Satu model ruang baca, gambar: google |
Pukul 12 tepat. Siang itu, suasana ruang baca Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF) sepi. Empat pengunjung tampak diam, tidak ribut. Membaca, membuat catatan, mengedit tulisan, dan membuka internet.
Saatnya shalat dzuhur. Penjaga ruang baca keluar sebentar. Saya hendak pulang ke rumah. Tanda waktu di atas bagi saya menjadi pembatas kunjungan ke ruang baca. Kunjungan siang ini terjadi karena tidak ada kuliah.
Menuju tempat parkiran sepeda. Inilah sarana trasnportasi para mahasiswa. Siang itu, suasans parkiran sepi. Tampak sepeda-sepeda mengisi sebagian tempat itu. Sepeda tersebut adalah sepeda para mahasiswa yang sedang kuliah. Sebagiannya kosong. Hanya beberapa mata kuliah yang dijadwalkan pada jam kuliah ketiga (11-12.30).
Di sebelah pagar tempat parkiran tampak dua orang. Seorang adalah tukang sepatu. Dia biasa nongkrong di situ. Menunggu mahasiswa yang memanfatkan jasanya memperbaiki sepatu. Dia duduk di bangku panjang yang ditempatkan di dekat pagar.
Seorang lagi adalah tukang syomai. Dia tampak tertidur di bangku panjang. Pengunjung sepi karena mahasiswa sedang kuliah. Selain itu, sebagian besar mahasiswi/a sudah kembali ke rumah dan kosan. Jualan seperti ini amat laku pada jam istirahat. Jam jeda antar-mata kuliah bagi mahasiswi/a.
Sementara itu, seorang petugas satpam sedang duduk di kantornya. Dia biasa memerhatikan setiap dosen dan mahasiswi/a yang keluar-masuk kampus. Penjagaan semakin ketat apalagi dengan maraknya teror bom di sejumlah tempat di Jakarta, Yogyakarta, dan Bogor. Sesekali dia keluar membuka pintu gerbang ketika ada mobil yang masuk atau keluar.
Saya keluar dengan sepeda. Melalui jalan Cempaka Putih Indah. Melewati komplek perumahan. Di sebelah kiri jalan terdapat 6 rumah. sedangkan sisi kana jalan, terdapat gedung sekolah Melania dan salah satu gedung kampus.
Selanjutnya, saya melalui Jalan Cempaka Putih 26. Jalan yang selalu ramai karena dilalui kendaraan umum dan kendaraan angkutan barang. Namun, siang ini tampak lenggang. Kendaraan yang lewat amat sedikit.
Selokan di sebelah kanan jalan masih bersih. Sayangnya, selokan ini menyebarkan bau tak sedap. Selain itu, kalau hujan sekitar 2 jam, selokan ini penuh. Kadang-kadang meluap sehingga menyebabkan kemacetan.
Generasi penerus, gambar:google |
Sementara di sebelah kanan jalan suasana gelanggang olahraga Arcici tampak sepi. Di sinilah para atlet muda, seusia SD/SMP mengasah kemampuan. Dua jam lagi (pukul 14.00), lapangan sepak bola bagian depan ramai dengan pemain bola dan penonton. Mereka beratraksi di siang bolong.
Di salah satu bagian jalan, saya memerhatikan siswi/a SDN Cempaka Putih dan SMPN 137 Jakarta. Mereka sedang keluar. Waktunya untuk pulang ke rumah. Sebagian dari mereka berada di jalan. Ada yang berdiri sedang menunggu angkuatan dan mobil jemputan. Ada yang sedang asyik bercerita. Ada pula yang bermain-main.
Mereka menguasai sebagian jalan. Kendaraan yang lewat menggunakan sebagian jalan. Pemandangan seprti ini kerap terjadi ketika jam keluar sekolah. Dua sekolah yang berdiri di pinggir jalan ini mendidik banyak murid. Ada beberapa unit gedung berbentuk huruf U. Tiap unit memiliki tigan lantai.
Ada rasa bangga ketika melihat jumlah anak sekolah seperti itu. Ruang kelas terisi dengan manusia yang siap dibentuk. Merekalah generasi penerus bangsa Indonesia. Harapan akan masa depan bangsa yang lebih baik ada di pundak mereka.
Meski demikian, tak dapat dipungkiri juga fakta anak dan remaja yang putus sekolah. Di Jakarta jumlah mereka banyak. Data yang dihimpun berbagai instansi terkait kadang-kadang berbeda. Ini menunjukkan mereka belum terdata semua. Singkatnya masih banyak anak yang belum berkesempatan mengenyam pendidikan.
Ada anak jalanan, anak yatim piatu yang tidak diurus, anak yang memang tidak mau bersekolah, anak yang mampu secara akademis tetapi lemah secara ekonomi, dan sebagainya.
Jalan berikutnya melalui komplek perumahan Cempaka Putih Barat. Di sini terdapat banyak pohon rindang beserta bunga hias. Sebagian besar pohon ini terdapat di pinggir jalan. Ada pula yang ditanam di sudut lapangan.
Pada siang hari, sekitar jam 12 sampai jam 2 siang, banyak kendaraan berteduh. Komplek ini memang banyak menyediakan tempat teduh. Sebagian besar tempat teduh ada di pinggir jalan. Pengendara tergoda untuk memarkir kendaraan. Menikmati udara segar di bawah terik matahari yang menyengat.
Selain itu, kesejukan juga terlihat dalam pagar rumah. Ada beberapa rumah yang memiliki lahan tempat bertumbuhnya pohon rindang. Di sinilah tempat nongkrong yang aman di siang hari. Kadang-kadang pemilik rumah berkumpul sekeluarga di bawah pohon sambil menikmati minuman segar, es kelapa muda, dan minuman segar sejenisnya.
Selain pohon rindang, komplek ini terkenal dengan tanaman hias. Pot bunga menyebar di sepanjang jalan. Ada petugas khusus yang merawat tanaman ini. Beberapa penduduk juga sering merawat. Tanaman ini rupanya bukan milik petugas kebersihan, petugas kelurahan, petugas RT dan aparat setempat. Tanaman ini milik semua penduduk. Sense of belonging ini menjadi pendorong untuk merawat tanaman umum seperti ini.
Ada satu masjid besar yang terletak di pinggir jalan. Masjid Jami Al-Falah. Di sinilah sebagian besar penduduk mengadakan ibadah Jumatan. Masjid ini juga menjadi tempat pembinaan anak-anak usia dini. Hampir setiap pagi ada kelompok anak-anak yang menggunakannya. Kelompok menari, membaca, bermain, dan sebagainya.
Lima belas menit berlalu. Sepeda saya masuk di garasi. Tempat garasi hampir terisi semua. Sepeda lain rupanya sudah diparkir lebih dulu. Sebagian besar penghuni rumah sudah kembali dari kampus.
Perjalanan siang ini cukup melelahkan. Mengayuh sepeda di bawah terik matahari. Menghabiskan banyak kalori. Tenaga yang dikeluarkan mesti diganti dengan penambahan tenaga baru. Cairan tubuh mesti diisi dengan cairan tubuh.
Perjalanan mencapai garis akhir. Segenap impian lenyap bersama tenaga yang dikeluarkan. Satu yang tidak boleh lupa, hidup tidak berakhir hari ini. Biarlah kesusahan hari ini cukup untuk hari ini. Kegembiraan hari esok sedang menanti. Meski kita tak tahu, kita mesti tetap berharap.
Cempaka Putih, 16 Maret 2011
Gordy Afri
Post a Comment