Halloween party ideas 2015

GAMBARAN MANUSIA MENURUT INJIL
 
FOTO: pixabayfree
Seperti apakah gambaran manusia menurut Injil? Pertanyaan ini mesti digali dan ditemukan jawabannya dalam Injil, pedoman hidup orang Kristiani.

Tema manusia menurut Injil ini menjadi pergelutan selama retret persiapan tahbisan saya. Pastor Daniel SX membantu saya menemukan jawabannya dalam Injil Matius Bab 8-10.

Pastor Daniel mencintai Injil Matius dan menghabiskan banyak waktunya untuk membaca komentar tentang Injil ini. Dari sini, ia beranjak ke injil lainnya.

“Saya mulai dengan Injil Matius,” komentarnya tentang kebiasaan membaca pesan Injil.
“Memahami Matius membantu saya untuk berbuat serupa dengan Injil lainnya,” tegasnya.

Soal Injil memang bukan hal baru bagi Pastor yang lama berkarya di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat ini.

“Saya harus terbiasa untuk membaca komentar Kitab Suci. Sebab, saat berada jauh di hutan Mentawai, saya tidak mungkin membawa buku-buku komentar,” jelasnya dengan penuh percaya diri.

Kebiasaan inilah yang ia bawa juga saat bertugas di Jakarta. Di sana, ia memberikan beberapa kursus Injil Sinoptik bersama umat Paroki St Matius Bintaro. Saat di Pranovisiat dan Novisiat (2006-2008), saya juga ikut kursus ini. Saat itu, Injil Markus sedang ramai dibahas. Hanya beberapa bab saja sesuai kemampuan umat.

Titik pusatnya saat itu memang bukan soal menginterpretasikan Injil tetapi mencari pesan Injil secara bersama-sama. Dalam kebersamaan, ada tindakan berbagi. Jadi, berbagi dalam semangat Injil.

Menurut Pastor Daniel, ketiga Bab dari Matius ini akan dibaca dengan trik tertentu. Bagian ini berisi kumpulan mukjizat dan wejangan. Di antara beberapa mujizat, ada wejangan atau penjelasan atau selipan tentang kemuridan.

Selipan ini bisa dimengerti jika perikop sebelum dan sesudahnya dibaca dengan saksama. Maka, dari sini lahir skema atau trik membaca. Dalam bab 8 misalnya, ada 3 mukjizat. Setelahnya, ada selipan penjelasan tentang kemuridan Yesus. Kemudian, lanjut dengan 4 mukjizat berikutnya yang diikuti dengan penjelasan soal kemuridan lagi. Skema ini berkembang terus menerus seperti ini.

Dari sini, gambaran manusia menurut Injil akan terlihat. Gambaran ini kiranya akan berguna di tanah misi. Boleh dibilang, gambaran ini akan menentukan cara pendekatan terhadap berbagai realitas manusia yang ada.

Dalam bagian akhir pengantar ini, ada kata-kata menarik dari Pastor Daniel. Katanya, “Hidup seorang Kristiani bukanlah datar-datar saja tetapi mesti bercukacita.”

Maka, kalau datar-datar saja, boleh jadi tidak ada sukacita di sana. Saya cenderung datar atau ada sukacitanya juga?

BA, 10/10/2017
Gordi SX



FLAMBOYAN YANG INGKAR JANJI


Salah satu ciri khas bunga Flamboyan adalah bunganya mencolok. Ciri ini pas dengan namanya ‘Flamboyan’. Kata Flamboyan berasal dari Bahasa Prancis, ‘Flamboyant’ yang artinya menyala atau mencolok.

Flamboyan menjadi nama salah satu stasi di Paroki St Paulus, Pekanbaru. Nama pelindungnya adalah Santo Fransiskus Xaverius. Stasi ini tak jauh dari ingar bingar Pasar Flamboyan. Pasar di jalan lintasan Sumatra. Karena di lintasan, pasar ini selalu ramai.

Saat datang, kami melewati pasar ini. Di belakang pasar inilah ada kompleks gereja stasi. Letaknya jauh dari keramaian pasar. Agak masuk, di kawasan perkebunan. Cocok untuk tempat doa. Meski di dalam, letaknya cukup mencolok. Dari bahu jalan amat jelas. Bagian depan gereja agak tinggi. Ada motif khas yang amat menarik. Entah motif dari mana.


