Halloween party ideas 2015


google images
Bagi sebagian orang menyebut hantu itu gampang sekali. Tak jarang ketika terjadi sesuatu, dengan gampang terlontar kata-kata “itu hantu”.

Biasanya hantu dikaitkan dengan tempat gelap. Sebagian orang di kampung saya dulu meyakini kalau hantu itu berkeliaran di tempat gelap. Sejak kecil juga, saya dikuasai keyakinan itu. Namun, sampai sekarang saya belum pernah melihat hantu. Seperti apa bentuknya, tidak jelas. Tak jarang bagi orang tertentu, hantu itu tidak ada.

Kelompok ini meyakini demikian karena belum pernah melihat hantu. Hantu tidak termanifestasi dalam bentuk fisik. Kalau demikian, dari mana orang mengatakan itu hantu? Bisa saja hal ini terkait dengan keadaan perasaan seseorang. Perasaan takut ketika berada di tempat gelap memicu seseorang untuk mengatakan itu hantu.

Hantu sampai di sini merupakan nama yang tidak jelas. Nama itu diciptakan begitu saja, tanpa ada wujudnya yang jelas. Hantu pada zaman dulu merupakan nama untuk kekuatan negatif,  semisal setan, jin, dan sebagainya. Bagi orang yang punya kekuatan untuk melihat kekuatan semacam ini, hantu itu ada. Mereka yakin ada hantu. Ini tentu tidak bisa diterima oleh mereka yang tidak bisa melihatnya. Dua kubu berbeda yang tidak bisa disamakan.

Seorang murid bisa menuduh gurunya hantu. Apalagi kalau dia tidak mengenal betul gurunya. Petrus yang sudah lama tinggal dengan gurunya (Yesus) pun belum mengenal betul gurunya itu. Dia bingung ketika guru itu menghampirinya. Lagi-lagi Petrus dikuasai perasaan takut. Takut terbawa arus laut. Perasaan ini yang membuatnya berteriak, “Itu hantu…”.

Bagi orang yang berada dalam kegelapan, teriakan itu hantu mudah saja. Meski tak jelas, mereka bisa berteriak. Jadi tuduhan itu hantu sebanrnya bisa muncul dari situasi kegelapan. Jangan-jangan kalau hati manusia gelap, teriakan itu juga muncul.

Bisa saja demikian. Ketika seseorang tak bisa lagi menerangi yang lain, yang lain akan tetap berada dalam gelap. Maka dia dan mereka tetap gelap. Dari sini bisa muncul teriakan itu hantu. Ketika kita berada dalam situasi terhimpit, di situ pun bisa muncul kegelapan.

Kalau sang guru itu benar-benar hantu, apa yang terjadi? Sang murid tak dikenali lagi. Demikian pun sebaliknya. Namun, sang guru tetap mengenal muridnya. Hanya saja murid lupa dengan gurunya.

Bagi orang yang masih mengenal sesamanya sebagai manusia, keadaan gelap itu akan menjauh. Dari perkenalan yang mendalam itulah lahir terang yang mengusir hantu. Maka, kalau dia benar-benar hantu, sinarilah dengan terang. Kelak teriakan itu akan berbunyi..”Itu saudara/iku…”

Saudara/I itu bukan hantu. Mereka manusia yang dikenal. Mereka mengenal aku. Kita saling kenal. Tak ada lasan untuk bermusuhan. Tak ada alasan untuk menuduh..  “Itu Hantu” meski datang godaan untuk menuduh demikian.

Cempaka Putih, 7 Agustus 2011
Gordi Afri



 


Siapa bilang Indonesia jaya?
Di ibu kotanya saja banyak terlihat penduduk miskin
Banyak pula pengemis jalanan, pengamen jalanan.

