Sumber gambar di sini |
Bulan Desember identik
dengan masa adven. Masa penantian akan datangnya sesuatu. Penantian sama dengan
menunggu. Kata “menunggu” biasanya punya kesan negatif di telinga kita. Di
Jakarta, menunggu selalu menjadi rutinitas yang mau tak mau mesti dialami. Menunggu
bis, menunggu kereta, menunggu angkot, menunggu teman, menunggu pesanan, dan
sebagainya. Menunggu menjadi berkesan negatif ketika yang ditunggu itu tidak
datang-datang. Apakah kita tahu, siapa yang kita tunggu di masa adven ini?
Saya mulai dengan cerita
kecil. Setiap hari Sabtu, saya dan seorang teman mengajar anak-anak SD di
Warakas, Jakarta Utara. Kami mengajar di rumah susteran. Koordinator kelas
mengajar ini adalah para suster di sana. Kami hanya membantu sebagai pengajar.
Para suster selalu menunggu kami setiap hari Sabtu. Seringkali, kami datang
lebih awal, sebelum pelajaran dimulai. Memang pernah beberapa kali, kelas sudah
mulai ketika kami masuk. Tak apa-apa, toh kehadiran kami masih diharapkan. Kami
bisa mengisi kekosongan di kelompok yang digabung.
Suatu ketika, kami lupa
memberi tahu suster kalau kami berhalangan. Kami mempunyai agenda pagi hari
yakni mengungunjungi pesantern dan biara Budha di Jakarta Selatan dan Jakarta
Utara. Suster menunggu kami namun tidak muncul juga. Mereka akhirnya mengajar
anak-anak dengan menggabungkan beberapa kelompok. Pengajar tak cukup. Kelas
masih bisa berjalan dengan kekurangan tenaga pengajar.
Dari kisah kecil ini,
kiranya kita tahu beberapa hal. Menunggu selalu diikuti harapan akan
objek yang ditunggu. Harapan yang kuat menanamkan rasa percaya diri. Kita
menunggu dengan sabar. Kita, rakyat Indonesia biasanya kurang dari sisi ini.
Banyak masyarakat kecewa menunggu perubahan di bangsa ini.
Memang perubahan
bukanlah hal mudah. Pemerintah dan jajarannya bekerja mewujudkan perubahan demi
kebaikan bersama. Reformasi sebagai slogan bersama berjalan beberapa tahun,
namun fakta yang ada belum banyak berubah. Kita kehilangan harapan. Lantas, tak
ada lagi semangat untuk berubah. Padahal “hidup tanpa perubahan akan
membosankan”.
Kita menunggu berarti
kita tahu siapa yang datang. Dia yang datang itu menyemangati kita
untuk sabar menunggumya. Kalau kita tidak tahu, belum pernah mendengarnya,
bahkan tidak bisa membayangkannya, bisa jadi kita membodohi diri sendiri. Pernah
menjemput tamu di bandara?
Saya dan beberapa teman
pernah menjemput tamu yang belum pernah kami lihat. Meski demikian, kami sudah
diberitahu tentang ciri-ciri orang tersebut. Kami pun berhasil menemuinya meski
didahului dengan reka-rekaan.
Dalam masa adven ini,
kiranya kita tidak menunggu sesuatu yang kosong. Kita tidak menunggu orang yang
kita tidak kenal. Kita tahu siapa yang kita tunggu. Dialah Yesus Kristus sang
Juru Selamat. Dari tahun ke tahun kita melewati masa ini. Masa seperti ini bisa
jatuh dalam godaan seremonial belaka. Jika kita tidak bisa mengambil makna dari
masa ini, kita hanya menjalankan ritual adven.
Kita semua dipanggil
untuk mengisi masa ini dengan penuh harapan. Harapan yang besar akan datangnya
Dia yang kita tunggu. Dalam masa penantian ini, kiranya kita menyiapkan segala
sesuatu. Lihatlah keluarga muda yang menyiapkan pakaian bayi pada masa
kehamilannya bertambah. Perlu persiapan panjang sehingga Yang Ditunggu akan
diterima dengan baik. Yesus kiranya tidak membutuhkan pakaian fisik. Yesus juga
kiranya tidak mengharapkan pakaian kita yang bagus saat menyambutnya. Yesus
hanya ingin hati kita—yang adalah tempat kediaman-Nya—dipersiapkan dengan baik.
Persiapan hati kiranya menjadi modal utama. Tentu saja kehidupan jasmani kita,
sosial-ekonomi-keamanan mesti menjamin ketentraman hati kita. Akhirnya, kita
pun tahu Yesus-lah yang kita tunggu. Sudah siapkah hati kita?
CPR,
13/12/2011
Gordi
Afri
Post a Comment