Sore ini (Selasa 26 September), Pasar Flamboyan juga ramai. Keramaian ini juga lah yang kami bayangkan saat berencana datang untuk animasi di stasi ini. Dan, memang benar-benar ramai. Hanya saja, keramaian itu hanya terbatas di Pasar. Keramaian itu tidak muncul di gereja.

Wajah mencolok gereja Flamboyan rupanya tidak seindah isinya. Ada Ketua Stasi dan para pengurus lainnya tetapi umat lain amat kurang. Yang ikut animasi pun amat sedikit. Hanya ada sekelompok anak-anak TK sampai kelas 3 SD. Suara mereka merdu saat bernyanyi. Tetapi redup ketika kami bertanya. Berarti, mereka sama sekali kurang paham dengan bahan yang kami siapkan.

Umur mereka terlalu kecil. Pemahaman juga masih terbatas. Mereka juga tampaknya agak sulit keluar dari keterbatasan itu. Mereka seolah-olah dikungkung oleh guru bina iman yang menemani mereka. Guru itu membawa ranting pohon kering, entah untuk apa. Sore ini, ranting itu juga melekat di tangannya.

Kami yakin, ranting itu hanya sebagai ancaman saja. Ancaman ini tak disangka justru membuat anak-anak merasa takut. Lebih takut lagi karena anak-anak akhirnya tidak mendengar kami yang sedang bicara. Guru bina iman itu justru mendominasi perhatian. Dia—dengan modal ranting pohon di tangan—mencoba menarik perhatian anak-anak. Alih-alih mengarahkan anak untuk mendengarkan kami, Ibu itu justru membuat penjelasan menurut versinya.

Pemandangan ini memang sedikit mengganggu apalagi ada orang tua yang mempunyai banyak pertanyaan. Beruntunglah, tim animasi dengan sabar dan bijaksana mengatasi situasi ini. Kami tetap menjawab pertanyaan orang tua dan mengabaikan anak-anak yang asyik sendiri dengan seorang guru pembina mereka.

Tampak seperti sebuah rumah berwajah ganda. Sebelah kiri ada orang tua yang serius menyimak pemaparan dan sebelah kanan ada anak-anak yang asyik dengan kegiatan mereka. Flamboyan dengan pemandangan ini tidak lagi mencolok. Kalau mau mencolok, hanya satu yang muncul. Kalau dua, sisi mencoloknya terpecah jadi dua. Persis seperti Flamboyan sore ini.

Flamboyan versi pasar ramai dengan kebiasaannya. Flamboyan versi gereja bukan saja ramai dengan anak-anaknya tetapi juga dengan kelompoknya sendiri. Keramaian yang dirindukan sebelumnya adalah keramaian yang mencolok seperti Flamboyan yang bunganya mencolok. Andai keramaian itu menjadi Flamboyan yang benar-benar mencolok, Flamboyan itu tidak akan menginkar janji.

Semoga Flamboyan tetap mekar dan menampilkan bunga merahnya di Stasi ini. Kelak, umat di sini menjadi Flamboyan yang menarik perhatian dari sesama. Flamboyan itu memang belum tampak hari ini. Flamboyan yang dominan justru di pasar sebab hari ini adalah hari pasar. Demikian bisikan seorang pengurus stasi. Berarti, ada kesalahan dalam memilih tanggal dan jam-nya. Boleh jadi akan mencolok jika memilih hari lainnya.

Selalu ada harapan untuk Flamboyan.

BA, 9/10/2017
Gordi 





BERSEMBUNYI DI BALIK BERINGIN


Namanya unik: Stasi Santa Agnes, Muara Beringin. Padahal, terletak di tengah perkebunan Sawit. Entah mengapa, Muara Beringin begitu melekat dengan nama daerah ini.

Pohon Beringin sama sekali tidak menjadi ciri khas Stasi ini. Daripada Beringin, Pohon Sawitlah yang justru mendominasi. Memang, daerah Riau identik dengan daerah Sawit. Bersama Sawit, daerah ini juga menjadi ladang Karet. Dua komoditas ini menjadi andalan Provinsi Riau.

