Gambar: Google images |
Senyum dan keramahan merupakan dua hal yang mahal. Meski mahal sebagian besar manusia mendambakannya. Hampir setiap orang ingin diperlakukan dengan ramah dan diterima dengan senyum manis. Sayangnya tidak semua orang mampu memperlakukan sesamanya dengan senyum dan ramah. Memang tidak mudah. Makanya dua hal ini merupakan “barang” mahal.
Untuk kesekian kalinya penulis bertemu dengan pak tua yang menjadi tukang parkir di gereja Pulo Mas. Sebut saja namanya Pak Ujang. Usianya kira-kira mendekati 60-an tahun. Fisiknya tampak kuat. Kulit tubuhnya tidak lekang diterpa sinar matahari. Dari raut wajahnya, tampak kulit mulai keriput. Pakar kesehatan menemukan bahwa kulit manusia pada usia tua akan keriput. Usia mendekati 60 tahun termasuk usia tua. Penemuan ini berlaku untuk Pak Ujang. Meski demikian, semangatnya menjadi tukang parkir tetap tinggi.
Tiap kali mengikuti misa Mingguan di Pulo Mas, penulis bertemu Pak Ujang. Sebagian besar umat bertemu dengannya. Dia duduk atau berdiri di gerbang masuk gereja. Dia biasanya mengurus bagian parkiran kendaraan roda dua di halaman gereja. Bukan hanya untuk misa hari Minggu. Misa harian juga. Penulis termasuk umat yang sering—paling kurang sekali sebulan—mengikuti misa hari Kamis pagi di sana. Pada saat itu juga penulis bertemu Pak Ujang. Tugas hariannya di situ. Dia setia meski hanya beberapa sepeda motor dan mobil yang diurus pada pagi itu.
Satu kebiasaan yang selalu muncul dari Pak Ujang adalah memberi senyum dan keramahan. Seperti yang terjadi hari Minggu, 6 Maret. Dia duduk di kursi plastik yang terletak di samping gerbang. Dia tersenyum ketika penulis menaikkan kaca helem. Dia datang ke dekat sepeda motor. Dengan senyum khas-nya, dia menyapa dengan ramah, “Selamat sore, apa kabar?” Dia lalu memberikan kartu parkiran. Setelahnya,
dia kembali ke kursinya sambil menunggu sepeda motor lain masuk. Untuk kesekian kalinya penulis melihat senyum khas dan sapaan ramah Pak Ujang.
Penulis masuk ke gereja sambil berpikir tentang senyum dan sapaan ramah Pak Ujang. Senyum dan ramah memang mudah diucapkan tetapi sulit diwujudkan. Orang yang dalam keadaan marah dan emosional biasanya enggan dan tidak mampu untuk senyum dan ramah. Senyum dan ramah muncul dari kedalaman hati orang yang bahagia. Senyum dan ramah merupakan ungkapan kebahagian. Senyum dan ramah tidak muncul begitu saja tetapi ada latar belakangnya.
Mengapa sulit untuk senyum dan marah? Senyum dan marah memang butuh latihan. Orang yang hidup dalam suasana bahagia akan mudah menciptakan senyum dan keramahan. Lama-lama senyum dan keramahan tampak sebagai reaksi asli karena keadaan dan bukan diciptakan untuk tujuan tertentu. Bukan pula dibuat-buat dan dipaksakan. Sebaliknya, senyum dan keramahan akan sulit ditemukan dalam diri orang yang selama hidupnya tampak kaku. Kalau demikian apakah senyum dan marah hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu saja?
Hampir semua orang bisa senyum dan ramah (kecuali yang cacat fisik tertentu sehingga sulit tersenyum). Ya, semua orang. Mulai dari Rudi Hartono dan Michael Hartono (orang terkaya urutan pertama dan kedua di Indonesia versi Forbes 2011) sampai pengemis yang mewakili kaum miskin. Tukang parkir seperti Pak Ujang bisa tersenyum dan berlaku ramah tiap kali bertemu umat. Dia tidak sulit untuk senyum dan ramah. Baginya, kedua hal ini bukan lagi barang mahal tetapi barang murah. Tiap hari ia berlaku demikian. Tidak semua pemilik sepeda motor dan mobil memberi uang sebagai balas jasa kepada Pak Ujang. Pak Ujang bukanlah tukang parkir di ITC Cempaka Mas, Rumah Sakit St. Carolus, atau Taman Monas yang setiap hari keluar-masuk ratusan sepeda motor dan dibayar tetap dengan biaya Rp 1000 tiap jam. Pak Ujang hanyalah tukang parkir yang dibayar tidak tentu. Meski demikian, Pak Ujang tetap saja tersenyum dan ramah ketika menerima kartu parkiran. Dia selalu mengucapkan terima kasih. Tak peduli entah ia menerima kartu dengan uang atau kartu tanpa uang. Senyum dan ramah memang mengakar kuat dalam dirinya.
Senyum dan ramah bisa mengakar kuat dalam pribadi orang. Dibutuhkan latihan dan kesabaran. Senyum dan ramah akan mudah dikalahkan oleh arus emosional yang melanda pribadi manusia. Namun, jika ada usaha dan kesabaran, senyum dan ramah tetap terpantul. Pengendalian diri menjadi kunci. Pengendalian diri yang baik akan tampak dalam kemampuan untuk mengelola setiap perasaan yang dialami. Pengendalian diri menjadi jaminan apakah senyum dan ramah bisa bertahan jika diterpa emosional dan perasaan lainnya. Jika kuat, senyum dan ramah akan terpancar. Jika tidak, senyum dan ramah akan menjauh.
Pak Ujang yang melakukan pekerjaan sederhana bisa senyum dan ramah. Ia manusia sama seperti kita yang lain. Bekerja sesuai profesinya. Senyum dan ramah melampaui sekat profesi dan suasana. Dalam setiap pekerjaan ada nada-nada senyum dan ramah. Menjadi mahal jika kita tidak bisa menangkap suasana senyum dan ramah. Sebab, keduanya akan selalu ada. Namun, keadaanya akan selalu terancam. Senyum dan ramah bergantung pada suasana hati. Kalau bad-mood senyum dan ramah akan menjauh. Sebaliknya, kalau good-mood senyum dan ramah mendekat dan dengan mudah keluar dari diri kita. Akhirnya, di mana tubuhmu (pekerjaanmu) ada di situ hatimu (senyum dan ramah-mu) ada.
Cempaka Putih, 12 Maret 2011
Gordy Afri
Post a Comment