kanan, mana yang kosong.

Selain itu, di sini yang masuk tol bukan hanya mobil atau kendaraan roda 4 ke atas. Kendaraan roda 2 juga bisa. Saya Tanya pastor yang mengantar kami. Katanya, motor yang mesinnya 200-an cc ke atas bisa masuk. Tentu ini motor besar. Ukuran mesinnya seperti itu berarti motor besar. Dan memang saya melihat ada sepeda motor yang masuk tol. Dan bodinya besar. Tentu mesinnya besar.

Yang ini sedikit perbedaan suasana jalan tol di Indonesia khususnya Jakarta dan Italia. Bukan untuk menekankan perbedaan tetapi sekadar berbagi kesan perjalanan. Siapa tahu bisa juga jadi bahan pelajaran. Selamat mencoba. (bersambung).

Parma, 21 September 2013

Gordi

Lihat juga Tulisan Lain tentang Pengalaman di Italy


Inilah Bruder yang tua itu, sayang foto pastor gak ada
Kalau Yang Tua membawa Yang Kecil itu biasa. Ini, Yang Tua membawa Yang Muda. Luar biasa.

Pengalaman ini saya alami dalam perjalanan dari Roma ke Parma. Saya dan teman saya, Fonsi juga Sergio, diantar oleh Bruder Giovanni, SX (74) yang menyetir dan juga Pastor Stradiotto, SX (80). Keduanya adalah orang tua. Umurnya saja di atas 60 tahun. Tapi????

Tapi, masih kuat fisiknya. Buktinya, masih bisa menyetir. Masih bisa melihat jalan. Melihat rambu jalan. Melihat mobil lainnya di jalan. Ini luar biasa. Lalu, mengapa kami, Yang Muda ini, harus diantar oleh Yang Tua?

Bukan berarti saya atau kami tidak bisa. Saya juga bisa menyetir. Kami juga bisa jalan sendiri. Kami punya fisik yang jauh lebih kuat, tentu saja, dari mereka. Kami punya mata yang jauh lebih tajam penglihatannya dari mereka. Tetapi???

Tetapi, untuk saat ini, kami harus diantar oleh Yang Tua. Biarlah kami menjadi anak kecil, yang harus diantar. Kami memang sama sekali tidak tahu, jalan ke Parma. Jalur Roma Parma, bukan jalur biasa bagi kami. Kami masih baru di Roma dan belum tahu apa-apa tentang Roma dan Parma. Kami juga belum bisa berbahasa Italia. Tentu kami bisa naik angkutan umum atau kereta api. Tetapi, apalah artinya naik angkutan itu jika kami tidak tahu harus turun di mana. Kami, betul-betul menjadi anak kecil, untuk saat ini.

Untunglah, Yang Tua ini, bruder dan pastor, mau mengantar kami. Jadi, Yang Tua mengantar Yang Muda. Atau, bahasa kasarnya, Yang Tua membawa Yang Muda. Usia boleh tua, 74 dan 80 tahun, tetapi, semangatnya masih muda. Ya, kedua saudara kami ini punya semangat muda. Mereka juga masih kuat berjalan kaki.
Saya sempat tanya pada pastor ini, masih kuat jalan kaki? Ya, katanya. Alhamdulilah masih bisa, sambungnya. Woao…ini luar biasa. Sudah tua tetapi masih bisa jalan kaki. Boleh jadi mereka berprinsip, kalau masih bisa jalan kaki mengapa harus pakai mobil? Memang di rumah ada mobil yang bisa tentu saja menunjang karya mereka. Tetapi, toh, mereka masih jalan kaki.

Mobil digunakan jika perlu. Jika tidak, jalan kaki saja. Dan, memang kami membutuhkan mobil untuk menuju Parma. Luar biasa bruder yang berumur 74 tahun dan pastor, 80 tahun ini bisa mengantar kami dengan jarak lebih kurang 500 kilo meter. Berkendara dengan jarak itu bukan hal mudah.

Indonesia dan Italia memang beda. Da, salah satu bedanya adalah jalan tol. Jalan tol di sini cukup lancar. Tak heran jika yang tua pun masih bisa menyetir. Terima kasih bruder dan pastor yang sudah mengantar kami. Jasa kalian besar untuk kami. Kami doakan kalian dan kalian doakan kami. Kita saling mendoakan.


Parma, 21 September 2013
Gordi




Jalantol, foto koleksi pribadi
Pagi-pagi benar, kami bangun. Dingin masih menyelimuti kami pagi ini. Memang, Roma, saat ini, dingin sekali kalau pagi hari. Rasanya tidak sulit untuk bangun karena suhu dingin ini. Setelah bangun, segera mandi. Pagi ini, saya, teman saya Fonsi dan Sergio, berangkat ke Parma. Kami tinggalkan kota Roma.

Jarak Roma-Parma sekitar 500 kilo meter ke arah Utara. Diperkirakan ditempuh selama 5 jam dengan mobil. Lewat jalan tol tentu saja. Perjalanan ini akan menjadi kenangan indah bagi saya. Fonsi bilang ke saya, kalau ia tidak akan melupakan kota Roma ini. “Boleh jadi hanya kali ini saja bisa melihat Roma”, kenangnya sebelum berangkat.

