Halloween party ideas 2015

foto oleh Metro+Dollars
Akhir-akhir ini ada berita yang mengejutkan. Entah benar atau direkayasa, yang jelas saya sempat membacanya di media cetak. Saya juga bertanya pada beberapa teman. Dan memang menurut laporan media, hal itu benar. Boleh jadi memang keadaan di tempat kejadian tidak seperti itu. Namun, perlu dicari ada apa di balik berita itu.

Dua berita yang mirip di dua tempat yang berbeda. Dua kasus yang mirip di dua tempat. Rakyat tidak diberi kartu tanda penduduk (KTP). Kasus itu terjadi di Tanah Merah, Jakarta dan daerah Register 45, Mesuji, Lampung. Saya tidak tahu penyebab sebenarnya untuk kasus di Lampung. Di Tanah Merah juga hampir sama. Saya hanya menangkap penjelasan dari pihak berwenang bahwa rakyat yang menghuni tempat itu ilegal. Disebut ilegal karena mereka tidak mempunyai daerah asal yang jelas. Mereka juga menempati lahan yang kepemilikannya abu-abu. Di Lampung ada indikasi lahan itu milik perusahaan sawit, sedangkan di Jakarta lahan itu diduga milik Pertamina.

Pertanyaan saya kepada pihak pengurus KTP, bagaimana solusi untuk kasus semacam ini? Mengapa mereka tidak diberi KTP? Sebenarnya KTP itu dibuat untuk apa? Kalau untuk mendata rakyat, mengapa tidak semua rakyat yang memenuhi syarat bisa memperolehnya? Apakah karena menempati lahan ‘ilegal’ mereka dianggap bukan warga negara sehingga tidak perlu diberi KTP?

Saya agak risih dengan solusi singkat, tidak akan diberi KTP, semacam ini. Di negeri ini KTP amat berperan. Birokrasi mana di Indonesia yang tidak membutuhkan identitas penduduk semacam ini? Saya tidak tahu pikiran pihak berwajib atas solusi ini. Apakah mereka sudah memikirkan betapa rumitnya penduduk ini nanti jika mengurus surat-surat lain yang berkaitan dengan masalah kependudukan dan masalah terkait seperti pendidikan dan kesehatan? Jangankan yang tidak ber-KTP, yang ber-KTP saja masih berbelit jika mengurus surat-surat penting di beberapa kantor.

Hai…pemerintah….tolonglah kami rakyat jelata ini. Sudah susah mencari sesuap nasi, kami disibukkan lagi dengan urusan kependudukan semacam ini. Tentang asal-usul penduduk yang tidak jelas, bagaimana nantinya masalah yang dihadapi anak-anak mereka yang lahir di daerah yang dianggap ‘ilegal’ itu? Toh, mereka lahir di daerah itu, apakah pihak berwajib masih menuntut asal-usul yang sah? Bagaimana mengurus KTP mereka beberapa tahun mendatang jika KTP orang tua mereka saja tidak ada?

Tentang warga tanah Merah, mengapa mereka dibiarkan tinggal di situ selama beberapa waktu berlalu? Mengapa lahan itu tidak digunakan oleh Pertamina jika itu milik pertamina? Apakah tidak bisa dikatakan ‘angkuh’ jika saya membeli banyak lahan lalu dibiarkan kosong, tidak diisi bangunan atau diolah untuk keperluan lain? Mengapa tida diberikan saja kepada mereka yang belum mempunyai lahan untuk tempat tinggal?

Janganlah bersikap seperti penguasa semua lahan. Bumi ini terbatas, cukup untuk menghidupi penghuninya. Kalau saya menguasai satu pulau misalnya, saya dikatakan angkuh. Sebab, saya mengambil lahan yang sebenarya digunakan untuk menghidupi warga lain.

Munkin terlalu rumit dan berat jika saya mengusulkan untuk memberi KTP kepada mereka ini. Namun, menurut saya, itu mesti dilakukan. Sejauh pemerintah mengakui mereka sebagai warga-dan memang mereka adalah warga-sebaiknya mereka diberi KTP sebagai identitas kependudukan. Identitas ini tidak saja menandai mereka sebagai warga negeri ini tetapi juga memudahkan mereka memperlancar urusan kependudukan dan masalah terkait.

Kalau memang lahan itu ilegal, carilah lahan kosong untuk mereka. Ambilah sebagian hutan dan latihlah mereka mengolah tanah agar mempunyai penghasilan. Daripada lahan kita diserobot perusahaan asing yang merugikan keseimbangan lingkungan, lebih baik lahan itu dipakai untuk menghidupi warga negeri ini.

