Halloween party ideas 2015



Judul : Ketika Burung-burung Berhenti Berdoa
Penulis: Anthony Harton
Penerbit: Fidei Press, Jakarta, 2006
Tebal: viii +97 halaman

Hidup doa merupakan tema yang tak akan habis dibahas. Ketika kita mencoba mendefinisikan doa dengan sebuah batasan tertentu muncul definisi lain yang menandingi atau melengkapinya. Ini berarti bahwa hidup doa itu sendiri mempunyai kekayaan spiritual yang mesti dicari terus menerus. Pertanyaan mendasarnya adalah untuk apa (sebenarnya) kita berdoa?

Mendengar kata “doa” bayangan kita langsung tertuju pada Dia di seberang sana. Ada yang menyebutnya Tuhan, Dewi/a, Guru, dan sebagainya. Intinya kita membayangkan relasi manusia dengan Dia yang menciptakan manusia dan mempunyai kekuatan yang tak sebanding dengan manusia. Dalam relasi itu terjadi komunikasi. Agar relasi itu kuat kita mesti (perlu) berdoa. Sebab, “Berdoa perlu dan penting karena dengan doa kita menjalin komunikasi dengan Tuhan” (hlm. vii).

Buku KETIKA BURUNG-BURUNG BERHENTI BERDOA bukan buku petunjuk praktis bagaimana berdoa. Meskipun mesti diakui pula bahwa dengan membaca buku ini pola doa kita bisa saja berubah. Penulis buku ini menjadikan karyanya sebagai “bahan renungan, media pengingat, reminder tentang hal-hal yang mestinya kita lakukan, dan juga hal-hal yang sudah kita kerjakan agar hasilnya lebih baik lagi bagi siapa saja yang berada di sekeliling kita” (hlm. vii).

Ada banyak buku tentang petunjuk praktis berdoa. Namun, kita tentu saja tidak puas dengan satu cara berdoa. Kita ingin mencari cara yang cocok untuk kita. Kecocokan ini pun dinamis. Kadang cara A cocok ketika kita berdoa di tempat A dan belum tentu di tempat B. Singkatnya kecocokan itu tergantung situasi dan tempat kita berdoa.

Menurut pembacaan saya atas buku ini, penulis buku membagi dua kelompok orang berdoa. Kelompok pertama menganggap doa sebagai kegiatan ala kadarnya karena merupakan rutinitas belaka. Sementara kelompok kedua menganggap doa sebagai sebuah kebutuhan dan sebagai bentuk ungkapan syukur dan hormat pada Tuhan (Bdk. Hlm vii).  Keduanya melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari. Yang terpenting—menurut hemat saya—adalah tindak lanjut dari doa kita. Di situ dengan mudah kita bisa lihat keseriusan orang berdoa. Penulis buku ini melukiskan dengan tepat tentang hal ini. “Di samping berdoa, kita juga harus tetap berkarya, bertindak praktis dan tepat terutama pada saat-saat penting” (hlm. vii).

Buku ini mempunyai kelebihan yang berguna bagi pembaca yakni kisah-kisahnya (ada 36 kisah) menarik dan mudah dicerna. Kisah-kisah yang diangkat dari kehidupan sehari-hari. Simak saja kisah nomor 7 Sepiring Teh Panas dan 22 Aku Ingin Mengubah Dunia. Cerita nomor 7 menggambarkan hati manusia bagai sebuah piring yang berisi teh panas. Teh panas menggambarkan masalah yang dihadapi manusia. Teh itu baru bisa diminum ketika dingin karena berada di piring ketimbang di gelas. Sementara cerita nomor 22 berisi nasihat untuk mengubah diri sebelum mengubah dunia. Ini sebuah unsur baru yang ditampilkan buku ini.

Selain itu, pada akhir kisah, penulis mencantumkan kutipan berisi nasihat atau inti kisah. Ada yang ditulis sendiri oleh penulis buku (misalnya kisah nomor 1,4, dan 5) dan ada pula yang diambil dari kebijaksanaa Zen, (misalnya kisah nomor 2,18, dan 27), kata-kata bijak tokoh tertentu (Robert Kenedy, Douglas Mallock, keduanya dikisahkan dalam bagian kisah nomor 8) atau dari cerita rakyat (CR Jepang pada kisah nomor 10 dan sebuah kisah dari Filipina pada nomor 36 ). Nasihat-nasihat bijak ini membanty pembaca memahami makna sebuah pengalaman dan kisah.