Saya rapikan tempat tidur setelah mandi. Barang-barang sudah dibereskan tadi malam. Satu koper dan satu tas. Saya kaget ketika pintu kamar saya diketuk. Mungkin karena terlalu asyik merapikan tempat tidur, sampai kaget kala ada bunyi. Fonsi masuk dan bertanya tentang kesiapan saya. Saya sudah siap dan mau turun.

Matahari terbit, foto, koleksi pribadi
Kamar kami ada di atas. Kamar saya bernomor 527. Entah dihitung dari mana. Tetapi, kalau boleh tebak, 5 itu jumlah tingkat dan 27 itu nomor kamar. Kalau dihitung dari bawah, kami tinggal di tingkat 5. Yang pertama dari lantai yang di bawah tanah. Kamar saya berada di ujung. Kami harus turun 3 tingkat menuju pintu utama rumah. Di depan pintu ada mobil. Kami memang berangkat dengan mobil. Kami turun lewat tangga. Kami sengaja tidak menggunaan lift. Kami tahu, kalau bawa beban berat biasanya untuk naik-turun ke kamar bisa pakai lift. Kami pakai lift waktu kami datang dan harus naik menuju kamar.

Kami bawa sendiri tas dan koper. Hitung-hitung, sudah dewasa dan mandiri dunk. Masak bawa tas sendiri saja tidak bisa. Kami tinggalkan barang di depan pintu dan kami turun lagi menuju ruang makan. Sarapan sebentar dengan minum segelas susu dan makan roti. Ini penting untuk saya. Sebab, jalan tanpa makan bagi saya, seperti mau mati rasanya. Kalau perut ada isinya, mau jalan berapa lama saja, tidak masalah.

Setelah sarapan, kami menuju pintu. Di situ sudah ada beberapa pastor, bruder, dan suster Xaverian yang mau menyalami kami. Saya kagum dan heran degan mereka ini. Perjalanan kami ini rupanya bukan perjalanan yang begitu-begitu saja. Mereka yang tinggal di rumah ini dan memangku jabatan penting dalam kongregasi Xaverian bisa bangun dan melihat keberangkatan kami. Belum waktunya mereka bangun. Masih ada 1 jam atau lebih bagi mereka untuk tidur. Tetapi mereka rela bangun pagi hanya untuk menyalami kami. Kami berjabatan tangan satu per satu sebagai tada perpisahan. Ada yang berpesan, sampai jumpa lagi. Terutama untuk saya yang hanya berpindah kota saja dan masih di negara Italia. Sedangkan, untuk Fonsi dan Sergio yang akan berangkat ke Kamerun, hanya dikatakan, sampai jumpa kapan-kapan.

Pemandangan di jalan, Foto, koleksi pribadi
Kami masukan barang-barang dalam mobil lalu berangkat. Di depan ada Bruder Giovanni, SX yang menyetir dan juga Pastor Stradiotto, SX yang menemani. Di belakang, ada kami bertiga. Kami keluar dari rumah pada 7.30 pagi waktu Roma. Perjalanan ini diperkirakan ditempuh selama 5 jam.

Suasana masih pagi dan pemandangannya indah sekali. Saya sempat mengambil beberapa gambar di sekitar jalan. Tidak banyak karena saya juga tertidur di jalan. Laju mobil kencang karena melewati tol yang lancar. Bruder ini ruapanya sudah biasa berkendara di jalan ini.

Beberapa kali saya bangun dan langsung disodorkan makanan ringan. Pastor rupanya sudah menyiapkan snack. Atau juga dia tahu, kalau-kalau kami lapar di jalan. Saya ambil beberapa. Cukup untuk mengobati rasa lapar. Tambah juga dengan beberapa buah anggur. Kenyang.

Tak terasa kami tiba di Parma. Rupanya tidak sampai 5 jam. Kami tiba pukul 10.30. Berarti 4 jam saja. Jalanan memang lancer dan bruder melajukan mobil dengan kencang. Kami masuk di rumah induk Xaverian (Casa Madre). Menanyakan nomor kamar untuk pastor, bruder, Fonsi, dan Sergio. Setelahnya mereka membawa barang menuju kamar. Saya menunggu sebentar.

Kemudian, saya dan P Stradiotto menuju rumah para Teologan Xaverian (studente). Kami masuk dan diterima oleh beberapa teman saya dan seorang pastor. Keramahan tampak sekali dalam penerimaan ini. Juang dan Pandri, teman saya dari Indonesia mengantar saya menuju kamar saya. Woao…rupanya saya tinggal di kamar paling atas juga, di tingkat 5 rumah ini. Kami naik lift juga biar mudah.

Kota Parma, foto, koleksi pribadi
Saya masuk kamar dan woao….kamarnya luas sekali. Seperti kamar hotel. Mewah. Inilah standar kamar untuk masyarakat di kota ini. Saya melepas kelelahan saya di kamar ini. Duduk sebentar kemudian berbaring. Perjalanan saya sampai tujuan. Dari rumah tanggal 18 Agustus 2013 dan tiba di sini pada 3 September 2013. Terima kasih Tuhan untuk anugerah-Mu ini. (bersambung)


Parma, 21 September 2013



Powered by Blogger.