Halloween party ideas 2015
Showing posts with label RIP. Show all posts

sumber gambar di sini
Hati muda fisik tua. Kalimat ini saya terjemahkan dari kalimat bahasa Italia, fisicamente vecchio ma ha un cuore giovane. Kalimat ini saya tulis dalam kesan saya terhadap pribadi Padre Corda dalam misa requiemnya. Kesan ini lahir begitu saja sambil membayangkan jejak sahabatku ini. Seorang teman meminta saya menulis kesan kenangan indah ini. 

Hatinya memang muda. Maksudnya seperti hati anak muda. Hati yang selalu riang gembira. Seringkali Padre Corda datang ketika kami bercerita di beranda rumah. Langkah kakinya pelan. Namun, dia rupanya menyimak perbincagan kami. Lalu, dia menyampaikan kalimat yang membuat kami tertawa. Padre Corda tahu betul, kami anak muda, kadang-kadang butuh kegembiraan seperti ini. Kegembiraan yang mungkin tidak dirasakan oleh anak muda di Jepang yang hari-hari hidup mereka penuh dengan keseriusan tugas kampus atau tugas pekerjaan kantor. Anak muda di kota yang hidupnya monoton dan serba kemacetan seperti Jakarta. Kami memang tinggal di kota bersamanya, di Yogyakarta dan Jakarta, tetapi kami beruntung. Kami mendapatkan kegembiraan seperti ini justru ketika kami hidup dan tinggal bersama Padre Corda.

Banyak anak muda sekarang hidup tanpa orientasi. Selesai kuliah, tidak tahu mau buat apa. Pekerjaan tidak ada. Tidak bisa juga menciptakan dan menemukan lapangan kerja. Disorientasi ini tidak ditemukan dalam hati Padre Corda. Hati mudanya selalu mencari dan berusaha menemukan apa yang bisa dibuat. Fisiknya tua, 80-an lebih, tetapi semangatnya muda. Semangat yang muncul dari hati yang muda. Yogyakarta, kota anak muda, rupanya menyulap hatinya menjadi anak muda. Bukan saja Yogyakarta, Jakarta juga menyulap hatinya. Jakarta memang sudah telanjur dilabel kota penuh sesak terutama jalan rayanya, tapi situasi ini tidak membuat Padre Corda merasa sesak. Di Jakarta, ketika kami bertemu, dia selalu memberikan humor sederhananya. Tidak semuanya tertawa tetapi mampu menciptakan suasana persaudaraan. Suasana yang dinantikan warga Jakarta yang multi etnis, agama, golongan sosial, dan multi lainnya.

Dengan fisik yang tua, dia masih memberi semangat pada anak muda. Lebih dari memberi semangat, dia justru menjadi anak muda. Anak muda yang selalu mencari. Anak muda yang bekerja. Anak muda yang menemukan apa yang bisa dibuatnya. Bunga-bunga di rumah selalu berwarna-warni. Itu karena Padre Corda merawatnya dan membuatnya bervariasi. Tidak satu jenis saja. Beragam jenis. Seperti kami yang berada di sampingnya beragam etnis. Seperti Yogyakarta yang dihuni banyak budaya.

Keragaman ini dibutuhkan oleh rakyat Yogyakarta. Bukan saja karena mau melestarikan predikat kota budayanya tetapi karena memang Yogyakarta menjadi kota pelajar. Pelajar datang dari berbagai kota dan daerah. Keragaman ini juga kami butuhkan. Bukan saja di rumah tetapi juga dalam memberi warna pada alam. Alam sendiri sudah berwarna warni. Warna alam itulah yang mestinya dibawa dalam warna hidup. Padre Corda tahu betul bagaimana memberi warna pada hidup. Satu kali di Kali Urang, kami mencari bunga. Kami sudah membeli dua jenis bunga. Saya menuju mobil dan menyalakan mesin mobil, siap untuk balik Yogyakarta. Padre Corda rupanya mau membeli bunga jenis lainnya. Saya mematikan mesin dan memanggilnya. Padre Corda sedang mencari jenis lainnya. Padre Corda memang orang yang suka mencari banyak jenis bunga. Dia rupanya paham, tanpa ragam jenis, bunga menjadi monoton, tidak berwarna warni. Dengan beragam jenis, bunga menjadi warna warni. Mata tidak bosan melihatnya.

