foto oleh Bambang Subaktyo |
Membantu sesama tak
harus dengan modal uang. Memiliki uang banyak tidak otomatis bisa membantu
sesama. Banyak orang mencari uang. Namun, banyak orang memiliki uang banyak
yang hatinya haus akan ketenangan. Modal utama membantu sesama adalah kemauan
yang kuat.
Di sekitar jalan ke kampus kami, ada
banyak gang kecil. Tak ada angkutan kota yang melewati jalanan ini. Yang bisa
masuk hanya bajai dan mobil pribadi. Kami yang sering menggunakan sepeda, bisa
dengan leluasa melewati daerah ini. Hanya saja ada dua hal yang membuat kami
ekstra hati-hati. Pertama, banyaknya polisi tidur. Kedua, banyak anak kecil
berkeliaran.
Di setiap gang pasti ada sekelompok tukang
ojek. Ada yang tiga orang, dua orang, dan empat orang. Yang paling ramai ketika
pagi hari. Mereka berjasa mengantar anak sekolah atau juga orang dewasa yang
berangkat pagi ke tempat kerja. Mereka biasanya
mengantar ke halte trans-jakarta terdekat atau ke jalan utama di mana angkot
lewat.
Menjadi tukang ojek itu tidak selalu dipandang
rendah. Beberapa teman tukang ojek pernah bercerita, kalau sebagian dari mereka
itu adalah penganggur. Ada yang baru saja dipecat dari kantor karena
perusahaannya bangkrut. Ada juga yang memang tidak punya pekerjaan tetap. Ada
yang memang ‘panggilan’ hidupnya di situ. Ada yang sudah belasan tahun menjadi
tukang ojek. Mau tidak mau untuk menghidupi keluarga, mereka jadi tukang ojek.
Apa pun pekerjaannya asal menghasilkan duit. Begitu filosofi mereka setelah
tidak punya pekerjaan tetap.
Beberapa kali saya
bersama tukang ojek membantu korban tabrak-lari di jalanan. Kebanyakan korban
kecelakaan di jalanan mendapat pertolongan pertama dari tukang ojek. Sebelum warga sekitar datang, tukang ojek menjadi kelompok pertama yang
memberi pertolongan. Mereka membantu tanpa mengharap imbalan. Mengantar ke
rumah sakit, menyelamatkan dompet dan handphone korban,
membantu menghubungi keluarga korban, dan sebagainya.
Menjadi tukang ojek memang tak melulu
mencari uang. Mereka turut membantu memperlancar perekonomian bangsa
dengan mengantar pekerja ke kantornya. Mereka juga membantu dalam bidang
pendidikan dengan membantu para orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah. Mereka
juga membantu dalm bidang sosial dengan memelopori solidaritas warga untuk
korban kecelakaan di jalanan.
Sudah saatnya bangsa
ini kembali ke filosofi tukang ojek. Jangan melulu mencari keuntungan yang
malah menyengsarakan sesama. Kalau orientasinya uang melulu, banyak
rakyat yang tidak mendapat bagian. Uang negara disedot ke kantong sekelompok
orang tertentu. Jurang antara kaum berada dan kaum tak berada semakin lebar.
Dari sini muncul kecemburuan sosial.
Tukang ojek pun tidak ada yang ego. Kalau seorang baru
saja selesai mengantar penumpang, dia tidak mengantar lagi jika masih ada teman
yang belum mendapat giliran. Dalam hal ini tukang ojek beda dengan sekelompok
kaum berpunya yang merebut diskon 100 pembeli ipone terkemuka
di negeri ini. Tak heran jika tukang ojek itu memiliki kepekaan sosial yang
tinggi.
CPR,16/2/2012
*Dimuat di blogkompasiana pada 16/2/12
Post a Comment