Halloween party ideas 2015

FOTO, simomot.com
Senyumnya menawan
Pipinya mulus
Matanya melotot
Tubuhnya seksi 

Kesan pertama melihatnya
Dia adalah dara cantik
Wanita idaman lelaki
Bagai gadis desa

Dia tinggal di kota
Pastilah dia orang kaya
Dari penampilannya
Pakaian, hiasan, dan gaya rambutnya

Kalau bukan orang kaya
Dia adalah orang berilmu
Mungkin mahasiswi
Entah kuliah sarjana atau master

Penampilan seperti ini memang jarang
Pastilah bukan asal wanita
Dialah wanita yang tahu diri
Baru ketemu langsung ramah

Rupanya ada yang lain di balik sikap ramahnya
Dia harus ramah
Dia harus tampil menggoda
Bahkan dia harus menggoda

Tampilannya tidak sekadar pamer
Dia memang mesti seperti itu
Kelihatannya tak digoda pun
lelaki sudah tergoda dengan sendirinya
Tapi dia rupanya tetap berusaha menggoda

Telusur punya telusur
Dia rupanya sudah banyak menggoda lelaki
Banyak yang jatuh dipelukannya
Banyak yang bermalam dengannya

Tetapi masih mau menggoda juga
Apakah dia tidak puas
Baginya kepuasan bukan tujuan
Kepuasan hanya roh yang terus menerus menggoda

Menggoda baginya adalah jiwa dari pekerjaannya
Tiada hari tanpa menggoda
Dia ada untuk menggoda
Dia tidak berarti jika tak mampu menggoda

Dengan menggoda dia mendapat dolar
Itulah sebabnya, tidak cukup modal seksi, cantik, menawan
Pamer tubuh hanya awal dari tujuannya
Dari pamer, dia pasti menggoda
Dan menggoda sampai sasarannya jatuh

Itu pun tidak berhenti
Dia akan terus menggoda
Dia menggoda maka dia ada
Ah rupanya dia adalah tukang prostitusi

Hampir saja kutergoda menggaetnya
Dasar penggoda
Kalau dia bukan prostitusi
Dia kujadikan istriku

PRM, 10/5/15
Gordi

FOTO ilustrasi, infojambi.com
Jadi rakyat kok sakit. Emang gak ada rumah sakit yang bisa ubah sakit jadi sehat? Ya tetap saja sakit. Sakit gara-gara jadi rakyat di negeri ini. Kalau rakyat sakit, itu artinya ada yang tak beres. Entah rakyatnya yang memang tidak tahu jaga kesehatan atau pemerintahnya yang tidak pandai menyehatkan warga yang sakit. 

Baru saja menyapa teman di facebook. Ngobrol sebentar seputar situasi terkini di kampung halaman. Didahului dengan kabar terkini dari kami. Kami baik-baik saja. Sehat walafiat. Teman yang bekerja di Pulau Dewata ini bertanya, kapan telepon ke rumah? Saya telepon terakhir kali bulan lalu. Belum telepon untuk bulan ini. Kami memang beda. Dia, katanya, sering telepon ke rumah. Maklum, dari Bali bisa telepon setiap saat ke rumah. Dia beda dengan saya, yang tak hobi telepon berkali-kali jika tak perlu. Jika perlu, dua atau tiga kali pun, saya bisa telepon dua atau tiga kali ke rumah. Tapi jarang sekali. Toh, semuanya berjalan baik-baik saja.

Karena dia sering telepon ke rumah, saya tanya kabar darinya. Dia menyinggung masalah yang sudah lama kami bahas. Soal jalan raya dan listrik. Hari gini masih bahas jalan raya dan listrik? Beginilah kehidupan di kampung. Orang kota mungkin kaget. Tapi, orang desa tidak kaget. Seperti orang desa memandang orang kota, tidak perlu kaget. Orang desa dengan keterbatasannya dalam teknologi canggih tidak perlu banyak kaget apalagi khawatir tentang hidup harian. Sebab, tanpa teknologi pun sebenarnya hidup harian tetap bisa dijalani. Bukan pembelaan tapi pujian. Maklum, saya orang desa yang pernah dan selalu merasakan indahnya kehidupan di desa.

Jalan raya sudah dikerjakan namun belum sampai di kampung. Listrik juga demikian. Instalasi sudah dipasang di tiap rumah, tiang listrik sudah didatangkan, namun pekerjaan terganjal. Jalan tidak dilanjutkan. Listirk dibiarkan berhenti di tengah jalan. Lalu saya tanya, mengapa?
Jawab teman saya, untuk jalan mungkin dilanjutkan tahun 2016, sesuai program Jokowi. Untuk listrik, ada masalah teknis antara kepala PLN di kecamatan dan kontraktor yang mengerjakan proyek ini.

Saya lalu menyambung, hemmm ini namanya perjanjian. Dalam dunia politik, janji adalah harta emas. Dengan janji, politikus bisa menjual idenya. Ide yang membuat masyarakat terbius dalam kebahagiaan dan kenikmatan hidup. Janji kampanye politik ibarat narkoba yang selalu menawarkan kenikmatan sepanjang waktu. Meski nikmat, janji itu sebenarnya pahit. Pahit sekali. Dan, itulah sebabnya, saya membalas kepada teman saya, beginilah sakitnya jadi rakyat di negeri ini.