Ah tak bosan bosannya saya mengulas sahabatku ini. Seperti saya memandang bunga yang dihiasnya di ruang doa, di balkon rumah, di halaman depan dan belakang. Bunga-bunga akan mati dan tidak berbunga lagi. Tetapi, ingatan akan kesenian dan keindahan bunga itu akan terlukis abadi dalam benakku. Demikianlah Padre Corda yang berfisik tua dan berhati muda ini, akan saya ingat. Ingatan yang akan menjadi sejarah yang abadi dalam perjalanan hidup ini. Benar kata orang, sejarah tidak akan terhapus meski banyak manipulasi, tekanan, dan konstruksi peristiwa sejarah. (bersambung)

PRM, 20/4/15
Gordi

foto pendoasion.wordpress.com 
Padre Corda memiliki sifat khas yakni tegas. Dia tegas dalam segala hal termasuk dalam menjalankan tugasnya. Jika ada yang tidak beres, dengan tegas pula dia mencari biangnya. Sifat inilah yang juga sering menjadi jargon Padre Corda dalam karyanya di Indonesia. 

Konon, suatu hari kami mengadakan pertemuan. Pertemuan mingguan yang biasa diadakan setiap Senin pagi. Kami mengusulkan tema yang cocok untuk dibahas dalam minggu itu. Di antara kami sering muncul perbedaan pendapat. Ini biasa. Banyak kepala banyak pendapat, kata pepatah. Namun, pertemuan ini jadi seru bukan karena banyak kepala. Pertemuan ini jadi seru karena Padre Corda menggertakan tangan di meja. Setelahnya dia meninggalkan ruang pertemuan. Pertemuan pun diselesaikan saja. Kami tidak bisa melanjutkan jika salah satu di antara kami tidak hadir.

Padre Corda rupanya seperti ini. Ini adalah bukti sifat tegasnya. Ketegasan ini membuat rekan kerjanya sedikit gentar untuk bekerja dengannya. Namun, ketegasan ini bukanlah halangan besar. Ketegasan ini justru menjadi awal dari kelembutan hati Padre Corda. Dalam ketegasan, ada kelembutan.

Saya ingat persis, suatu sore Padre Corda mengetuk pintu kamar saya. Dia minta waktu sebentar untuk berbincag-bincang dengannya. Saya pun segera keluar dari kamar dan menuju ruang TV, tempat kami bertemu. Saat itulah saya mengerti sifat lain dari Padre Corda. Dia rupanya juga mempunyai sifat lembut. Dalam ketegasannya itulah, saya melihat kelembutan hatinya.

Dia menceritakan panjang lebar tentang ketegasannya dalam pertemuan tadi. Dalam diam, saya mendengarkannya dengan hati dan telinga. Dan, saking asyiknya, kami melanjutkan perbincangan setelah makan malam. Padre Corda rupanya menunjukkan kelembutan hatinnya pada saat yang tepat. Ia membutuhkan seseorang yang mau dan mampu mendengarkan isi hatinya. Isi hatinya adalah kelembutan itu. Kelembutan yang kadang tidak terlihat. Kelembutan yang tersembunyi dengan sifat tegasnya.

Kelembutan itu menjadi pewaris dari Padre Corda untuk kami anak didiknya. Dalam pendidikan, dia tegas sekaligus lembut. Terima kasih untuk teladan tegas dan lembutmu Padre. Doakan kami dari seberang. (bersambung)

PRM, 20/3/15
Gordi

gambar dari enmerit.net
Padre Corda adalah artis kapela di Wisma Xaverian Yogyakarta. Sebagai artis, dia tahu tugasnya. Dia menjaga agar kapela itu tetap indah. Keindahan ini pun dia ciptakan dengan menambahkan berbagai jenis bunga. Bunga-bunga tersebut dia datangkan dari taman komunitas atau dibeli di luar. Selain bunga hidup, di kapel memang sudah ada bunga abadi, bunga mati, bunga hias. Bunga jenis ini tidak akan diganggu gugat selain dibersihkan saja. Kami semua bertugas untuk membersihkan ini. 