Sabar……
Siapa bilang Indonesia tak berdaya?
Pagi ini saya melihat banyak yang bangun pagi-pagi
Ada dua bapak yang sedang berbincang di depan masjid setelah selesai berdoa
Ada pengendara sepeda motor dengan muatan ayam yang siap dijual di pasar
Ada petugas satpam yang menanyakan tanda waktu ke saya
Ada pula teman-teman olahraga pagi

Dari sini saja sudah tahu Indonesia itu masih “hidup”
Dari pagi sudah berdoa
Belum terhitung yang siang, sore, malam
Entah di tempat ibadat atau bukan tempat ibadat
Berdoakan bisa di luar tempat ibadat
Kalau begitu mengapa rebut-ribut soal tempat ibadat yang ditutup
Atau tak dizinkan berdiri?
Kan bisa berdoa tanpa tempat ibadat

He….itu untuk ibadat bersama
Kalau berdoa pribadi bisa dilakukan di mana saja
Oh begitu..
Yah..kalau begitu kita dukung pendirian tempat ibadat
Yang berguna bagi umatnya
Bukan yang mubazir
Entah karena tidak digunakan
Atau karena kebanyakan

Indonesia masih hidup kok
Sejak pagi sudah ada yang berbisnis di pasar
Roda ekonomi mulai berputar
Lalu mengapa Indonesia tetap saja miskin?
Yahhh itu ma Indonesia secara keseluruhan
Masih ada sebagian orang Indonesia yang kaya
Memiliki banyak perusahaan dan pusat bisnis
Jangan salahh….
Mereka masuk nominasi orang terkaya di dunia

Oh begitu….
Tetapi mereka itu bukan kelompok yang bangun pagi-pagi
Dan menjalankan roda perekonomian
Mereka golongan bangsawan
Alias bangun kesiangan
Yang pagi-pagi memutar roda ekonomi adalah kaum kecil
Mereka berjuang demi hidup
Makanya ada pertanyaan..”pagi ini makan apa ya????”

Ya memang Indonesia masih hidup
Pagi-pagi sudah ada yang berolahraga
Tetapi kok prestasi Indonesia di bidang ini tidak memuaskan?
Yah…itu mah…salah urus..
Emang sich susah ngurus Negara besar seperti ini
Kalau untuk olahraga sendiri-sendiri sich bias
Bangun pagi saja sudah bisa olagraga
Nggak sulitkan ngurusnya?
Ya…. tak serumit ngurus PSSI
Tak serumit mengelola PBSI

Ahhh..sekian dulu
Tak penting ngomongin pengurus olahraga
Kan itu tidak selesai dengan ngomong doank
Mesti ada usaha
Makanya mari kita berusaha
Sekian dulu lari-lari paginya…

*Obrolan sebelum fajar terbit sambil lari-lari
** Semua gambar dari google images

Cempaka Putih, 30 Juli 2011
Gordi Afri


Akhir-akhir ini, para orang tua sibuk mengurus pendaftaran siswa/I baru (SD-SMA). Ada kebahagiaan bagi mereka karena anaknya nanti mendapat pendidikan. Namun, kebahagiaan itu dihadang oleh sulitnya akses ke sekolah. Kendala bermunculan. Masalah biaya, masalah nilai, dan sebagainya. Kebahagiaan seolah-olah redup di tengah sulitnya akses ke sekolah.

Kalau dipikir-pikir, agak aneh. Masuk sekolah kok mesti susah-susah. Untuk memperoleh ilmu kok repot amat. Kalau sekolah memang penting bagi perkembangan manusia mengapa mesti ada persyaratan yang rumit ke sana. Bukankah semuanya mesti diberi kelonggaran sehingga semua masyarakat bisa mengaksesnya. Tetapi kalau sekolah didirikan untuk kepentingan sekelompok orang, tidak perlu ada promosi kepada publik. Biarkan sekolah menjadi lembaga untuk golongan tertentu dan bukan lembaga yang melayani publik. Namun, semudah itukah membayangkan kondisi sekolah di negeri ini?

