Halloween party ideas 2015

FOTO, shutterstock
Terima kasih untuk pertemuan ini
Pertemuan yang berkesan
Kesan mendalam
Sampai aku sulit melupakanmu

Memang awalnya enggan
Enggan berkenalan denganmu
Aku sebenarnya mau tapi malu
Jadinya rasa enggan saja

Rasa malu ini lenyap
Kala kita bermain bersama
Bekerja dalam kelompok
Berdoa bersama

Pelan-pelan aku mengenalmu
Dan kamu mengenalku
Sesungguhnya dari hati yang dalam
Kita rupanya ingin berkenalan

Dan tiga hari pun kita lalui bersama
Rasa cinta mulai muncul
Begitu besar sehingga kita melupakan ego kita
Dan tiga hari rasanya begitu pendek

Ingin bersama lebih lama lagi
Aku yakin begitu banyak yang akan kita ketahui
Namun waktu tak cukup mengungkapkan semuanya
Cinta memang kaya

Salam cinta untukmu

Ancona, 29/7/14
Gordi



Paura di stare con Gesù

foto, qui
Posso dire che i discepoli hanno la paura di stare con Gesù, come abbiamo visto nel vangelo della domenica di oggi (21/6/15). Stavano con Gesù sulla barca, ma quando c'era il grande vento e la tempesta, hanno paura. Come mai? 

Gesù ad un altra parte dormiva. Sembra stava tranquillo. Non aveva paura. Ma, chi sa. Il vangelo non ci da molto spiegazione sull'attivita di Gesù. Solo sappiamo che era dormito.

I discepoli lo svegliavano. Era alzato e faceva calma il vento e il mare. Ha detto, "Taci. Càlmati!" Il vento si sparisce e il mare si calma. Su questo punto, possiamo dire che Gesù ha il potere, ha la potenza, di calmare il vento e il mare. Gli obbediscono.

Gesù chiede ai suoi discepoli, perchè avete paura? Credo che sia un grande problema con questa paura. Anche noi--secondo me--abbiamo ancora questa paura. Almeno, io, ho ancora la paura. Al di là della paura, infatti, ho ancora poca fede. La fede che di solito si da la forza perciò non c'è la paura se c'è la fede. Se ancora ha il dubbio oppure non avere la fiducia, proprio lì c'è la paura.

Se crediamo veramante e totalmente in Gesù, credo che non abbiamo la paura. Anzi, abbiamo la grande forza per poter guidare la nostra barca della vita.

PRM, 21/6/15

Gordi

Bunga lain di bagian sebelah taman
Untuk menjadi orang luar biasa tak perlu sekolah tinggi. Tak perlu banyak uang. Tak perlu promosi ke mana-mana. Cukup menjadi orang sederhana. Ini resep menjadi orang luar biasa. 

Saya dapat resep ini pada pagi tadi. Saya sedang bekerja di taman kami. Memberi pupuk pada bunga mawar yang mulai mengeluarkan bunga-bunga indah. Saya menambahkan pupuk biar tambah subur tanahnya. Kelak, bunganya juga akan tambah cantik.

Tangan kanan saya dibalut kaus tangan. Lalu, satu pacul untuk mencangkul tanah. Tanah di sekitar bunga mesti digembur, kemudian disiram pupuk beku. Lalu, ditutup lagi dengan tanah. Kelak, ketika disiram air atau kena air hujan, pupuk itu akan larut dan menciptakan zat subur bagi akar-akar bunga itu.

Di samping saya, ada ember berisi pupuk. Tidak penuh. Hampir ¾-nya. Pupuk ini juga tidak digunakan semua. Jumlah bunga hanya 45 pohon. Jadi, masih ada sisanya. Mungkin untuk bagian lagi dari taman ini. Untuk hari ini cukup yang bagian ini.

Luar biasa pekerjaan saya hari ini. Matahari bersinar terang dan menciptakan suhu yang sejuk. Kemarin malam hujan, tanah basah. Maka, saya mudah mencagkulnya. Baru kali ini saya bekerja hanya dengan sehelai baju (biasanya dengan jaket di bagian luar),  dengan celana pendek (biasanya selalu celana panjang, takut dingin) dan dengan sandal jepit (biasanya dengan sepatu lengkap dengan kaus kaki).

Tapi, bukan ini yang membuat saya menjadi orang luar biasa. Yang membuat luar biasa justru orang luar biasa yang saya temukan ini. Dia memanggil nama saya dari pintu gerbang rumah ketika saya sedang mencangkul tanah di halaman itu. Dia bilang, “Maaf (dengan suara agak kencang, berbarengan dengan suara mobil di jalan raya), spanduk-nya jatuh.”

Saya memintanya mengulang lagi karena suaranya tidak saya dengar. Sambil duduk di atas sepeda dan memarkir sepedanya, dia mengulang lagi dan saya dengar dengan jelas. Saya langsung mengerti maksudnya dan segera menuju ke samping gerbang. Melihat spanduk yang jatuh. Spanduk yang saya juga tidak tahu milik siapa. Maklum, dari tadi hanya bekerja di taman. Tidak saya perhatikan kalau ada yang menaruh spanduk di samping gerbang.

Betul rupanya. Ada spanduk kecil yang ditaruh di samping pintu gerbang rumah kami. Kebetulan, ada sekelompok orang yang sedang mengikuti pertemuan di sini. Spanduk itu milik mereka. Ditempatkan di samping gerbang biar para tamu tidak sibuk mencari alamat rumah ini. Spanduk itu memudahkan pengunjung.

Saya membetulkan posisi spanduk yang dipasang berdiri itu. Saya menempatkan satu batu kecil di ujung depan kaki spanduk. Jadilah dia berdiri dengan gagah dan bersandar ke tembok. Saya yakin tidak akan jatuh lagi meski ada angin.

Bapak ini rupanya luar biasa. Luar biasa karena ia peduli. Kepeduliannya nyata ketika ada yang jatuh di jalan langsung dia memberitahukan kepada orang terdekat atau pemilik rumah. Ini baru spanduk yang jatuh. Apalagi kalau manusia yang jatuh. Katakan saja pengguna jalan entah pengayuh sepeda, pengendara motor yang jatuh. Pasti dia juga segera menolong dan mencarikan bantuan dari orang yang ada di sekitar itu.

Saya belajar dari bapak ini. Belajar untuk peduli pada hal kecil yang ada di sekitar saya. Untuk menjadi orang peduli, tidak butuh kampanye besar. Cukup memperhatikan hal kecil di sekitar kita. Jika peduli dengan yang kecil ini, kita juga akan peduli dengan yang besar. Kepedulian ini membuat bapak ini menjadi luar biasa. Untuk menjadi orang luar biasa rupanya tidak perlu berkampanye ke mana-mana. Tidak butuh promosi di media massa, tidak perlu ikut demonstrasi sehingga masuk koran, radio, dan TV, tidak perlu ikut membuat opini protes seolah-olah menyeberang sikap mayoritas. Tidak perlu.

Cukup dengan membantu membetulkan posisi spanduk di jalan. Itu sudah cukup. Sederhana tetapi luar biasa.

PRM, 20/6/15
Gordi


Powered by Blogger.