foto oleh Metro+Dollars |
Dua berita yang mirip di
dua tempat yang berbeda. Dua kasus yang mirip di dua tempat. Rakyat
tidak diberi kartu tanda penduduk (KTP). Kasus itu terjadi di
Tanah Merah, Jakarta dan daerah Register 45, Mesuji, Lampung. Saya tidak tahu
penyebab sebenarnya untuk kasus di Lampung. Di Tanah Merah juga hampir sama.
Saya hanya menangkap penjelasan dari pihak berwenang bahwa rakyat yang menghuni
tempat itu ilegal. Disebut ilegal karena mereka tidak mempunyai daerah asal
yang jelas. Mereka juga menempati lahan yang kepemilikannya abu-abu.
Di Lampung ada indikasi lahan itu milik perusahaan sawit, sedangkan di Jakarta
lahan itu diduga milik Pertamina.
Pertanyaan saya kepada
pihak pengurus KTP, bagaimana solusi untuk kasus semacam ini? Mengapa mereka
tidak diberi KTP? Sebenarnya KTP itu dibuat untuk apa? Kalau untuk mendata
rakyat, mengapa tidak semua rakyat yang memenuhi syarat bisa memperolehnya? Apakah
karena menempati lahan ‘ilegal’ mereka dianggap bukan warga negara sehingga
tidak perlu diberi KTP?
Saya agak risih dengan
solusi singkat, tidak akan diberi KTP,
semacam ini. Di negeri ini KTP amat berperan. Birokrasi mana di Indonesia yang
tidak membutuhkan identitas penduduk semacam ini? Saya tidak tahu pikiran pihak
berwajib atas solusi ini. Apakah mereka sudah memikirkan betapa rumitnya
penduduk ini nanti jika mengurus surat-surat lain yang berkaitan dengan masalah
kependudukan dan masalah terkait seperti pendidikan dan kesehatan? Jangankan yang tidak ber-KTP, yang ber-KTP saja masih berbelit jika
mengurus surat-surat penting di beberapa kantor.
Hai…pemerintah….tolonglah
kami rakyat jelata ini. Sudah susah mencari
sesuap nasi, kami disibukkan lagi dengan urusan kependudukan semacam ini.
Tentang asal-usul penduduk yang tidak jelas, bagaimana nantinya masalah yang
dihadapi anak-anak mereka yang lahir di daerah yang dianggap ‘ilegal’ itu? Toh,
mereka lahir di daerah itu, apakah pihak berwajib masih menuntut asal-usul yang
sah? Bagaimana mengurus KTP mereka beberapa tahun mendatang jika KTP orang tua
mereka saja tidak ada?
Tentang warga tanah
Merah, mengapa mereka dibiarkan tinggal di situ selama beberapa waktu berlalu?
Mengapa lahan itu tidak digunakan oleh Pertamina jika itu milik pertamina?
Apakah tidak bisa dikatakan ‘angkuh’ jika saya membeli banyak lahan lalu
dibiarkan kosong, tidak diisi bangunan atau diolah untuk keperluan lain?
Mengapa tida diberikan saja kepada mereka yang belum mempunyai lahan untuk
tempat tinggal?
Janganlah bersikap
seperti penguasa semua lahan. Bumi ini terbatas, cukup untuk menghidupi
penghuninya. Kalau saya menguasai satu pulau misalnya, saya dikatakan angkuh.
Sebab, saya mengambil lahan yang sebenarya digunakan untuk menghidupi warga
lain.
Munkin terlalu rumit dan
berat jika saya mengusulkan untuk memberi KTP kepada mereka ini. Namun, menurut
saya, itu mesti dilakukan. Sejauh pemerintah mengakui mereka sebagai warga-dan
memang mereka adalah warga-sebaiknya mereka diberi KTP sebagai identitas
kependudukan. Identitas ini tidak saja menandai mereka sebagai warga negeri ini
tetapi juga memudahkan mereka memperlancar urusan kependudukan dan masalah
terkait.
Kalau memang lahan itu ilegal, carilah lahan kosong untuk mereka.
Ambilah sebagian hutan dan latihlah mereka mengolah tanah agar mempunyai
penghasilan. Daripada lahan kita diserobot perusahaan asing yang merugikan
keseimbangan lingkungan, lebih baik lahan itu dipakai untuk menghidupi warga
negeri ini.
Saya tahu dan sadar usulan ini agak sulit dalam pelaksanaannya. Tida ada
yang mudah jika mau menyejahterakan rakyat. Bersusah-susah dahulu
bersenang-senang kemudian. Sekarang
mungkin rumit, namun di tahun mendatang, akan tampak keteraturannya.
CPR, 14/1/2012
Gordi Afri
*Dimuat di blogkompasiana pada 14/1/12
Post a Comment