Di balik kata ‘sekolah’ tersimpan sejumlah hal yang terkait. Sekolah memang tempat untuk memperoleh ilmu yang diterjemahkan dengan bahasa mengajar, mendidik, membaca, menulis, dan sebagainya. Di balik itu ada sarana yang mesti dimiliki dan dipelihara demi kelancaran proses belajar-mengajar, demi pengembangan kemampuan akademik murid. Ada pendidik yang mesti dihidupi dengan diberi gaji secukupnya. Gaji itu untuk kehidupan keluarga dan pengembangan pengetahuannya. Ada petugas non-pegawai yang membantu memperlancar kegiatan di sekolah. Petugas ini diberi gaji untuk menghidupi keluarganya. Bekerja kan bukan saja untuk memenuhi kebutuhannya tetapi kebutuhan anggota keluarganya. Lalu??

Semuanya ini membutuhkan dana. Dana itu diperoleh dari mana? Dari orang tua tentu saja. Tetapi, orang tua murid beragam, dari yang kaya sampai yang miskin. Sekolah mesti jeli menjembatani keragaman kemampuan orang tua. Prinsipnya, jangan samapai kendala biaya mempersulit akses murid mendapatkan ilmu. Selain itu, pemerintah mesti memberi dana secukupnya untuk sekolah. Bagaimana pun, peran sekolah amat tinggi demi pengembangan akademik anak. Fasli Jalal, Wakil Mentri Pendidikan Nasional mengatakan pemerintah sudah menyediakan Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sekitar 70% dari kebutuhan sekolah. Oleh karena itu, tak ada pungutan apa pun dalam penerimaan siswa baru SD dan SMP (Kompas, 7 Juli 2011).

Kalau demikian, semestinya akses ke sekolah untuk SD dan SMP mudah. Dana sudah disediakan pemerintah. Kalau toh masih ada kesulitan dalam hal dana, berarti ada yang belum beres di situ. Maka, persoalannya mesti diselidiki dulu. Bisa saja dana itu tidak sampai di sekolah. Bisa saja kebutuhan sekolah lebih besar dari dana itu. Kalau masalah sulit akses karena kemampuan akademik, saya kira ini masalah yang dicari-cari. Bukankah sekolah mendidik murid supaya lebih pandai dan kreatif? Sekolah bukan mengajar dan mendidik murid yang pandai saja. Entah sekolah mengelompokkan murid sesuai kemampuan akademik, itu persoalan lain. Yang pertama adalah jangan menghalangi murid mengaskses pendidikan. *Semua gambar dari google images

Saya bukan seorang pendidik formal. Tulisan ini berangkat dari kaca mata seorang peminat pendidikan. Bisa saja yang terjadi di lapangan jauh dari yang ditulis. Namun, saya kira hal yang penting adalah jangan menghalangi anak mengakses pendidikan di sekolah formal. Sekolah itu milik rakyat bukan milik sekelompok orang. Kalau sekolah dijadikan lahan bisnis yang meraup untung, semestinya dipangkas. Itu melenceng dari tujuan didirikannya sebuah lembaga pendidikan. Apakah ini yang terjadi akhir-akhir ini dengan adanya pungutan biaya masuk sekolah? Mungkin saja.

Persolannya mesti diuraiakn dengan transparan. Sekolah tentu membutuhkan biaya operasional. Namun, kalau jumlahnya tidak bisa dijangkau rakyat miskin, itu bukan lembaga yang melayani kepentingan publik lagi. Dia berubah menjadi lembaga pemungut biaya. Kalau untuk masuk pendidikan dasar saja susah apalagi pendidikan berikutnya. Kalau anak SD-nya tidak memperoleh pendidikan semestinya, bagaimana nasib bangsa ini ke depannya?


Ada baiknya kata-kata Yudhistira ANM Massardi dicermati dengan baik. Dia sangat memperhatikan pendidikan dasar sebagai fondasi untuk membangun peradaban bangsa. Menurutnya, “Kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapangan. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia dini (Kompas, 8 April 2011) .” Dari yang kecil akan lahir yang besar. Jika anak sejak dini diberi pendidikan yang cuup, ke depannya anak tiu bisa berkembang dengan baik.

Cempaka Putih, 14 Juli 2011
Gordi Afri
Powered by Blogger.