Halloween party ideas 2015

sumber gambar di sini
Hati muda fisik tua. Kalimat ini saya terjemahkan dari kalimat bahasa Italia, fisicamente vecchio ma ha un cuore giovane. Kalimat ini saya tulis dalam kesan saya terhadap pribadi Padre Corda dalam misa requiemnya. Kesan ini lahir begitu saja sambil membayangkan jejak sahabatku ini. Seorang teman meminta saya menulis kesan kenangan indah ini. 

Hatinya memang muda. Maksudnya seperti hati anak muda. Hati yang selalu riang gembira. Seringkali Padre Corda datang ketika kami bercerita di beranda rumah. Langkah kakinya pelan. Namun, dia rupanya menyimak perbincagan kami. Lalu, dia menyampaikan kalimat yang membuat kami tertawa. Padre Corda tahu betul, kami anak muda, kadang-kadang butuh kegembiraan seperti ini. Kegembiraan yang mungkin tidak dirasakan oleh anak muda di Jepang yang hari-hari hidup mereka penuh dengan keseriusan tugas kampus atau tugas pekerjaan kantor. Anak muda di kota yang hidupnya monoton dan serba kemacetan seperti Jakarta. Kami memang tinggal di kota bersamanya, di Yogyakarta dan Jakarta, tetapi kami beruntung. Kami mendapatkan kegembiraan seperti ini justru ketika kami hidup dan tinggal bersama Padre Corda.

Banyak anak muda sekarang hidup tanpa orientasi. Selesai kuliah, tidak tahu mau buat apa. Pekerjaan tidak ada. Tidak bisa juga menciptakan dan menemukan lapangan kerja. Disorientasi ini tidak ditemukan dalam hati Padre Corda. Hati mudanya selalu mencari dan berusaha menemukan apa yang bisa dibuat. Fisiknya tua, 80-an lebih, tetapi semangatnya muda. Semangat yang muncul dari hati yang muda. Yogyakarta, kota anak muda, rupanya menyulap hatinya menjadi anak muda. Bukan saja Yogyakarta, Jakarta juga menyulap hatinya. Jakarta memang sudah telanjur dilabel kota penuh sesak terutama jalan rayanya, tapi situasi ini tidak membuat Padre Corda merasa sesak. Di Jakarta, ketika kami bertemu, dia selalu memberikan humor sederhananya. Tidak semuanya tertawa tetapi mampu menciptakan suasana persaudaraan. Suasana yang dinantikan warga Jakarta yang multi etnis, agama, golongan sosial, dan multi lainnya.

Dengan fisik yang tua, dia masih memberi semangat pada anak muda. Lebih dari memberi semangat, dia justru menjadi anak muda. Anak muda yang selalu mencari. Anak muda yang bekerja. Anak muda yang menemukan apa yang bisa dibuatnya. Bunga-bunga di rumah selalu berwarna-warni. Itu karena Padre Corda merawatnya dan membuatnya bervariasi. Tidak satu jenis saja. Beragam jenis. Seperti kami yang berada di sampingnya beragam etnis. Seperti Yogyakarta yang dihuni banyak budaya.

Keragaman ini dibutuhkan oleh rakyat Yogyakarta. Bukan saja karena mau melestarikan predikat kota budayanya tetapi karena memang Yogyakarta menjadi kota pelajar. Pelajar datang dari berbagai kota dan daerah. Keragaman ini juga kami butuhkan. Bukan saja di rumah tetapi juga dalam memberi warna pada alam. Alam sendiri sudah berwarna warni. Warna alam itulah yang mestinya dibawa dalam warna hidup. Padre Corda tahu betul bagaimana memberi warna pada hidup. Satu kali di Kali Urang, kami mencari bunga. Kami sudah membeli dua jenis bunga. Saya menuju mobil dan menyalakan mesin mobil, siap untuk balik Yogyakarta. Padre Corda rupanya mau membeli bunga jenis lainnya. Saya mematikan mesin dan memanggilnya. Padre Corda sedang mencari jenis lainnya. Padre Corda memang orang yang suka mencari banyak jenis bunga. Dia rupanya paham, tanpa ragam jenis, bunga menjadi monoton, tidak berwarna warni. Dengan beragam jenis, bunga menjadi warna warni. Mata tidak bosan melihatnya.

