Halloween party ideas 2015



Beberapa waktu lalu, saya dicegat oleh seorang remaja. Dia mau menanyakan perihal pakaian berwarna Ungu yang dikenakan oleh pastor saat memimpin misa. Pertemuan yang adalah sebuah kebetulan. Kebetulan dia lewat dan bertemu saya. Lalu, dia menodong saya untuk memenuhi keingintahuannya akan arti warna Ungu yang dikenakan pastor itu. Peristiwa ini membuat saya untuk peka dengan perkembangan yang terjadi di sekitar saya. Remaja ini begitu tanggap melihat peristiwa di sekitarnya. Dia datang ke gereja lalu melihat hal yang baru yakni pakaian berwarna Ungu. Hari-hari Minggu sebelumnya dia datang ke gereja dan seperti biasa dia melihat sang gembala mengenakan pakaian berwarna Hijau. Perubahan pada pola berpakaian sang gembala ternyata tak luput dari perhatian para pemerhatinya. Mungkin remaja ini kurang mendengarkan penjelasan sang gembala perihal perubahan pakaian yang dia gunakan dalam misa. Biasanya, sang gembala memberi penjelasan tentang makna pakaian itu atau sekurang-kurangnya mengapa dia mengenakan pakaian berwarna itu.
Menurut buku yang saya baca, warna Ungu dalam pakaian pastor itu mempunyai tiga arti yakni prihatin, matiraga, dan tobat. Warna ini dikenakan pada masa adven. Ya, adven yang berasal dari kata bahasa Latin, adventus yang artinya kedatangan. Kedatangan Dia yang adalah Tuhan kita Yesus Kristus. Menunggu kedatangan seseorang mengandaikan bahwa sebelumnya ada kerinduan. Kalau saya merindukan orangtua saya berarti saya mempunyai harapan bahwa ada saatnya nanti saya bertemu orangtua saya. Saya menunggu waktu yang tepat yakni pada masa liburan. Dalam kerinduan kita berharap dan sambil berharap kita mempersiapkan hati kita untuk menerima Dia (dan dia/mereka) yang kita tunggu. Menerima Dia dengan hati yang bersih akan lebih berguna daripada menerima Dia dengan hati yang kotor. Kotor karena kita kurang menggunakan waktu penantian untuk memebersihkan hati kita. Orang-orang di kampung membersihkan segala penjuru kampung sebelum pak camat datang mengunjungi kampung mereka. Pemerintah Indonesia bersama masyarakat Jakarta mempersiapkan segala sesuatu—termasuk menyingkirkan hewan korban dari jalur-jalur utama—sebelum kedatangan Obama. Sudah sepantasnya memang kita menyiapkan hati yang bersih untuk menerima Dia, menerima siapa saja yang datang ke hadapan kita.
Saya kira remaja yang bertanya tadi sudah siap menerima Dia. Keberaniannya mencegat saya untuk bertanya merupakan sebuah kesiapan. Siap kalau terjadi apa-apa. Sebab, ada hal baru yang ia temukan. Kita ingat saudara/i kita di Mentawai, Yogya, dan warga sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur yang setiap saat selalu siap. Mereka siap-siaga kalau-kalau terjadi bencana alam, tsunami, tanah longsor, semburan lahar, dll. Kita mestinya selalu siap setiap saat demi menghadapi peristiwa luar biasa. Gereja Katolik mempunyai tradisi tua—sejak abad-abad pertama sejarah Gereja—untuk mempersiapkan diri menyongsong kedatangan-Nya. Ini sebuah kesempatan berahmat yang seyogianya dimanfaatkan dengan bijaksana. Kalau masa ini dilewatkan begitu saja, kita akan menyesal nanti. Ibarat lima gadis cantik nan bodoh yang lupa menyiapkan pelita saat mempelai tiba. Bayangkan kalau kita baru sadar bahwa kita lupa membawa cangkul ketika kita berdiri di atas ladang kita. Bayangkan kalau kita lupa membawa kartu izin mengikuti ujian saat memulai ujian. Bayangkan kalau kita lupa membawa handuk ketika kita sudah basah dengan air di kamar mandi. Semuanya akan kacau-balau. Betapa ruginya kita kalau sudah diberi waktu untuk bersiap-siap tetapi hasilnya justru kosong. Rugi dan malu (kalau masih bisa merasa malu) kalau kita tidak ada bedanya sebelum memasuki masa adven dan saat mengakhiri masa adven yakni saat Dia telah hadir di hadapan kita.
Kita tidak boleh lupa untuk tetap prihatin dengan saudara/i kita di Mentawai, Wasior, Yogya, dan Jawa Timur. Kita mengisi masa penantian ini dengan sedikit rasa prihatin. Dari rasa prihatin tumbuh niat untuk membantu mereka yang kondisinya agak prihatin. Dengan demikian kita tidak lagi berhenti pada rasa prihatin saja tetapi memberikan hati untuk mereka. Kita harus bisa keluar dari kemapanan kita dan keluar untuk menemui mereka yang mengalami situasi baru. Kita perlu untuk peka dengan kondisi mereka. Mari kita mengikuti jejak sang remaja tadi yang berani keluar dari rasa herannya dan mencari jawaban. Mari kita keluar dari rasa prihatin kita dan menemukan obyek yang kita prihatinkan.
Jakarta, 3 Desember 2010
Gordy Afri



