foto oleh sks_sts |
Saya tidak tahu, apa maksudnya dia berbuat
demikian. Mungkin dia melihat saya seperti orang asing. Tetapi justru
setelahnya kami bisa bercerita dengan akrab. Lama sekali saya tinggal dalam
keadaan bingung dengan kebiasaan seperti ini. Beberapa teman cewek Muslim
melakukan hal yang sama. Saya merasa tidak enak bila keadaan semacam ini
berlangsung lama. Sampai suatu waktu saya meminta izin kepada seorang teman
untuk menjelaskan hal ini. Dia mengatakan bahwa memang seperti itulah keadaan
biasanya. Maksudnya, teman cewek Muslim tidak boleh atau mungkin tidak
diperkenankan untuk berjabatan tangan dengan teman cowok yang bukan muhrimnya.
Dari penjelasan ini,
saya bisa memahami perilaku teman-teman saya ini. Tetapi ternyata ini tidak
berlaku umum. Ada juga teman cewek Muslim yang menerima jabatan tangan saya
ketika bertemu. Semula, saya hanya menganggukkan kepala tetapi ternyata mereka
mengizinkan untuk berjabatan tangan. Makin bingung lagi saya. Menurut seorang
teman, peraturan ini tidak berlaku mutlak. Sehingga, dia sendiri
bisa dan boleh menerima jabatan tangan pria yang dikenalnya baik.
Ini hanya kejutan awal
bagi saya dalam menjalin relasi dengan teman-teman berbeda agama. Ada lagi
peristiwa yang membuat saya hanya mampu mendengar saja sambil mencoba memahami
apa yang ada dalam pikirannya. Seorang teman mengunjungi blog saya dan membaca
tulisan di sana. Dia tertarik dengan pengalaman saya. Lalu dia menghubungi saya
melalui email yang tertera di sana. Dari situ komunikasi kami lancar. Dia pun
bertanya banyak hal. Saya menjelaskan semua yang ia tanyakan. Sebagian tentu
saya tidak bisa jawab. Jika saya tidak tahu saya akan mengatakan
dengan terus terang, tidak tahu. Daripada saya membuat jawaban baru yang saya
karang sendiri alias berbohong, lebih baik mengatakan dengan jujur.
Pada saat yang sama, saya juga bertanya
banyak hal tentang agama Islam. Lumayan dapat pengetahuan baru, gratis lagi.
Saya memang gemar bertanya kepada teman-teman Muslim yang bisa diajak
berdiskusi. Ada banyak yang sampai sekarang masih bertukar informasi dengan
saya. Kami menghargai perbedaan yang ada sehingga kami tidak mudah jatuh dalam
godaan menuduh tanpa tahu masalah nyatanya seperti apa.
Suatu ketika, saya kaget ketika teman
Muslim (2 orang) mengatakan dengan terus terang, Aku Mau Kamu Jadi Muslim. Saya
mendengar saja waktu itu karena kebetulan dia sedang bercerita. Lalu, saya
bertanya kepadanya, mengapa kamu berkata demikian. Ia menjawab, saya cocok
menjadi Muslim. Jawaban singkat ini membuat saya terus mencari kesempatan untuk
bertanya lebih lanjut padanya. Apa benar saya cocok jadi Muslim? Saya ini
Katolik sejak kecil, kok tiba-tiba cocok jadi Muslim.
Rupanya dia menganggap Muslim sebagai
agama yang menawarkan nilai-nilai kebaikan sehingga dia ingin agar saya
mengetahui nilai-nilai seperti itu. Saya menyanggah dengan kata-kata yang sopan
bahwa saya tidak mesti menjadi Muslim untuk mengetahui nilai-nilai itu. Dia
tetap berpegang pada kata-katanya bahwa dia mau agar saya jadi Muslim. Saya
hanya mengucapkan terima kasih sambil menjelaskan bahwa, kalau Tuhan
menghendaki, suatu saat saya akan menjadi Muslim.
Mungkin dia masih menunggu, kapan
kata-kata saya itu menjadi nyata. Buktinya sampai sekarang saya belum menjadi
Muslim. Saya hanya merefleksikan bahwa, masih ada umat beragama yang memandang
ajaran agamanya sebagai nilai-nilai yang baik, yang pantas ditawarkan kepada
orang lain. Agama masih menjadi sumber nilai yang baik bagi hidup manusia.
Tidak salah dia
menawarkan nilai itu kepada saya sampai-sampai dia mau supaya saya jadi Muslim.
Saya menyambutnya dengan senang hati. Tetapi saya mengharapkan agar dia
menghormati keputusan saya jika saya memutuskan untuk tidak menjadi Muslim.
Hormat terhadap umat beragama lain menjadi semakin besar jika ada banyak orang
yang berpikiran seperti ini. Kami pun sampai sekarang masih menghormati
nilai-nilai agama lain.
Saya mengimpikan juga
bahwa nilai-nilai Katolik yang baik juga bisa ditawarkan kepada setiap orang.
Tawaran ini dilandaskan pada keyakinan bahwa nilai ini baik pada dirinya
sendiri. Maka, pantas dibagikan. Persoalan muncul ketika nilai itu ditawarkan
dengan cara kekerasan. Di sinilah citra agama menjadi buruk. Agama pada dirinya
sendiri baik, yang keliru adalah orang yang menafsirkan nilai agama itu sesuka
hatinya. Fundamentalisme boleh jadi berakar dalam cara pandang seperti ini.
Terima kasih untuk
teman-teman diskusi saya yang memberikan pemahaman baru tentang relasi antara
umat beragama di Indonesia. Semoga dengan tulisan ini semakin banyak orang
terbuka pikirannya. Bahwa menawarkan nilai sebuah agama itu baik. Yang tidak
baik adalah menawarkan dengan kekerasan atau juga memaksa orang untuk masuk
dalam agama kita sendiri.
CPR, 4/5/2012
Gordi Afri
*Dimuat di blogkompasiana pada 4/5/12
Post a Comment