Jadikan pendeta sebagai panggilan dan jangan jadikan pendeta sebagai profesi atau pekerjaanmu
FOTO: Family Vacation |
Demikian pesan Pendeta Markus F. Manuhutu dalam kata
sambutan acara Ibadah Peneguhan untuk Adventino Ekaristi Priyonggo sebagai
pendeta pada Minggu, 10/6/2012. Pendeta Markus adalah Ketua Majelis Sinode
GPIB. Kata-kata ini bertuah. Wajar jika ini dijadikan bahan sambutan untuk
pendeta muda dari pendeta tua yang banyak makan garam.
Pendeta sebagai panggilan berarti pendeta seumur
hidup. Suka dan duka dijalani sebagai tugas pendeta. Di daerah terpencil banyak
kekurangan jika dibandingkan fasilitas di kota.
Di situlah pendeta ditantang untuk menjadikan aktivitas hariannya sebagai
pendeta.
Sebaliknya pendeta sebagai pekerjaan/profesi berarti
menghitung jam kerja. Layaknya seorang direktur perusahaan yang bekerja mulai
pukul 9 pagi hingga 5 sore. Pekerjaannya dihitung dalam satuan waktu. Di luar
jam itu ia bukan direktur lagi. Jika hitungan seperti ini diterapkan dalam
kehidupan harian seorang pendeta, boleh jadi pekerjaannya akan gampang-gampang
saja. Dia mencari yang mudah dilakukan, yang fasilitasnya lengkap. Di luar itu
bukan pekerjaan pendeta.
Saya teringat kata-kata Romo Dr. Al Andang Binawan di
STF Driyarkara saat kuliah Moral Keluarga. Dia mulai dengan bertanya, apa
bedanya panggilan dan profesi? Apakah menjadi seorang ibu merupakan sebuah profesi?
Kalau ya, maka, ibu itu tidak bisa melayani anak-anaknya dengan sepenuh hati.
Lebih buruk lagi jika ia menghitung jumlah jam memasaknya atau jam mencucinya.
Menjadi seorang ibu berarti merasa diri dipanggil
menjadi seorang ibu. Ibu bekerja tanpa kenal waktu. Bangun pagi tiap hari,
menyusui anaknya, memasak, dan aktivitas lainnya, dilaksanakan tanpa
menghitung. Inilah panggilan menjadi seorang ibu.
Betapa celakanya jika ibu menghitung pekerjaannya
dari pagi sampai jam 12 siang. Setelahnya bukan pekerjaannya lagi. Dia tidak
beda dengan pekerjaan seorang PNS yang masuk jam 7 dan pulang jam 1. Apa
jadinya jika setelah masak malam, ibu bilang selesailah pekerjaanku. Ibu tidk seperti
itu. Ibu-ibu di kampung seperti mama saya dulu, selesai makan malam, kami
mencuci piring lalau setelah itu dia masih menyempatkan diri melatih kami
membaca dan mengerjakan tugas. Terima kasih mama sayang jasamu besar buat kami
anak-anakmu.
Jadi, hargailah setiap pekerjaan Anda, lihatlah itu
sebagai panggilan dan bukan profesi belaka.
CPR, 9/7/2012
Gordi Afri
Post a Comment