Sejak adanya kehidupan di bumi ini, manusia tidak pernah hidup sendiri. Manusia mesti hidup dengan manusia lain. Adam dalam kisah, hidup dengan Hawa. Sang Pencipta tahu betul Adam tak bisa hidup sendiri. Manusia—siapa pun dia—selalu membutuhkan manusia lainnya. Bahkan ketika manusia mendekam di penjara pun, ia tetap membutuhkan sesamanya. Seorang teman di penjara beberapa waktu lalu berujar, “Meski tinggal di penjara, saya tetap berkomunikasi dengan keluarga.” Ini menadakan bahwa manusia membutuhkan manusia lainnya. Dengan demikian, salah satu kebutuhan dasar manusia adalah hidup dengan manusia lain.


Hidup bersama mengandaikan bahwa (semua) kebutuhan dasar terpenuhi. Minimal kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Manusia mau tak mau mesti memenuhi kebutuhan ini. Dalam satu kelompok sosial, kebutuhan ini menjadi tanggung jawab semua anggota kelompok. Semuanya berjuang untuk memenuhi tri kebutuhan dasar itu. Dalam perjuangan itu ada jatuh-bangun. Di sinilah peran anggota kelompok. Yang lemah dikuatkan oleh mereka yang masih mampu. Inilah solidaritas sosial.

Permasalahan muncul ketika anggota kelompok—dengan tahu dan mau—melupakan tanggung jawab untuk memperhatikan sesama. Munculnya penganggur misalnya merupakan muara dari kelupaan semua anggota kelompok akan tugasnya untuk memperhatikan sesama. Kita lihat para penganggur di negeri ini. Mereka adalah mereka yang terlupakan oleh kita semua. Mungkin ada yang berujar, “Kalau mau makan mesti bekerja dulu.” Saya kira ujaran semacam ini wajar dan sah-sah saja. Tetapi, cukupkah sampai di situ? Bagaimana dengan mereka yang tidak mempunyai pekerjaan? Persoalan dasarnya belum disentuh. Yang mesti dilakukan terlebih dahulu adalah memberi mereka pekerjaan. Maka ujaran berikutnya mesti berbunyi, “Seberapa besar sumbangan saya untuk menciptakan lapangan kerja di negeri ini?”