Buku yang ditulis dengan kosa kata yang mudah dimengeri dan didesain dengan lukisan menarik pada bagian luar ini menjadi lebih lengkap jika semua kisah diakhiri dengan kutipan berupa nasihat atau inti kisah. Entah mengapa, penulis tidak mencantumkan nasihat di akhir beberapa kisah. Misalnya kisah nomor 12 (?),13,15,23,29,31,32,33,34. Mungkin penulis mempunyai alasan tertentu yang tidak dicantumkan dalam buku ini.

Selain itu, judul buku tampaknya belum diterangkan kepada pembaca. Judul itu rupanya dibuat sendiri tanpa ada kaitan langsung dengan judul 36 kisah di dalamnya. Tak satu pun dari 36 kisah yang memberi judul KETIKA BURUNG-BURUNG BERHENTI BERDOA. Ada satu kisah yang mirip yakni KETIKA AKU BERHENTI BERDOA, kisah nomor 17. Mungkin kata “Burung-burung” mau menggani kata “Aku”(?).

Kekurangan lain yang kiranya perlu diperhatikan pada cetakan atau edisi berikutnya yakni susunan daftar isi. Susunan yang sesuai hanya pada kisah nomor 1 sampai11. Dalam kisah selanjutnya mulai ada kekeliruan. Misalnya kisah nomor 12 dan 13 ditulis berada di halaman 26 dan 28 padahal keduanya berada di halaman 27 dan 29.

Namun, ini hanya hal teknis yang tidak mengurangi mutu isi buku. Buku ini cocok dibaca oleh siapa saja yang ingin memperkaya pengalaman tentang hidup doa dan menyegarkan kisah-kisah harian. Buku ini bisa menjadi inspirasi dan menjiwai setiap aktivitas kita dengan doa.

Cempaka Putih, 17 April 2011
Gordy Afri


“Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!”
Judul Opini Kompas, 8 April 2011.

Pengajaran Gambar google images
Judul opini yang ditulis Yudhistira ANM Massardi ini mengundang untuk ditelusuri lebih lanjut. Secara kasat mata, judul ini menurunkan gairah para pencari ilmu. Bayangkan jika anak SD, SMP, dan SMA mengerti betul apa arti judul tulisan ini.  Sebuah kalimat perintah untuk berhenti bersekolah. Atau juga, sebuah ajakan. Kalau begitu, sia-sialah anak-anak mengenyam pendidikan di sekolah.

Yudhistira ANM Massardi menulis demikian, ”Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai—katakanlah hingga dua dekade ke depan—yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur.” Jika demikian, betapa malang nasib anak didik yang menjadi tenaga kerja industri dan tenaga kerja bermental pegawai. Mereka akan jadi penganggur.

Sastrawan dan Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi ini mempunyai data jumlah penganggur dan siswa putus sekolah. Sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana menganggur. Siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA yang tercatat sejak 2002, berjumlah rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun. Jika seperti ini yang terjadi, negeri ini sebenarnya dipenuhi penganggur. Siapkah para siswi/a dan mahasiswi/a menghadapi tantangan ini?

Saya tertarik melihat beberapa penjual makanan yang membagikan karya mereka saat acara “Malam Budaya” di kampus dua malam lalu. Dengan ramah mereka melayani kami. Mereka adalah “orang kecil” namun pekerjaan mereka berguna bagi “orang besar”. Mereka mungkin tidak sempat mengenyam pendidikan seperti kami, para mahasiswi/a yang setiap hari bergelut dengan ilmu. Namun, mereka bisa “mengisi perut” dari hasil jualan mereka. Dengan kata lain, mereka adalah orang sukses.

Fakta sekarang memang berubah dari anggapan sebelumnya bahwa “bersekolah dulu supaya mendapat pekerjaan yang bagus”.  Ada orang sukses yang tidak melalui pendidikan di sekolah formal. Sebaliknya, ada penganggur yang lulusan diploma atau sarjana. Kalau demikian “Untuk apa kita sekolah?”

Sebuah “survei” di situs yahoo menguraiakan pertanyaan “Untuk apa kita pergi ke sekolah setiap hari walau sekolah tidak menjamin hidup baik?” Salah satu jawaban pembaca situs ini demikian “Sekolah bukan untuk menjamin hidup baik, tetapi dengan bersekolah kita bisa berpola pikir lebih dewasa dan berperilaku yg baik. Selain itu kita juga belajar untuk bergaul, bersosialisasi, semakin banyak teman, semakin besar peluang untuk hidup lebih baik karena dengan berteman dan bersosialisasi bisa mendatangkan kesempatan pekerjaan....”
               