Padre Corda memerhatikan keberadaan bunga hidup. Bunga yang setiap hari dia siram dengan air, yang dia buang bagian yang tidak hidup lagi. Padre Corda—seperti bunga-bunga hidup ini—ingin membuat suasana di kapel tetap hidup. Seperti bunga yang menampakkan keindahannya dan memberi keharumannya, kami pun menikmati keindahan kapel ini.

Bunga hidup ini juga mengingatkan kami akan relasi kehidupan dengan Dia, sang pemberi hidup. Bunga-bunga hidup itu adalah lambang kehadiran-Nya. Dia yang hidup di antara kami. Dan, Padre Corda justru memerhatikan kehidupan relasional antara kami yang hidup dengan Dia, sang sumber hidup.

Kehidupan manusia sebenarnya disimbolkan dengan bunga-bunga hidup di kapel itu. Kehidupan itu tidak saja dihidupi tetapi juga mesti menjadikannya sebagai seni. Seni hidup. Bagai bunga yang menciptakan keindahan, kehidupan kita juga mestinya menciptakan keindahan. Keseniaan tidak ada batasnya. Keseniaan menjadi ruang kreasi yang tak akan pernah habis. Demikianlah kehidupan yang diwarnai dengan seni, tidak akan pernah selesai. Maka, mesti Padre Corda pergi meninggalkan kami semua, kehidupan yang penuh seni itu, tetap dilanjutkan.

Padre Corda sudah meninggalkan keindahan itu di kapel. Tugas kami selanjutnya adalah melanjutkan merawat keindahan itu. Artis kapel itu boleh pergi tetapi tentu saja ada artis-artis baru yang muncul. Bagai bunga hidup yang pada suatu hari akan layu dan mati, artis pun demikian. Tetapi nilai keindahan yang diciptakan sang artis tidak akan pernah mati. Keindahan itu tetap muncul setiap saat, setiap kali kita menciptakan kreasi baru.

Selamat jalan Padre Corda. Kaulah artis kami di surga. Dari rumah Bapa, engkau membuat hidup kami menjadi indah. Hidup yang mesti kadang berhadapan dengan kesusahan, kau tetap mengirimkan kebahagiaan bagi kami. Dengan demikian, kau mengirimkan kekuatan kala kami lemah lesu. Kehidupan kami boleh saja pasang surut, tetapi keindahan yang kau wariskan tak akan ada batasnya. Keindahan itu tetap ada dan diperbarui setiap saat, seperti engkau memperbarui bunga-bunga yang layu di kapel setiap pagi dan sore.  (bersambung)

PRM, 20/2/15
Gordi



gambar dari stfrancislcc.bravehost.com
Salah satu kegemaran orang tua adalah berdoa. Padre Corda, 89 tahun, juga gemar berdoa. Boleh disebut pekerjaan utamanya adalah berdoa. Setelah sekian tahun menghabiskan waktunya dengan bekerja fisik, kini pekerjaan yang bisa dan sering dia lakukan adalah berdoa. Tak heran jika sebutan pendoa ini pun otomatis disematkan padanya. 

Berdoa bagi Padre Corda menjadi hal utama dalam hidup harian. Dari berdoalah dia menghidupi aktivitasnya. Berdoa bukan satu-satunya yang dia lakukan setiap hari. Setelah berdoa dia juga bekerja. Mengganti bunga di kapel, menyiram bunga, mengecek kebun belakang dan depan rumah, mencari cabang pohon yang mulai rusak. Setelah semuanya itu berakhir, dia juga berdoa. Jadi, berdoa baginya boleh dibilang awal dan akhir dari keseharian.