Nama Muara Beringin boleh jadi diambil dari nama perkampungan atau pedesaan ini. Entah di mana Pohon Beringinnya. Yang jelas, gedung Gereja atau Kapela Stasi ini berada di tengah Sawit.

Untuk menjangkauinya pun agak sulit. Sulit bukan karena jauh dan jalannya rusak tetapi letaknya yang tersembunyi. Kami—tim animasi—pun mesti mengajak seorang OMK dari Palas untuk menunjukkan jalan. Jadi, kami berangkat ke Palas dulu sebelum menuju Muara Beringin.


Kami pun meletakkan harapan kami padanya. Rupanya, ini tidak cukup. Dia sejak awal memang sudah mewanti-wanti bahwa, dia hanya tahu jalan masuk. Sedangkan, ke dalamnya, masih harus bertanya-tanya. Dan meski bertanya, kami belum menemukan titik terang. Bertanya-tanya yang kesekian baru membawa harapan.

Harapan memang bukan sebuah usaha instan. Harapan membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Jika dua hal ini dilalui, harapan dengan sendirinya akan muncul. Dengan kata lain, harapan membutuhkan waktu dan proses panjang.

Setelah harapan pertama tercapai, kami pun menyusuri jalan yang ditunjukkan. Jalannya tampak jarang dilalui mobil. Jalan itu pun hanya membawa kami menuju gereja Muara Beringin dan beberapa rumah di belakang gereja. Jangan heran jika jalannya masih berupa rerumputan. Ada bekas jalan tapi tidak jelas pembatasnya. Sopir mesti meraba-raba dan mengira-ngira batas luar yang bisa dilalui. Jika tidak, boleh jadi ban mobil akan tertanam di rawa-rawa atau keluar dari jalur jalan.



Dengan kelincahan dan kebiasaan, sopir bisa melaksanakan tugasnya sampai tujuan (Kamis, 28 September). Lega rasanya bisa tiba di tempat ini. Dengan lega, tim animasi turun dari mobil dan berjumpa dengan Ketua Stasi yang sedang menunggu di depan gereja.

Gerejanya kecil, tetapi semangat umat luar biasa besar. Saat tiba, tampak hanya ketua stasi dan beberapa umat lain. Dia juga memberitahukan bahwa umat lain akan berdatangan. Jika ada kesabaran untuk menunggu, hasilnya akan memuaskan. Dan, benar yang ia katakan. Kami sabar menunggu dan bahkan memperlambat 1 jam jadwal pertemuan. Dari pukul 16.00 ke 17.00.

Hasilnya menjadi berlipat ganda karena kami juga disuguhi makan malam bersama. Sebelum sampai pada acara ini, kami beranimasi. Ada banyak pertanyaan menarik setelah kami mempresentasikan kegiatan kami. Durasi tanya jawab pun diperpanjang karena awalnya agak sulit memunculkan pertanyaan. Setelah muncul yang pertama, yang berikutnya berurutan dan banyak sekali. Motivasi lain juga adalah agar selesainya pas pada jadwal makan malam.

Makan malam ini rupanya bukan hadiah terakhir. Masih ada buah-buahan sebagai oleh-oleh. Stasi ini rupanya menjadi satu dari beberapa stasi yang selalu menyumbangkan buah-buahan setiap kali kunjungan pastoral. Buah-buahan itu kami terima dengan senang hati. Kami memang senang karena disuguhi makan malam seperti ini.


Satu dari tim animasi berbisik bahwa, sehari sebelumnya ketua stasi sudah meminta untuk berhenti setelah kegiatan animasi. Ini berarti, makan malam ini direncanakan dengan matang. Padahal, kami sebenarnya datang untuk beranimasi saja. Penerimaan ini tentu menjadi penambah semangat baru bagi kami tim animasi dalam kegiatan mendatang.

Terima kasih untuk Ketua Stasi yang menjadi penggerak umat di Muara Beringin. Tawa dan canda kalian saya bawa dalam perjalanan selanjutnya. Salam jaya untuk Rumah Tuhan Muara Beringin.


BA, 9/10/2017
Gordi 





Powered by Blogger.