Jawaban di atas bisa menjadi pijakan bagi kaum didik. Sekolah bukan menjamin hidup baik. Fakta di atas tadi bahwa ada diploma dan sarjana yang menganggur. Meskipun ada juga yang mendapat pekerjaan yang layak. Sekolah memang bagai dua sisi mata uang ketika dikaitkan dengan peluang hidup baik. Dengan bersekolah, peluang masa depan lebih baik terjamin sekaligus tidak terjamin.
               
Namun, sekolah menjadi “tempat didik” untuk berpola pikir lebih dewasa dan berperilaku baik. Di sekolah, dua sikap ini ditempa habis-habisan. Beruntunglah mereka yang betul-betul memanfaatkan kesempatan ini. Selain itu, sekolah juga menjadi “tempat didik” bersosialisasi, bergaul dengan banyak teman yang multikarakter.

Trilogi bermasyarakat
“Pola pikir”, “Pola laku”, dan ”Pola gaul” menjadi tiga hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang pola pikirnya bagus akan dihormati. Orang yang pola lakunya bagus akan dihargai. Dan, orang yang pola gaulnya bagus akan disenangi. Ketiganya menjamin seseorang mendapat banyak teman. Banyak teman/sahabat/kenalan menjamin banyak peluang untuk mendapat pekerjaan.
               
interasksi dalam proses pengajaran
Anggapan “orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai” kiranya kurang bagus. Pendidikan (sekolah) hanyalah “tempat didik” dan bukan berorientasi mencetak tenaga kerja. Persoalan akan menjadi tenaga kerja atau tidak di kemudian hari bukanlah tugas sekolah.
               
Sekolah mempunyai efek tidak langsung dalam membentuk kepribadian tenaga kerja. Jika tiga aspek di atas melekat dalam diri seorang anak didik maka dia akan menjadi tenaga kerja berkualitas. Jika tidak menjadi tenaga kerja, dia tetaplah seorang manusia yang berkualitas di tengah masyarakat.
               
Yudhistira ANM Massardi di akhir tulisannya menyebut dua kata kunci “kreativitas” dan “imajinasi”. Orang yang kreatif amat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai persoalan. Kreatif menyelesaikan sebuah tugas berarti menjadikan tugas tersebut sebagai sesuatu yang berguna, baru, dan dapat dimengerti. Sebab, “Kreativitas adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya baru, inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh, mengejutkan, berguna (useful), lebih enak, lebih praktis, mempermudah, memperlancar,……” (A.M. Mangunhardjana, 1992, Mengembangkan Kreativitas, hlm. 11).  

Pribadi imajinatif mempunyai orientasi dalam bekerja. Pekerjaan tidak hanya dinilai “sekarang” tetapi juga dampaknya bagi “masa mendatang”. Benar apa yang dikatakan Yudhistira ANM Massardi bahwa dua hal ini belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun.

Akhirnya kita sekolah bukan melulu menjadi tenaga kerja guna kepentingan industri dan bermentalitas pegawai. Kita sekolah untuk hidup dan bukan hidup untuk sekolah. Sekolah untuk hidup berarti kita sekolah untuk mengerti hidup ini. Hidup untuk sekolah berarti seluruh hidup kita dihabiskan untuk sekolah. Kalau seperti ini, kapan kerjanya?? Non Scholae Sed Vitae Discimus. Pepatah Latin yang artinya kita belajar untuk hidup dan bukan demi sekolah, bukan demi kepentingan industri, dan tenaga kerja bermental pegawai.  

Cempaka Putih 11 April 2011
Gordy Afri

Orang buta disembuhkan
Bayangkan orang buta sejak lahir. Dia tak pernah melihat indahnya dunia ini. Dia tidak tahu berbagai jenis warna. Banyak hal lain yang ia tidak tahu.

Orang buta masuk dalam golongan orang cacat fisik. Pembagian ini dilakukan oleh orang normal. Orang normal dalam hal ini adalah orang yang bisa melihat (lawan dari orang buta). Andai dunia ini didominasi orang buta, bukan tidak mungkin orang yang bisa melihat dianggap cacat.

Namun, jangan harap itu terjadi. Kecil kemungkinan. Orang buta memang dicap “cacat fisik” begitu saja oleh orang normal. Dari sudut orang normal, ia cacat fisik. Andai dia hanya tinggal dengan sesama orang buta, mungkin ia tidak digolongkan cacat.