Menurut hemat saya, ini yang kadang-kadang dilupakan oleh penduduk negeri ini. Mental masyarakat kita masih banyak yang seperti mi instant. Dipanaskan beberapa menit saja langsung bisa dinikmati. Kebanyakan dari kita hanya mau bekerja di lapangan yang sudah ada tanpa menciptakan lapangan baru. Lebih parah lagi kalau kebanyakan dari kita tidak mau bekerja. Padahal untuk menciptakan lapangan perlu kerja keras. Ini yang justru sering dihindari oleh masyarakat kita. Banyak penganggur (orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap) datang ke Jakarta menjadi lebih menderita. Mungkin mereka mengira di Jakarta ini ada banyak lapangan kerja. Kalau pun ada, pekerjanya mesti berijazah atau berkemampuan tertentu. Apakah penganggur kita mampu memenuhi tuntutan para pemilik lapangan kerja di ibu kota? Lagi-lagi kalau tidak punya, kita tetap menjadi penganggur. Padahal jauh di daerah sana, mental pekerja keras itu tumbuh. Masyarakat daerah kita memiliki mental perkerja ulet dan pantang mundur. Tantangan bukanlah penghalang tetapi peluang untuk maju. Maukah penganggur kembali membangun lapangan kerja baru di daerah masing-masing? Lagi-lagi perlu mental pekerja keras bukan mental mi instant.

Banyaknya ekspor TKI keluar negeri adalah bukti nyata gagalnya usaha kita bersama untuk bertanggung jawab atas kehidupan sesama manusia. Bangsa Indonesia dan masyarakat Indonesia gagal dalam menjamin kesejahteraan bersama. Lebih parah lagi ketika kita gagal menyelamatkan Sumiati, asal Dompu, NTB dari ancaman kematian di negeri orang. Menurut hemat saya, kepergian Sumiati mesti menjadi bahan refleksi kita bersama. Bagaimana pun masing-masing dari kita mempunyai tanggung jawab moral untuk memperhatikan sesama kita. Maka beberapa pertanyaan pantas diajukan. Sejauh mana kita memperhatikan seama kita? Apakah kita terjerat dalam bahaya keangkuhan sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi manusia lain untuk menikmati kesejahteraan dalam negeri ini? Begitu egoiskah kita sehinga lupa dan menutup mata terhadap penderitaan orang lain? Ada banyak penganggur, ada banyak penderita karena bencana alam di Wasior, Mentawai, dan Yogya, ada banyak pasien di rumah sakit, ada banyak pengemis di jalan, ada banyak TKI yang telantar di dalam dan luar negeri, ada banyak perempuan yang dijual begitu saja seperti barang jualan, ada banyak penderita lainnya.

Abad yang lalu, seorang filsuf Yahudi, Emanuel Levinas (1906-1955) mengatakan bahwa “Yang lain bagiku adalah penampakan (epifani). Yang lain membuatku merasa terpanggil untuk berbuat baik.” Pertanyaan untuk kita, apakah Sumiati membuat kita merasa terpanggil untuk berbuat baik? Tentu berbuat baik kepada sesama manusia. Semoga kita mampu menyelamatkan Sumiati-sumiati yang lain, semoga tidak ada lagi Sumiati-sumiati yang lain. Jangan lupa kita semua mempunyai tanggung jawab moral untuk menyelamatkan Sumiati-sumiati yang lain dan juga yang mungkin menjadi Sumiati-sumiati yang lain.


Jakarta, 27 November 2010
Gordy Afri


Hari Minggu ini (21 Nov.), kita merayakan pesta Raja Semesta Alam. Raja itu adalah Yesus. Seorang raja adalah seorang yang memiliki kuasa. Yesus memiliki kuasa. Kuasa atas seluruh jagat raya, seluruh alam semesta. Meski demikian, tampaknya Yesus agak aneh. Betulkah Yesus aneh? Sangat aneh kalau kita melihatnya dari kacamata manusiawi belaka. Bagaimana mungkin seorang raja disalibkan? Di mana kuasanya? Bukankah hanya penjahat kelas kakap (mungkin juga kelas teri) yang wajar disalibkan? Bukankah para koruptor saja yang menerima hukuman sesadis penyaliban iu?