Pagi hari, sebelum merayakan misa harian, dia duduk di kapel dengan brevirnya. Atau, kalau misa sore hari, dia juga tetap berdoa brevir. Entah duduk di kapel atau jalan-jjalan di kroridor rumah. Demikian juga setelah makan siang, sore hari, dan malam setelah makan malam. Sebelum tidur, dia mendaraskan doa rosario sambil jalan-jalan keliling koridor. Melewati pintu kamar para anak didiknya.

Padre Corda yang adalah pendoa itu telah pergi, namun, kiranya dari sana dia mendoakan kami semua. Saya akan mengenang kehidupan doanya ini. Kiranya bisa tertular pada kami yang pernah hidup dengannya. Selamat jalan Padre Corda. (bersambung)

PRM, 20/2/15
Gordi


ilustrasi dari eqokren.blogspot.com
Salah satu kegemaran Padre Corda adalah menonton berita di TV. Dia sering mengikuti berita-berita dari Italia. Menonton misa dari Vatikan, menonton program TV Italia, dan sebagainya. Boleh dibilang, Padre Corda adalah orang yang selalu update soal berita. 

Satu kali, saya ingat persis, dia berteriak memanggil nama saya dari ruang TV. Saya yang sedang berada di ruang tamu bawah pun mendengarnya. Dia memberitahukan bahwa Paus Benediktus XVI mengundurkan diri dari tugasnya sebagai paus. Saya kaget mendengar berita itu lalu naik ke ruang TV dan ikut menonton dengannya. Kebetulan, hanya ada saya dan dia serta anak-anak didik kami.

Sebagaimana informasi baru, cepat diberitakan, Padre Corda juga sering kali menyebarkan informasi baru pada kami. Dia kadang-kadang mengajak kami ikut menonton misa bersama Paus Benediktus atau Paus Fransiskus. Dia lalu menjelaskan kepada kami homili atau komentar dalam misa. Maklum, kami belum bisa berbahasa Italia.

Informasi bisa didapatkan di mana saja. Tidak saja di TV, di koran, buku, dan majalah. Padre Corda juga gemar mencari berita di koran, majalah, dan buku. Setiap kali ada berita yang menggembiarakan, dia dengan cepat menceritakannya kepada saya. Dia selalu mendapat kiriman majalah dan koran serta buku dari Italia. Satu kali, kami menghabiskan lebih dari sejam, untuk berbincang-bincang soal isi buku menarik yang baru saja selesai dia baca. Perlu kesabaran untuk mendengar ceritanya. Dan, Padre Corda juga dengan sabar mendengar jika ada orang yang mau bercerita dengannya.

Kini Padre Corda telah pergi. Saya tetap ingat suaranya kala memanggil saya untuk menonton acara festival terkenal di Monako. Juga, acara lain yang selalu dia tawarkan pada kami. Selamat jalan Padre Corda. Engkau gemar mencari informasi aktual namun engkau juga gemar mencari infromasi dari Dia yang di atas. Tentang topik ini akan dibahasa dalam artikel selanjutnya. (bersambung)

PRM, 20/2/15
Gordi

Padre Corda memerhatikan keindahan ruang doa ini
Tak mudah memerhatikan lubang jarum jahit yang kecil. Memasukan benang ke dalam lubang kecil ini rumitnya minta ampun. Namun, para penjahit—termasuk mama saya di rumah—sering melakukannya. Padre Corda—sahabat saya yang baru pergi itu—juga sering kali melakukannya. Matanya tua tetapi kejeliannya seperti seorang anak muda

Padre Corda adalah penjahit ulet. Dialah yang membuat kasur-kasur di rumah Tunas Yogya menjadi tetap awet. Sarung bantal tua digantinya dengan yang baru. Yang lubang ditambalnya sehingga masih layak dipakai. Kain gorden di ratusan jendela kamar juga diperhatikannya. Demikian juga taplak meja belajar, meja di ruang tamu, taplak meja di setiap kamar, taplak meja setrika, taplak penutup meja biliar, dan sebagainya. Di tangannya, semuanya bisa bermanfaat. Kain yang tua dijadikannya kain lap meja. Pokoknya kain itu selalu berguna sampai kain itu hancur benangnya. Ya, Padre Corda memang penjahit ulung.