Ah tak bosan bosannya saya mengulas sahabatku ini. Seperti saya memandang bunga yang dihiasnya di ruang doa, di balkon rumah, di halaman depan dan belakang. Bunga-bunga akan mati dan tidak berbunga lagi. Tetapi, ingatan akan kesenian dan keindahan bunga itu akan terlukis abadi dalam benakku. Demikianlah Padre Corda yang berfisik tua dan berhati muda ini, akan saya ingat. Ingatan yang akan menjadi sejarah yang abadi dalam perjalanan hidup ini. Benar kata orang, sejarah tidak akan terhapus meski banyak manipulasi, tekanan, dan konstruksi peristiwa sejarah. (bersambung)

PRM, 20/4/15
Gordi

foto pendoasion.wordpress.com 
Padre Corda memiliki sifat khas yakni tegas. Dia tegas dalam segala hal termasuk dalam menjalankan tugasnya. Jika ada yang tidak beres, dengan tegas pula dia mencari biangnya. Sifat inilah yang juga sering menjadi jargon Padre Corda dalam karyanya di Indonesia. 

Konon, suatu hari kami mengadakan pertemuan. Pertemuan mingguan yang biasa diadakan setiap Senin pagi. Kami mengusulkan tema yang cocok untuk dibahas dalam minggu itu. Di antara kami sering muncul perbedaan pendapat. Ini biasa. Banyak kepala banyak pendapat, kata pepatah. Namun, pertemuan ini jadi seru bukan karena banyak kepala. Pertemuan ini jadi seru karena Padre Corda menggertakan tangan di meja. Setelahnya dia meninggalkan ruang pertemuan. Pertemuan pun diselesaikan saja. Kami tidak bisa melanjutkan jika salah satu di antara kami tidak hadir.

Padre Corda rupanya seperti ini. Ini adalah bukti sifat tegasnya. Ketegasan ini membuat rekan kerjanya sedikit gentar untuk bekerja dengannya. Namun, ketegasan ini bukanlah halangan besar. Ketegasan ini justru menjadi awal dari kelembutan hati Padre Corda. Dalam ketegasan, ada kelembutan.

Saya ingat persis, suatu sore Padre Corda mengetuk pintu kamar saya. Dia minta waktu sebentar untuk berbincag-bincang dengannya. Saya pun segera keluar dari kamar dan menuju ruang TV, tempat kami bertemu. Saat itulah saya mengerti sifat lain dari Padre Corda. Dia rupanya juga mempunyai sifat lembut. Dalam ketegasannya itulah, saya melihat kelembutan hatinya.

Dia menceritakan panjang lebar tentang ketegasannya dalam pertemuan tadi. Dalam diam, saya mendengarkannya dengan hati dan telinga. Dan, saking asyiknya, kami melanjutkan perbincangan setelah makan malam. Padre Corda rupanya menunjukkan kelembutan hatinnya pada saat yang tepat. Ia membutuhkan seseorang yang mau dan mampu mendengarkan isi hatinya. Isi hatinya adalah kelembutan itu. Kelembutan yang kadang tidak terlihat. Kelembutan yang tersembunyi dengan sifat tegasnya.

Kelembutan itu menjadi pewaris dari Padre Corda untuk kami anak didiknya. Dalam pendidikan, dia tegas sekaligus lembut. Terima kasih untuk teladan tegas dan lembutmu Padre. Doakan kami dari seberang. (bersambung)

PRM, 20/3/15
Gordi

Dari kecil, saya sering menulis surat untuk bapak dan ibu, untuk kakak dan adik, untuk sahabat dan kenalan. Saya memang gemar menulis surat. Surat-surat yang saya tulis rupanya mendapat respons dari bapak dan ibu, adik dan kakak, serta sahabatku. Surat itu rupanya bukan sekadar kata-kata dan kertas serta tinta tetapi benda berharga yang tentunya dibalas dengan surat juga. Saya menerima surat balasan dari bapak-ibu, kakak, dan adik saya.

Bukan saya saja yang menulis surat. Surat memang bisa ditulis oleh siapa saja dan bisa dikirim untuk siapa saja. Minimal untuk orang yang kita kenal. Kepala sekolah biasanya menulis surat atau menyampaikan langsung pesannya kepada siswa. Pastor paroki atau bapak uskup bahkan Paus Fransiskus juga sering menyampaikan pesan entah langsung atau tulisan kepada umatnya. Bapak presiden juga demikian. Mentri, gubernur, bupati, camat, dan kepala desa serta bapak dusun juga demikian.