Konon, orang Yahudi menganggap buta sebagai penyakit. Penyakit kutukan dari Allah. Apakah Allah mengutuk? Manusia yang buta—apalagi sejak lahir—diyakini sebagai korban dosa. Kalau seorang anak buta besar kemungkinan orang tua atau anggota keluarganya berdosa. Tak heran ketika melihat orang buta di pinggir jalan muncul pertanyaan “Siapakah yang berdosa, orang buta ini atau orang tuanya?”. *Semua gambar dari google images

Orang buta kerapkali disingkirkan dari masyarakat. Alasan kuat penyingkiran ini adalah merepotkan. Tak jarang banyak dijumpai orang buta di panti-panti. Penulis pernah tinggal dengan orang buta di salah satu panti asuhan di pinggiran kota Yogyakarta.

Syukur kalau orang buta dititipkan di panti. Masih ada orang yang memerhatikannya. Kalau tidak, betapa besar penderitaannya. Betapa ia disingkirkan jauh-jauh dari pergaulan sosial.

Ada beberapa orang buta yang penulis jumpai di panti itu. Beberapa dari mereka masih dikunjungi oleh keluarganya. Beberapa lagi tak pernah dikunjungi. Repot. Pihak panti bisa kewalahan kalau terjadi apa-apa.

Memang merepotkan tinggal dengan orang buta. Namun, apakah dia mesti disingkirkan? Bentuk penyinkiran itu serupa dengan anggapan orang Yahudi. Orang buta adalah orang berpenyakit maka disingkirkan. Kalau sekarang kita masih berpikir demikian maka kita tak ada bedanya dengan orang Yahudi zaman dulu. Maka, kita termasuk orang zadul dalam konteks ini.

Merawat orang buta tidaklah muda. Kata kuncinya adalah sabar dan setia. Penulis merasa takut melihat orang buta pertama kali. Selain karena beda, dia juga tidak bisa melihat. Menyuap nasi saja susah. Sendok yang dimasukkan ke mulutnya bisa saja meleset sehingga mengenai bagian hidung atau leher. Lagi-lagi di sini perlu kesabaran dan kesetiaan.

Orang buta bisa berinternet
Pelan-pelan tinggal dengan orang buta mengasyikkan. Penulis hanya tinggal sebulan dengan mereka. Ada beberapa teman di panti yang tinggal bertahun-tahun. Mereka kerasan, bisa tinggal lama. Meski ada beberapa yang tidak bisa tahan. Kalau dibimbing dengan baik, orang buta bisa mengikuti kelakuan orang normal. Di panti, orang buta bisa menjahit, mencuci piring, membersihkan kasurnya, dan sebagainya. Dia bisa bekerja karena dilatih.

Orang buta merepotkan tidak sepenuhnya benar. Buktinya ada  juga orang buta yang menghasilkan sesuatu. Ada yang bisa membuat kerajinan tangan dengan berbagai motif dari kain. Bahkan, di daerah Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ada orang buta yang menjadi penyanyi kondang. Daniel Anduk namanya. Dia menghidupi dirinya dengan “menjual suaranya”. Berbekal gitar dan suaranya, dia menghasilkan beberapa kaset tep recorder yang bisa dijual. Lagunya laris manis di kalangan masyarakat Manggarai sampai tahun 1990-an.

Bagaimanapun, orang buta sejak lahir adalah manusia yang harus dihormati. Cap “cacat fisik” hendaknya tidak menambah penyingkiran. Mereka bisa tinggal dengan orang normal. Mereka bisa menghasilakan sesuatu. Maka, mereka tidak sepenuhnya merepotkan. Di satu sisi ya, sebab mereka terbatas. Sama seperti orang normal juga terbatas. Peran orang lain dibutuhkan demi kehidupan bersama.

Tak salah jika dikatakan, “Karya Tuhan sungguh nyata melalui orang buta”. Karya orang buta kadang luar biasa. Orang bisa kagum mendengar suara orang buta. Kok bisa ya? Padahal dia tidak pernah bertemu gurunya untuk melatih nyanyi. Penulis yang bisa menyanyi tetapi tidak sehebat Daniel Anduk hanya bisa kagum.

Maka, buta sejak lahir bukanlah penyakit. Kalau dianggap penyakit, itu hanya karena ada yang mencapnya demikian. Semua manusia sama di hadapan Tuhan. Tidak ada yang diciptakan karena penyakit.
(Tulisan ini terinsipirasi oleh Kisah Penyembuhan orang buta dalam Injil Yoh 9:1-41).

Cempaka Putih, 3 April  2011
Gordy Afri

Powered by Blogger.