Bukan saja, kain lap yang diperhatikannya, pakain juga menjadi perhatiannya. Saya beberapa kali memintanya memendekkan celana, memodifikasi ukuran lengan baju. Dia mengerjakannya dengan teliti. Dia memanggil saya ketika pekerjaannya hampir selesai. Baginya, belum puas jika setelah dimodifikasi, ukurannya masih kurang pas. Dia akan mengubahnya lagi sampai dia dan kita merasa puas. Inilah kesenangan tersendiri baginya.

Saya pernah bertanya padanya. Sejak kapan dia punya kemampuan menjahit. “Sejak muda,” katanya.

gambar dari kaskus.co.id
Di waktu senggang, dia suka sekali menjahit. Rupanya, Padre Corda bukan saja penjahit pakaian dan kain. Dia juga bisa menjahit sepatu. Saya beberapa kali memperbaiki sepatu sepak bola padanya. Sekali dia menjahitnya dengan memakai senar. Sekali dia menggunakan lem yang lekatannya bertahan lama. Sepatu anak-anak didik kami juga tak luput dari perhatiannya. Kalau ada yang rusak, segera bawa padanya. Taruh saja di depan halaman kamarnya yang luas itu. Dia akan mengerjakannya. Dia tidak meminta bayaran. Dia hanya minta agar anak didiknya menyiram pot bunga yang dia rawat. Cukup itu saja.

Terima kasih Padre Corda untuk teladan ketelitianmu. (bersambung)

Prm, 7/2/15
Gordi

Padre Corda berada di antara kaum muda
Padre Corda adalah pendidik ulung. Ini bukan asal sebut. Dalam karyanya di Indonesia hal ini tampak. Pertama, ketika dia bekerja di seminari di kota Padang, menjadi pembina asrama di kota yang sama. Kedua, ketika dia menjadi pembimbing spiritual para Tunas Xaverian di kota Yogyakarta dan menjadi bapa pengakuan para frater di berbagai kongregasi di kota Yogya dan para frater dari Seminari Tinggi Kentungan.

Saya beruntung bisa mengenal lebih dalam lagi karya pendidikannya. Soal pendidikan di kota Padang, saya hanya mendengar. Baik dari dia maupun dari cerita orang. Namun, soal pendidikan di Yogyakarta, saya sendiri adalah satu di antara para muridnya. Dan, selain murid, saya sendiri juga yang menjadi rekan kerjanya sebagai pendidik. Saya—di hadapan dia—adalah seorang didikan dan rekan pendidik.

Dari dia, saya dan teman-teman mengenal beberapa lagu dalam bahasa Italia. Saya sama sekali tidak mengerti artinya sebelum dia menjelaskan artinya. Namun, saya melihat daya juangnya untuk mengajarkan lagu itu. Sulit tetapi lama-lama dia membuat kami menyukainya. Demikian juga ketika kami—para murid—menanyakan banyak hal tentang berbagai pengetahuan padanya.

Di kelas, saat pelajaran, kami mengajukan banyak pertanyaan. Dia menjawab dengan bahasa yang sekiranya mampu kami pahami. Konsep teologis yang abstrak dan tinggi misalnya, diterjemahkannya dalam bahasa yang bisa ditangkap. Kadang-kadang memang sulit apalagi dia orang asing. Tetapi, bukan sulitnya yang membuatnya menjadi pendidik ulung. Dia menjadi pendidik ulung karena kegigihannya untuk mengajar.

Saat menjadi rekan kerjanya, saya beberapa kali dimintai mengoreksi tulisannya. Maklum, dia menerjemahkan beberapa buku ke dalam bahasa Indonesia. Satu sudah terbit oleh Penerbit Pustaka Nusatama, Yogyakarta. Lainnya sedang diterjemahkan dan dikoreksi bahasanya. Saya juga beruntung beberapa kali ikut bersamanya membawakan seminar tentang katekese di kelompok umat Katolik. Saya hanya sebagai rekan kerja dan sebagai sopir dalam kegiatan ini. Rupanya dia menjadikan saya juga sebagai moderator diskusi. Senang bisa bekerja dengannya.