Surat yang paling berkesan juga adalah surat dari orang tua untuk anak-anak. Saya mendengar sharing dari sepasang suami-istri semalam, Jumat, 17 April 2015. Mereka membagikan perjalanan hidup mereka. Dari pacaran sampai berkeluarga dan mempunyai 5 anak sekarang ini. Mereka jatuh cinta sejak SMA. Menikah di usia 24 tahun pada 21 tahun yang lalu. Cinta mereka memang muda dan pernikahan mereka juga di usia muda.

Surat mereka sungguh menarik. Mereka menyimak berita di TV dan koran. Ada berita tentang masa depan anak-anak. Dari berita itulah mereka mendapat inspirasi untuk menulis surat kepada 5 anak mereka. Mereka katakan dengan bahagia bahwa masa depan kalian anak-anak ada di tangan masing-masing. Jangan takut menghadapi berbagai tantangan.
Jangan gentar menerima celaan dan tantangan yang menghadang.
Jangan takut berhadapan dengan orang yang mempunyai kepercayaan dan tidak.
Jangan gentar bergaul dengan teman seagama dan tidak seagama.
Dengan teman dan orang asing.

Surat ini menarik. Pesannya sungguh berharga bagi masa depan anak-anak. Lebih dari sekadar menyampaikan pesan berharga, surat ini adalah bukti cinta orang tua pada anak-anak mereka. Dengan demikian, surat ini adalah surat cinta bapak dan ibu untuk anak-anak mereka. Surat ini berisi cinta yang dalam dari bapak dan ibu. Surat cinta ini beda dengan surat cinta dua kekasih kala berpacaran. Surat cinta jenis ini memang berisi ungkapan cinta. Hanya saja kadar cintanya beda. Ibarat kopi kental dan kopi asal hitam. Surat cinta bapak ibu seperti kopi kental. Hitam kelihatannya, pahit rasanya. Dalam kepahitan itulah letak kedalaman cinta yang mereka berikan. Beda dengan surat cinta dua kekasih yang memang memberi cinta. Hanya saja cinta yang kabur, seperti kopi asal hitam di dalam gelas. Cinta yang meloncat-loncat. Cinta monyet.

Teringat surat yang juga pernah saya tulis untuk orang tua saya. Surat ini beda dengan banyak surat lain yang saya tulis untuk mereka. Surat ini pun saya beri nama SURAT CINTA untuk bapak dan ibu. Memang, saat itu, dalam sebuah kesempatan retret, kami menulis surat cinta untuk orang tua. Inilah salah satu momen indah dalam hidup. Momen indah seperti saat-saat awal jatuh cinta. Rasanya ingin memiliki padahal hanya cinta sesaat. Seperti cinta itu, surat cinta yang saya tulis berisi ungkapan terima kasih atas cinta bapak dan ibu. Rasanya seperti saya bisa membalas cinta mereka. Yakin sekali saya bisa. Padahal, cinta mereka jauh lebih besar dari tenaga saya. Cinta mereka tak saya jangkau. Cinta mereka begitu besar. Rasa-rasanya saya hanya mampu membalasnya dalam mimpi. Dalam surat pun tidak. Betapa besar cinta itu. Betapa saya hanya berangan-angan saja menggapai cinta itu. Cinta itu memang besar dan hanya dalam angan-anganlah saya sanggup menggapainya.

Begitu besar cinta itu sampai-sampai meski saya mencintai orang tua saya, cinta itu pun belum dan tidak akan sebanding dengan cinta orang tua terhadap saya. Ah, betapa bahagianya keluarga ini. Bapak dan Ibu tidak pernah merasa cinta mereka sebatas bertemu, pacaran, nikah, berkeluarga, melahirkan. Cinta mereka berlanjut. Cinta yang nyata dalam mendidik, membesarkan, menyekolahkan, bahkan sampai membuat surat cinta untuk anak-anak mereka.

Beruntung saya pernah membuat surat cinta untuk bapak dan ibu. Betapa saya merasa beruntung. Meski demikian, tentu cinta bapak dan ibu tetap tak sebanding dengan cinta yang saya berikan pada mereka. Mereka sudah berbuat banyak pada saya. Seperti bapak dan ibu yang bercerita malam ini, cinta bapak dan ibu saya juga demikian. Terima kasih bapak dan ibu. Terima kasih kakak dan adik-adik saya.

Terima kasih untuk surat kalian.

Parma, 18/4/2015
Gordi

Powered by Blogger.