Yesus mungkin keliru kalau kita hanya melihatnya dari sisi manusiawi saja. Ada dua pilihan bagi Yesus ketika Ia berada (digantung) di salib. Pertama, Ia turun dari salib supaya selamat. Kedua, Ia tetap tergantung di salib, menderita, dan meninggal. Berhadapan dengan pilihan ini, manusia (saya dan Anda) mungkin cenderung memilih yang pertama. Bisikan manusia bergema, “Turun saja dari salib, mumpung saya punya kuasa untuk menyelamatkan diri.” Mengapa harus menderita kalau memang ada kesempatan untuk membebaskan diri sendiri? Lagi pula, pilihan pertama risikonya kecil dibandingkan kedua (nyawa melayang). Lalu, mengapa Yesus memilih yang kedua? Mungkinkah Yesus keliru? Bukankah pengandaian moral mengatakan pilihlah pilihan yang risikonya kecil dari semua pilihan yang ada.

Teman-teman, Yesus memilih yang kedua karena Ia sadar akan keberadaan dirinya. Dia sadar dan tahu, Dia adalah utusan Bapa. Dia memilih pilihan yang kedua karena Ia ingin mewujudkan kehendak Bapa yakni menjadi Penyelamat. Konsekuensi dari pilihan menjadi Penyelamat adalah menanggung penderitaan. Yesus bisa saja turun dari salib dan dengan kuasa-Nya mengelak dari penderitaan itu. Tetapi, Yesus diutus bukan untuk itu. Ia tidak mau menyelamatkan hanya dirinya sendiri (turun dari salib) karena Ia mau menyelamatkan semua orang. Inilah yang Ia tunjukkan kepada banyak orang ketika berada di salib. Kesaksian Yesus untuk bertahan di salib akan membuat banyak orang membuka diri. Pemimpin pasukan saja bisa membuka diri melihat Yesus di salib, “Sungguh orang ini adalah orang benar.” Mampukah kita menjadi seperti pemimpin pasukan ini?

Kacamata manusiawi kita mungkin melihatnya dari sudut lain. Kacamata saya dan Anda melihat seperti kacamata seorang penjahat di samping Yesus. Kalau memang mempunyai kuasa mengapa Ia tidak menyelamatkan dirinya? Kehendak Bapa bukanlah untuk itu. Kita bisa saja menghendaki seperti kehendak penjahat itu tetapi Bapa menghendaki yang lain. Bapa justru menghendaki yang sebaliknya, Yesus menjadi Penyelamat bagi semua orang. Menurut hemat saya, peristiwa salib ini menjadi batu pijakan yang kuat bagi saya dan Anda dalam hal apa saja. Bapa sudah tahu apa yang hendak Ia berikan kepada kita yakni apa yang perlu kita butuhkan. Maka, jangan memaksakan kehendak kita kepada-Nya. Misalnya dalam doa. Sebaiknya saya dan Anda jangan meminta apa yang kita inginkan sebab Bapa sudah tahu apa yang kita butuhkan. Yang kita butuhkan adalah apa yang sungguh-sungguh kita perlukan. Itu yang Bapa berikan kepada kita. Belajarlah dari pengemis yang meminta “supaya bisa melihat” dan bukan meminta supaya diberikan uang. Pengemis itu tahu, “melihat” adalah hal yang perlu bagi dia ketimbang “uang” yang gampang diperoleh dengan meminta-minta. Maka, Yesus sama sekali TIDAK KELIRU. Kacamata manusia (saya dan Anda) mungkin keliru tetapi kacamata Yesus sama sekali TIDAK KELIRU.

Teman-teman, begitulah cara Yesus mencintai kita. Dia berkorban, nyawanya habis di salib. Apakah kita mau dan terlibat aktif berkorban demi korban bencana Wasior, Merapai, dan Mentawai? Mencintai sesama berarti “siap berkorban”. Itulah hakikat cinta kasih Kristiani. Semoga…
Jakarta, 19 November 2010

Gordy Afri
Powered by Blogger.