Bagi Padre Corda menjadi pendidik kiranya berarti tinggal bersama, bekerja, belajar, berdoa, bercerita, bersendagurau dengan anak didiknya. Sering kali kami duduk berdua di meja makan kala dua padre lainnya tidak ada di rumah. Kami berbagi cerita setelah selesai makan malam. Kami juga sama-sama berbagi cerita dengan anak-anak didik kami. Indahnya hidup bersama pendidik ini.

Menjadi pendidik juga kiranya berarti memiliki jiwa muda. Umurnya lebih dari 80-an tahun tetapi jiwanya seperti jiwa seorangi anak 17-an tahun. Mayoritas anak didik kami berumur 17-18 tahun. Padre Corda dengan hatinya yang muda itu, mendekati, mengajar dengan memberi contoh, dan memberi semangat kepada anak-anak didiknya yang muda itu. Saya pernah mengalaminya sebagai anak didik dan sebagai rekan pendidik. Saya senang mengulang kalimat ini karena tidak mau kehilangan aura pendidikan dengannya.

Terima kasih padre untuk telata pendidikanmu. 


Prm, 7/2/15
Gordi

Beberapa di antara mereka adalah anak didikan Padre Corda SX
Niat saya ingin mendengar suara Padre Corda. Niat itu muncul bulan Agustus 2014 yang lalu. Saat itu, saya mendengar Padre Corda pindah dari Yogyakarta ke Padang. Sebelum sampai di Padang, singgah di Jakarta. Saya ingin meneleponnya di Jakarta. Sayang, tak jadi. Dia sedang berobat dan hanya bisa ditelepon pada waktu tertentu saja. Saya tidak berhasil menemukan waktu yang pas. Saya juga mencobanya ketika dia sudah di Padang. Niat saya tetap ada. Beberapa kali saya mendengar kabar tentangnya dari teman di Padang. Sayang sampai akhir hidupnya, saya tidak jadi meneleponnya. Niat itu tinggal kenangan.

Saya memang ingin mendengar suaranya. Suara yang saya dengar sejak mengenalnya tahun 2005 yang lalu. Setahun kami lalui bersama di kota pendidikan dan kota budaya, Yogyakarta. Setiap hari mendengar suaranya di kelas, di gereja, di halaman, di kebun, di ruang TV, di jalan, dan sebagainya. Dialah pendidik saya dan sayalah didikannya.

Tahun 2012 hingga pertengahan 2013, saya kembali ke Yogyakarta. Bekerja bersamanya lagi. Saya senang bisa mendengar suaranya. Suara yang dulu saya anggap sebagai suara sang guru, sang pendidik, kini menjadi suara sang rekan kerja, suara sang rekan pendidik. Tetapi, dalam hal ini saya selalu ingin menjadikan suara itu sebagai suara orang yang mendidik saya. Saya memang ingin terus menerima didikannya.

Suaranya kadang tegas, rileks, keras, dan bahkan bisa menusuk jantung psikologis. Ya, suara pendidik memang kadang-kadang seperti itu. Maklum, menjadi pendidik tidaklah mudah. Menjadi pendidik berarti memberikan segala tenaga untuk mendidik anak didikan. Saya salut dengan suara Padre Corda yang selalu menggema ketika anak-anak didikannya menyeleweng, main-main, kurang serius belajar, bekerja semaunya saja. Dalam hal ini, suara Padre Corda adalah suara yang mengikuti tangan dan kakinya.

Dengan kaki dan tangan dia memberi  petunjuk kepada anak didik. Kalau toh, tidak paham, dia mengeluarkan suara didikan. Sebab, suaranya itu mendidik. Betapapun keras nadanya, maksudnya jelas, ajakan untuk mau dididik. Suaranya juga mengajarkan. Sebab, dia tidak saja mengkritik kelalaian anak didiknya tetapi juga mengajarkan agar anak didiknya menjadi baik.

Terima kasih Padre Corda.
Suaramu adalah seruan pendidikan. Suaramu adalah ajakan untuk mau dididik.
Suaramu adalah ajaran.
Suaramu adalah teladan.
Suaramu adalah ingatan.