Dia setuju jika janji itu menyakitkan. Jalan dan listrik yang diprogramkan itu sudah dimasyarakatkan sejak beberapa tahun lalu. Sebelum pemilihan bupati yang sebentar lagi berakhir masa jabatannya ini, program itu sudah dikabarkan pada masyarakat. Dan, politik itu betul-betul datang sebelum makan siang dimulai. Menjelang akhir masa jabatan, pemerintah berusaha menggenapi janjinya. Janji yang menciptakan janji baru lagi. Di mana-mana pekerjaan di menit-menit tterakhir biasanya tidak membuahan hasil memuaskan. Dan benar, jalan dan listirk itu pun tidak tuntas.

Boleh jadi ketidaktuntasan itu jadi harta emas para politikus untuk berkampanye menjelang pilkada nanti. Dengan itu, dia bisa bermulut manis di hadapan pemilih. Ah, rakyat selalu jadi korban janji manis. Sakitnya menjadi rakyat di negeri ini. kalau begini terus, di bawa ke mana negeri ini?

Jakarta mungkin terlalu jauh menjangkau pelosok negeri ini sehingga penguasa di pelosok dengan langkah kaki lenggang menguasai rakyatnya semau gue.

Salam cinta rakyat.

PRM, 9/5/15
Gordi

FOTO, www.jokowinomics.com
Pembangunan kiranya menjadi kebutuhan rakyat Papua. Dengan pembangunan, jaringan antara daerah terjangkau. Pembangunan ini konkretnya dalam transportasi dan komunikasi. Pembangunan dalam dua bidang itulah yang membuat rakyat Papua bisa terus terhubung satu sama lain. Dan, pembangunan seperti ini sebenarnya bukan hanya berlaku di Papua. Warga di seluruh tanah air juga merindukan kedua hal ini. Warga Papua—termasuk warga daerah lainnya—selalu mengimpikan pembangunan ini.

Pembangunan seperti ini memang dibutuhkan dan dirindukan, namun, realisasinya tidak mudah. Pembangunan dalam kenyataannya selalu dihadang berbagai pihak. Masyarakat pun akhirnya mau tak mau menerima kenyataan pahit yakni tidak menikmati pembangunan yang diimpikan. Pembangunan bisa jadi nyata jika mampu menembus halangan sosial dalam masyarakat. Sebab, tentu saja selalu ada pihak yang menghalangi jalannya pembangunan di negeri ini. Salah satu bentuk halangan itu adalah konflik di mana-mana. Di Papua, konflik berkepanjangan itu juga yang nyata-nyata membatalkan niat masyarakat menikmati pembangunan yang diimpikan. Ada pihak yang bertanya-tanya, dari mana datangnya konflik itu? Jawaban yang sering muncul adalah dari ketidakpuasan masyarakat atas pembangunan. Ini tentu saja jawaban logis. Tapi, bisa ditanya lagi, siapa yang menciptakan konflik itu? Boleh jadi ada pihak lain di luar masyarakat sendiri.

Di Papua, dari dulu dikenal istilah OPM, Organisasi Papua Merdeka. Nama OPM ini selalu dilawankan dengan nama TNI atau militer. Maklum, hubungan militer dan OPM inbarat tikus dan kucing. Maksudnya jelas, saling berlawanan. Yang satu menginginkan Papua Merdeka dari bangsa Indonesia. Yang satu menginginkan tetap bersama Indonesia dan menciptakan kedamaian. Keberadaan OPM pun kadang-kadang sulit dilacak. Ini berarti OPM bisa saja beroperasi di tengah masyarakat. Atau bisa juga beroperasi dari pihak lain di luar masyarakat. Namun, apakah OPM sekarang masih berjaya dan terus menerus memperjuangkan misinya? Tidak jelas. Boleh YA boleh TIDAK. Hanya masyarakat yang tahu. Atau hanya TNI dan OPM yang tahu.

Menteri Tedjo Edhi hari ini membawa berita gembira tentang OPM ini. Katanya, OPM bukan lagi Organisasi Papua Merdeka tetapi Orang Papua Membangun. Jika ini benar, OPM dengan misi lama akan lenyap dengan sendirinya. OPM ini kiranya ibarat mobil bekas bermesin baru. Mesin baru inilah yang dirindukan rakyat Papua. Dan, kiranya ini betul-betul terwujud nanti. Jika tidak, kata-kata menteri Tedjo ini hanya pemanis lidah untuk rakyat Papua. Kata-kata yang menarik simpati dengan demikian menjadi kata-kata yang dibenci. Semoga ini tidak terjadi. Semoga rakyat Papua dan pemerintah memang betul-betul bersama berusaha mencapai PEMBANGUNAN yang diimpikan ini.

Kerinduan rakyat Papua ini adalah gambaran rakyat Indonesia pada umumnya. Setiap hari kiranya rakyat Indonesia—khususnya yang berada di pelosok—merindukan pembangunan ini. Mereka bosan mendengar dan menonton drama politik di pusat yang sama sekali tidak menyentuh kebutuhan mereka. Inilah ironisnya Indonesia yang besar dan luas ini. Di Jakarta politikus sibuk mengurus misi pribadi mereka, di daerah rakyat merindukan pembangunan. Satu negara, dua realitas. Yang satu merindukan, yang satu sibuk dengan urusannya. Ini namanya rindu di atas ketidakpedulian. Dan, hidup cuek di atas pengharapan orang lain.

Obrolan hari ini.

PRM, 9/5/15
Powered by Blogger.