Halloween party ideas 2015

Rabu, 18 Juli 2012. Malam ini turun hujan pertama di kota Yogyakarta. Saya baru beberapa hari di kota ini dan baru merasakan hujan pertama. Entah sebelumnya kapan hujan terakhir. Yang jelas tanah-tanah di kota ini masih kering. Debu di lapangan basket depan rumah makin banyak. Tanah kering karena kekurangan air hujan.

Hujan ini membawa berkat bagi kami di Yogyakarta. Berkat apakah itu? Paling tidak kami tidak perlu menyiram tanaman dan bunga-bunga kami. Air hujan sudah mencurahkan kesegaran kepada tanaman itu. Kami hanya berterima kasih kepada Tuhan sang pemberi hujan.

Kota Yogya sebentar lagi tampak hijau. Bunga-bunga mekar setelah menyerap air hujan. Debu-debu jalanan makin hilang. Jalan-jalan tampak bersih tanpa ditaburi debu yang mengotori lubang hidung.

Inilah berkat dari hujan pertama di kota ini. Tuhan sudah merencanakan semuanya.

PA, 19/7/2012
Gordi Afri


Kaum abal-abal. Siapakah kaum abal-abal? Arswendo, penulis novel ini mengangkat kehidupan kaum abal-abal. Boleh jadi mereka bukan siapa-siapa tetapi di tangan Arswendo, kehidupan mereka menjadi cerita menarik.

Kaum abal-abal menurut Arswendo adalah kaum miskin, tak berdaya, tukang ribut, susah diatur (hlm. 1). Novel ini mengisahkan kehidupan mereka ini. Kalau dibahasakan secara umum mereka ini adalah kaum lemah. Mereka lemah dari segi sosial. Tidak punya modal untuk bertahan dalam kehidupan sosial. Mereka ini tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Tak jarang mereka ditipu atau dipaksa mengaku palsu. Justru karena lemah mereka gampang diperdaya oleh oknum tertentu.

Inilah yang dikisahkan penulis novel ini. Bahasa yang digunakan Arswendo mudah dipahami. Seperti dalam novel lainnya, bahasa Arswendo menarik dan mengalir. Uraiannya detail. Kekuatannya pada segi mendeskripsikan kehidupan kaum abal-abal. Pembaca dibawa masuk dalam seluk-beluk kehidupan mereka. Ada yang jadi tukang preman jalanan, tukang rampok, tukang hajar orang, dan kriminal lainnya. Ulah mereka kadang-kadang meresahkan warga. Petugas keamanan kadang-kadang enggan menghentikan aksi mereka karena kekuatan tak sebanding. Atau juga tidak berefek jera.

Kehidupan yang antah-berantah ini menjadi cerminan keseharian kaum abal-abal. Bagaimana pun kehidupan mesti berujung pada satu titik. Bagi mereka titik itu adalah penjara atau rumah tahanan. Ini tentu bukan pilihan mereka. Tetapi, titik itu mau tidak mau mesti diterima. Kaum abal-abal rentan dijadikan oknum palsu oleh kaum yang kuat. Mereka dipaksa mengaku palsu demi menyelamatkan kaum kuat yang melakukan tindakan kriminal.

Di penjara mereka masih melanjutkan aksi mereka. Memang tidak seterang-terang sewaktu di dunia luar. Di penjara mereka beraksi sesuai situasi dan kondisi. Mereka memeras anggota baru atau juga kaum berduit. Tawuran pun tak terhindarkan.

Selain itu novel yang ditulis oleh penyair, wartawan, novelis, kolumnis ini mengisahkan kehidupan napi (narapidana) beserta istri dan anak-anak mereka di dunia luar. Istri mereka kadang-kadang menjenguk sang suami, ada juga yang tidak dijenguk sama sekali.

Arswendo yang beberapa kali mendapat penghargaan dalam dan luar negeri juga mengulas keseharian petugas penjara. Ada kongkalingkong antara napi, penitera, jaksa, hakim, dan polisi. Tentu semuanya diulas dalam gaya bahasa novel yang menarik.

Novel ini bisa dibaca oleh siapa saja untuk mengetahui seluk beluk kehidupan dalam dunia tahanan/penjara. Kehidupan narapidana sebelum dan sewaktu menjadi tahanan. Juga, relasi antara polisi, hakim, jaksa, petugas penjara, dan narapidana. Semuanya dirangkai dalam ulasan yang menarik, bernas, dan mengalir.


Judul buku: Abal-abal(Sebuah Novel)
Pengarang: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
Tahun terbit:1994


CPR, 7/7/2012
Gordi Afri


Selasa, 10 Juli 2012. Ada sejarah baru dalam perjalanan hidup saya. Hari ini, saya meninggalkan kota Jakarta. Saya akan melanjutkan kehidupan di kota Yogyakarta. Saya pun meninggalkan konfraters di Jakarta.
Dua sepeda motor melaju menuju terminal Rawamangun. Kornel dan saya lalu Asis dan Pandri. Kami berempat berangkat ke tempat ini. Ya...mereka datang demi saya. Kami akan berpisah pada sore ini. Kami memang telah menghabiskan 6 tahun bersama sejak masa pranovisiat. Fonsi yang juga teman seangkatan tidak bisa hadir untuk mengantar saya ke terminal.





 
Saya salut dengan mereka. Asis baru saja bangun tidur saat Kornel memanggilnya untuk berangkat ke Rawamangun. Pandri dan Kornel sedang berada di depan komputer. Mereka meninggalkan kesibukan atau hobi mereka dan mengantar saya. Kami memang sudah hidup bersama dan akan selalu bersama meski dalam bentuk yang berbeda.

Saya menumpang bis Safari Dharma Raya ke Jogja. Kornel, Asis, dan Pandri ikut mengantar sampai di dalam bis. Tas besar disimpan di bagasi bawah sedangkan tas kecil saya simpan di bawah kursi. Kami berfoto-foto di dalam bis. Lalu, foto-foto di luar bis. Setelahnya kami berpelukan dan berpisah. Perpisahan yang amat sederhana. Hanya ada kata...sampai bertemu lagi di lain kesempatan.



Setelahnya, mereka menuju tempat parkir dan mengambil motor. Saya duduk di kursi nomor 17 sambil menunggu bis berangkat. Tiba-tiba mereka lewat di luar bis dan melambaikan tangan. Sempat-sempatnya mereka melemparkan senyum manis ke arah saya.

Kami kini berpisah oleh tempat. Saya melanjutkan karya di Yogyakarta. Kornel dan Asis akan melanjutkan karya di salah satu komunitas Xaverian di Indonesia. Pandri melanjutkan studi ke Parma-Italia. Fonsi akan melanjutkan studi di STF Driyarkara. Kami tinggal di tempat yang berbeda namun kami tetap bersatu. Kami yakin Tuhan ada bersama kami dan kami akan bersatu dalam doa. saling mendoakan...itulah pesan yang selalu bergema ketika kami merasa lemah dan tidak ada semangat. Pesan itu kini menggema kuat ketika kami ada di tempat yang berbeda.

Mereka mengantar sampai di terminal. Terminal adalah tempat akhir dan tempat awal sebuah perjalanan. Saya mengawali karya saya di Yogyakarta sejak keberangkatan dari terminal ini. Semoga “terminal” yang sama melekat di hati kami seangkatan yang sebentar lagi mengalami kehidupan baru. Tuhan kami bersyukur atas kebersamaa kami di Jakarta kami mohon sertailah perjalanan hidup kami selanjutnya.

Yogyakarta, 11/7/2012
Gordi Afri
Powered by Blogger.