Prm, 7/2/15
Gordi

Padre Corda SX
Setiap hari saya mendengar berita. Dalam negeri dan luar negeri. Ketika pagi hari mengecek email, saya sudah bisa menengok berita, dalam negeri, Italia dan luar negeri Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Italia. Kadang-kadang dalam bahasa Prancis, Spanyol, dan Portugis versi Brasil. Namun, untuk menyimak lebih dalam, saya lebih cenderung menengok dalam tiga bahasa pertama. Tiga bahasa lainnya hanya sepintas lalu. Toh, saya tidak memahami bahasa-bahasa tersebut. Tetapi, maklum tinggal bersama-sama, jadilah saya juga ikut melihat berita tersebut.

Email gmail, ymail, dan yahoo saya sudah cukup untuk membawa informasi. Dari ketiganya juga, saya bisa berhubungan dengan dunia lainnya, sebab ketiganya saya hubungkan dengan koran dan majalah internasional seperti Vatican.va, BBC, the Guardian, UCANews, kompas.com, dan sebagainya. Sudah banyak berita yang saya terima dari media-media ini. Berita-berita itu datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Berita yang menyenangkan, menyedihkan, membakar semangat, memunculkan rasa haru, dan sebagainya. Berita-berita itu meninggalkan kesan dan pesan tersendiri buat saya.

Berita hari ini, Jumat, 30 Januari 2015 justru berita yang mengejutkan. Saya terkejut membacanya. Langsung seketika juga ikut berduka, sedih sekali. Padahal, sebelumnya, saya senang sekali. Saya baru saja menyelesaikan ujian lisan di kampus dan hasilnya bagus. Pulang ke rumah dengan perasaan senang dan bangga. Saya lalu mengecek facebook. Dari situlah saya mendapatkan berita mengejutkan ini. Padre Corda, SX meninggal dunia.

Berita meninggalnya padre ini ditulis dengan beragam status teman-teman di facebook. Saya menyimak beberapa di antaranya. Banyak kesan, ingatan, kenangan, perasaan terharu, ada di sana. Ada juga yang mengupload foto-foto tentangnya, tentang kebersamaan dengannya, tentang bekerja dengannya, tentang perjalanan dengannya. Begitu panjang jika didaftarkan. Intinya berita-berita tersebut muncul sebagai tanggapan atas berita yang mengejutkan tadi.

Berita meninggalnya padre Italia ini seperti berita meninggalnya kakak kandung saya pada bulan Oktober tahun 2008 yang lalu. Rasa sedih saya bertambah besar waktu itu. Dan, saat ini juga rasa itu muncul lagi. Sekali lagi, saya sedih sekali mendengar berita itu. Berita yang mengejutkan sekaligus menyedihkan. Saya membagikan rasa sedih saya ini dengan teman-teman mantan murid-murid Padre Corda di kota Parma ini. Kami sama-sama sedih mendengar berita ini.

Berita sedih ini menjadi bertambah karena di Parma ini, tadi malam, meninggal seorang padre lainnya, Padre Battista Mondin, SX. Filsuf dan Teolog ternama di Italia. Dia menjadi satu di antara sekian ahli filsafat Santo Thomas Aquinas di Italia. Penelitian dan karya-karyanya menjadi rujukan banyak pakar filsafat dan teologi di seluruh dunia. Tentangya juga saya mempunyai kenangan. Memang, beberapa kali saya bersapa dengannya setelah dia pindah ke kota Parma pada 2013 yang lalu. Selain, itu saya mengenalnya sejak di Jakarta, melalui bukunya tentang Filsafat Abad Pertengahan dan Filsafat Manusia. Salamat jalan untuk kedua padre saveriani ini.

Mereka meninggalkan banyak kenangan untuk kami.
Hanya kenangan itulah yang kami ingat.
Kenangan itu ditulis dalam ingatan kami.
Kami mengingatkan kembali kebersamaan dengan mereka.
Itulah mereka yang mendahului kami.
Selamat jalan ya padre.


Prm, 7/2/15
Gordi
Powered by Blogger.