Hari sabtu Suci bagi umat Katolik biasanya menjadi hari
gembira. Yesus bangkit memancarkan kebahagiaan bagi umat Katolik semuanya.
Namun, bagi saya dan teman saya, hari ini menjadi hari petualangan yang tidak
menggembirakan. Mengapa? Ikuti ceritanya.
Semula, kami berencana mengikuti misa di Gereja Katolik
Santo Yosef Matraman, yang terletak di Jalan Matraman Raya. Saya lupa nomor
jalannya meski sering misa ke sana. Kami mendengar informasi dari salah seorang
teman bahwa misa di sana dimulai jam 6 sore. Kami pun bergegas ke sana
menggunakan sepeda motor Revo Merah. Tidak main-main, targetnya bisa duduk di
dalam gereja. Umat biasanya datang lebih awal ketika perayaan besar seperti
paskah-natal. Banyak yang datang 1 jam sebelum misa dimulai.
Kami punberangkat pukul 5 dari rumah. Tibalah kami di
tempat parkir gereja. Masih sepi, hanya ada beberapa sepeda motor yang ada.
Kami mengira, belum banyak yang datang. Lalu, kami menuju ke pintu utama.
Petugas keamanan di sana mengatakan misa sudah dimulai jam 4.30 tadi. Kami mendengar
lonceng gereja berdenting pertanda misa sedang berlangsung. Lonceng gereja
biasanya dibunyikan pada saat Kemuliaan, bagian dari misa. Wah….kalau begitu
sudah telat.
Misa kedua baru dimulai pukul 8 nanti. Masih ada 3 jam.
Kami putar haluan menuju gereja Katedral. Jalanan mulai macet, waktunya pulang
kantor. Dengan kecepatan sepeda motor yang agak lambat, kami akhirnya tiba di
gereja katedral. Di sana juga misa sudah mulai pukul 5 tadi. Wah….hari kurang
beruntung. Petugas keamanan mengatakan bahwa misa kedua dimulai pukul 8 nanti.
Masih lama……
Kami menuju taman Monas untuk mengisi waktu yang ada.
Saya mengemudikan sepeda motor melalui jalan Veteran, perempatan Harmoni, ke
arah kiri lalu masuk Jalan Medan Merdeka Barat, dan kami berhenti di pintu
gerbang dekat halte trans-jakarta Gambir 2. Di situlah kami menghabiskan waktu
dengan menikmati makanan dan minuman ringan. Teman saya rupanya mulai lapar. “Misa
nanti menghabiskan watu 2 jam lebih, jadi, persiapakan tubuh sejak sekarang.
Jangan sampai nanti lapar,” katanya. Saya pun ikut membeli makanan dan minuman
ringan.
Di sana suasananya agak ramai. Kebetulan gerbang monas
itu sempat dibuka untuk umum. Beberapa sepeda motor masuk menerobos pintu yang
dibuka dengan lebar 1 meter. Rupanya yang boleh masuk hanya pedagang saja,
setelahnya pintu ditutup kembali. Banyak orang datang ingin menghabiskan malam
mingguan di taman Monas. Ada anak kecil, anak muda berpasangan, orang tua,
kakek-nenek. Ada yang datang dengan sepeda motor, naik ojek, naik taksi,
trans-jakarta, angkutan umum, dan mobil pribadi. Mereka semua mencari rekreasi
murah di taman Monas.
Pukul 7, kami kembali ke gereja katedral. Kami masuk
ketika misa hampir usai. Banyak orang berdesakan di salah satu gerbang gereja.
Harus bersabar karena umat yang di dalam belum keluar. Panitia sudah membagi,
satu gerbang untuk masuk dan satu gerbang untuk keluar. Jadi, tidak ada papasan
langsung antara umat yang masuk dan yang keluar. Buku misa dan lilin paskah
dibagi gratis.