Saya tahu dan sadar usulan ini agak sulit dalam pelaksanaannya. Tida ada yang mudah jika mau menyejahterakan rakyat. Bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian. Sekarang mungkin rumit, namun di tahun mendatang, akan tampak keteraturannya.

CPR, 14/1/2012
Gordi Afri

foto oleh Leanna Platts
Hanya ada satu jurus ampuh menghadapi anak-anak yang nakal saat mengikuti pelajaran. Memukul tidak boleh, mencela tidak boleh, membentak tidak boleh. Lalu?

“Betapa nakal anak-anak ini”, celoteh seorang teman pengajar pada Sabtu yang lalu. Hal yang sama saya alami juga. Anak-anak ribut saat belajar. Tak dipungkiri usia mereka masih anak-anak, usia untuk bermain. Kami mencoba mengemas pelajaran dalam permainan. Selalu saja ada yang lebih nakal saat mengikuti permainan itu. Gimana ya caranya? 

Hampir kehilangan cara. Kami hanya membantu mereka mengerjakan soal dari sekolah, melatih mereka berhitung, membuat perkalian, pembagian, pengurangan, dan sebagainya. Kami tidak bisa memberi lebih dari situ. Kami pun sudah memberikan semua itu kepada anak-anak. Hai anak-anak….tahukah kalian kalau kami berkorban untuk kalian?” gumamku dalam hati.

Anak-anak tak menggubris. Mereka berlari ke sana kemari. Sebantar-sebantar muncul dan meminta soal penjumlahan. Satu orang betah duduk di atas terpal sambil mengerjakan soal, tiba-tiba datang teman lainnya menariknya untuk berlari-lari. Wah…kacau ne… datang lagi satu minta koreksi atas pekerjaannya. Sesudah dikoreksi, ia minta nilai, lalu puas dengan itu. Dia lari-lari lagi dan kembali meminta soal baru…Beginilah suasanya.

Kalau dipikir-pikir akan sia-sia. Sungguh sia-sia jika berpikir hanya sampai pada kegiatan ini saja. Akan ada kekecewaan yang besar ketika kami tidak dihargai, tidak diterima di mata anak-anak. Namun, saya berpikir lebih dari itu. Memang kami hanya bisa memberi ilmu dan sedikit mendidik mereka. Lebih dari situ, kami tidak punya. Kami tidak punya uang untuk membiayai sekoalh mereka. Kami pun membagi ilmu dengan gratis dengan mereka. Tanpa ada semangat yang kuat, berbagi ilmu dengan anak-anak ini akan menjadi kegiatan yang tidak bermakna.

Saya memboboti kegiatan ini dengan pelayanan total. Meski kami tidak bisa mengontrol anak-anak sebagaimana mestinya, kami memberikan CINTA, HATI, dan PERHATIAN  kepada mereka. Degan jurus ini, kami bisa betah berada di antara anak-anak untuk sekadar berbagi ilmu dan bermain bersama. Terima kasih adik-adikku yang manis dan nakal. Kalian menyadarkanku akan pentingnya CINTA, HATI, dan PERHATIAN. All they need love and understanding….

Salam akhir bulan.

CPR, 31/1/2012
Gordi Afri

Christmas tree in Bologna, Italy, imaggine, Gordi
What did you think at the time, before the Christmas? Maybe you think about Christmas celebrate? Alternatively, you think about what you give to friends.

I do not think about all. Now, I just think about the pass time. The time when I live in Indonesia and partly in my village. I do not know why it is. Nevertheless, it appears without I estimate.

I imagine the situation in my village. The people go to the parish. Because the parish is far from my village. Now, I hear from my friend, the parish priest make a rotation. Rotation to celebrate the Christmas. Therefore, every station gets occasion to celebrate it.

Other, form of celebrating Christmas. In my village, there are one habit at the Christmas or other feast religious or cultural. That feast usually in form like this, slaughter pork or chicken. I do not know when this habit born. I remember this habit exists since I was a baby.

There are many habits either. But just this that I tell now. My dream far from my village. I hope I can celebrate this Christmas goodly. This is my first Christmas in Italy. I truth that God lives with me. Now, God lives with me in Italy and God live with my family, my friends in my village.

Gordi
Parma, December 24, 2013
Powered by Blogger.