foto oleh Johanes Christian |
Jakarta menjadi tempat tinggal orang
terkaya dan termiskin di Indonesia. Untuk sebutan terkaya, bukan hal baru dan
aneh lagi. Orang kaya memang pada umumnya memilih tempat tinggal yang nyaman.
Salah satunya adalah Jakarta.
Sebutan termiskin kiranya tidak salah
dialamatkan kepada para pemulung dan pengemis di negeri ini. Lihat saja
beberapa foto hasil jepretan teman saya beberapa waktu lalu. Ini hanya beberapa
potret yang kiranya mewakili penderitaan di negeri ini.
Pemulung di Stasiun Senen pada umumnya
bertempat tinggal di sekitar rel kereta api. Mereka mendirikan lapak ala
kadarnya yang kadang-kadang, dalam waktu tak terduga digusur oleh petugas pol
PP.
Tempat ini dipilih demi efektivitas
bekerja. Sebagian besar dari mereka adalah pencari rezeki di gerbong kereta.
Kereta yang datang dari daerah Jawa Tengah seperti Solo, juga Yogyakarta, dan
Malang, Jawa Timur menjadi target pemulung. Di kereta-kereta ini, mereka
biasanya memungut botol mimunan ringan seperti aqua, mizon, dan sebagainya.
Botol-botol ini dijual lagi untuk memperoleh uang.
Selain botol, mereka juga biasanya
memungut koran bekas dan gardus yang digunakan sebagai alas tidur di kereta. Gardus bekas dijual dengan harga mulai Rp. 5000 per
kilo gram. Sedangkan koran bekas biasanya dilipat lagi dengan rapi dan kemudian
dijual dengan harga sekitar Rp. 1000 sampai Rp. 2000 untuk dijadikan kipas
angin. Selain itu, kadang-kadang mereka mengambil makanan dan minuman sisa
untuk sarapan. Kereta biasanya datang mulai pukul 2 sampai 5/6 pagi.
Penulis pernah
tinggal dengan mereka pada awal tahun 2007 yang lalu. Rasanya jijik dan muak
melihat pekerjaan dan tempat tinggal mereka. Tetapi, beginilah kalau mau
merasakan kehidupan mereka secara langsung mesti tinggal dengan mereka.
Waktu 2 minggu
menjadi waktu yang menyenangkan pada saat itu. Meski kami bekerja cukup sulit,
kami mendapatkan uang yang cukup untuk membeli makanan sehari-hari. Penulis
bersama beberapa teman menginap di rumah salah seorang pemulung senior.
Praktisnya, kami bekerja sesuai ritme kehidupan mereka. Bangun pagi-pagi,
mulung, mandi, sarapan, istirahat, jual koran, nonton TV,
tidur lagi pada malam harinya.
Kelihatannya hidup kami (saya dan para
pemulung) amat menderita karena tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tetapi, dalam
penderitaan itu, kami menemukan kebahagiaan. Kami menjalin relasi
antar-pemulung. Kalau seorang mendapat rezeki,
yang lainnya kekurangan, kami biasanya bersolider dengan membagi rezeki itu. Solidaritas inilah yang
mengenang dalam benak saya.
Kami tidak hanya memulung, kalau siang
hari, kami menonton TV sambil membersihkan botol dan gelas aqua untuk dijual
lagi. Atau juga sambil merapikan kertas koran untuk dijual kembali. Kalau ada
rezeki banyak, kami juga membeli makanan spesial dari rumah makan terdekat,
lalu bergembira bersama dalam pesta kecil-kecilan.
Pemulung sebenarnya mempunyai cukup rezeki
dibandingkan para pengemis yang hanya meminta. Hanya saja-yang saya
lihat-pemulung di Stasiun Senen pada umumnya, tidak mempunyai budaya menabung.
Kalau hari ini dapat uang banyak, uang itu dihabiskan pada hari itu juga.
Prinsip mereka praktis sekali, hidup untuk hari ini. Besok, akan ada rezeki
lagi.***
CPR,
5/4/2012
*Dimuat di blog kompasiana pada5/4/12
Post a Comment