Kami segera mengambil tempat di bagian barat gereja,
dekat gua Maria. Kami memilih di situ karena suasananya sejuk. Teman saya tidak
tahan kalau duduk di dalam. Katanya, di dalam agak panas, dan dia tidak bisa
tahan dengan suhu panas. Saya pun mengiyakannya, kebetulan memang suasananya di
sana mendukung sekali. Udara segara karena banyak pohon, pertukaran udara
langsung dengan alam. Beda kalau di dalam, hanya ada kipas angin, sementara
yang menghirup udara cukup banyak. Gereja katedral tidak memasang pendingin
ruangan (AC) seperti di beberapa gereja Katolik lainnya di Jakarta. AC memang
menyejukkan dan membuat suasana nyaman namun ternyata merusak lingkunga terutama
lapisan ozon.
Umat yang mengikuti misa di gereja Katedral amat banyak.
Tenda-tenda di depan dan samping gereja terisi penuh. Misa yang dimulai pukul 8
ini dipimpin oleh 3 Pastor yakni Pastor I. Wardi Saputra, SJ (konselebran
utama), Pastor Markus Wanandi, SJ, dan Pastor Krispurwana Cahyadi, SJ. Petugas
putra altar dan putri sakristi, ikut membantu memperlancar upacara hikmat ini.
Demikian juga dengan petugas keamanan yang dibantu oleh petugas kepolisian baik
di dalam gereja maupun di tempat parkir di sekitar gereja dan di lapangan
parkir masjid Istiqal. Tak kalah menarik penampilan kor dari salah satu
lingkungan di paroki katedral.
Kami sempat merekam 3 poin penting yang disampaikan
Pastor Wardi dari khotbahnya.
Pertama (1), dia mengajak umat untuk meneladan Maria
Magdalena dkk yang berani pergi ke kubur Yesus. Merekalah perempuan pemberani.
Keberanian mereka muncul karena dilandasi kasih Tuhan, kata pastor ini. Mereka
sudah tahu akan menghadapi masalah besar, siapa yang menyingkirkan batu besar
dari pintu kubur. Rupanya Kasih Tuhan lebih besar dari kasih mereka. Tuhan
sudah tidak ada, sudah bangkit, ketika mereka sampai di sana. Lantas, ‘penjaga
kubur’ mengajak mereka memberitakan kepada para murid untuk menuju Galilea dan
di sana akan menjumpai Yesus. Kehidupan Yesus nyata dalam kehidupan masyarakat
Galilea. Maka, para murid mesti belajar di Galilea agar memahami cara hidup
Yesus. Galilea sekarang, bagi kita, adalah hidup harian kita. Carilah Yesus dan
temukan Yesus dalam kehidupan sehari-hari. *Semua gambar dari google
Kedua (2), Pastor Wardi mengajak umat agar jangan mencari
Yesus di kubur. Kubur merupakan tempat mayat dibaringkan, tempat orang mati.
Gambaran akan kubur pun menjadi seram dan menakutkan. Orang Katolik yang mencari
Yesus di kubur adalah mereka yang masih berpikir lama, berpikir kolot, yang
mengira Yesus masih di kubur. Lihatlah kubur sudah kosong, dan Yesus tidak ada
di sana lagi.
Ketiga (3), carilah Yesus di salib. Lihatlah Yesus di
salib yang sudah bangkit. Maka, umat Katolik mesti bangkit dari cara hidup lama
ke cara hidp baru. Pastor juga tidak memungkiri kalau ketiga hal ini kadang
agak sulit apalagi kadang-kadang bertentangan dengan logika manusiawi. Memang
demikian. Tidak cukup memahami dengan logika. Ketiga hal ini mesti dialami.
Baru kita akan mengatakan….Oo…seperti itu toh…katanya. Jadi, memang peristiwa
itu di luar batas otak dan cara berpikir manusia. Maka, cobalah untuk mengalaminya,
membatinkannya.
Selesai misa, kami balik ke rumah dan tiba pukul 10.30.
wah….lumayan lama petualngan hari ini. Dari jam 5 sore hingga 10.30 malam.
Demikianlah petualangan mencari Gereja Katolik di Jakarta. Ingat, “Kalau mau
mencari Yesus, pergilah ke Galilea.” Selamat Paskah tahun 2012.
CPR, 8/4/2012
Gordi Afri
Tulisan sebelumnya: Jumat Agung, Jalan Salib, dan Cium Salib
Post a Comment