foto oleh hukum97 |
Setiap hari Sabtu, saya mendampingi
anak-anak di daerah Warakas, Jakarta Utara. Mereka biasanya
berkumpul di satu rumah dan belajar bersama. Saya dan beberapa teman di sana
membimbing mereka. Berbagai mata pelajaran di sekolah kami pelajari bersama.
Sebelum mulai pelajaran-yang biasanya berlangsung jam 8-9-anak-anak dilatih
untuk membaca buku bacaan yang ada di rak buku. Tidak semua anak mengikuti
kegiatan membaca ini. Tetapi, untuk mereka yang datang lebih awal, diwajibkan
untuk membaca.
Sebelum anak-anak meninggalkan
ruang belajar, mereka dibiasakan mengucapkan terima kasih kepada para pengajar.
Selain ucapan, mereka biasanya mencium tangan para pengajar. Kami berjabatan
tangan lalu anak-anak mengangkat tangan kami ke kepala atau ke pipi mereka.
Tentu saja mencium tangan di sini jangan diartikan sebagai ungkapan
kesombongan. Mosok kami menyuruh anak-anak mencium tangan kami
supaya dilihat sebagai orang yang berkuasa. Tidak!
Saya tidak tahu, siapa yang melatih mereka
seperti itu. Pertama kali membantu di sana, saya kaget ketika anak-anak mencium
tangan saya. Untung saja, setelah selesai mengajar, saya selalu mencuci tangan,
membersihkan bekas kapur atau spidol di jari. Kebiasaan ini pun sudah menjadi
tradisi di sana. Anak-anak juga sudah tahu, beginilah mereka mengungkapkan
tanda terima kasih mereka kepada orang yang dituakan, termasuk orang tua
sendiri.
Ungkapan semacam ini pernah saya lihat
sebelumnya di sebuah panti asuhan di daerah Jakarta Selatan. Lagi-lagi tangan
saya dicium atau diletakkan di atas kepala mereka sebelum bepergian, misalnya
ke sekolah. Saya geli tetapi lama-kelamaan jadi biasa.
Ada yang mengartikan
ungkapan seperti ini sebagai tanda minta restu (berkat) dari orang tua. Ketika
anak mencium tangan bapak dan ibu di pagi hari, di situlah anak meminta restu
orang tuanya sekaligus minta berkat atas kegiatannya pada hari itu. Kalau
begitu saya pun jadi bangga karena saya ini menjadi sumber berkat bagi
anak-anak itu.
Tampaknya anak-anak
yang terbiasa dengan hal ini patuh pada orang tua. Saya melihat
anak-anak di Warakas berbeda dengan anak-anak lainnya yang tidak mempunyai
kebiasaan seperti ini. Saya tidak sedang mengadili mereka yang tidak mempunyai
kebiasaan seperti ini. Masing-masing orang tua mempunyai cara
mendidik yang berbeda terhadap anak-anaknya. Tentu saja masih ada anak-anak
yang baik yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ini.
Yang mau saya katakan adalah anak yang
terbiasa dengan hal ini mempunyai sikap patuh kepada orang tuanya. Sebelum
bepergian dia meminta izin kepada orang tua. Ini merupakan sikap bertanggung
jawab, lebih tepatnya patuh kepada orang tua. Beberapa orang tua di Warakas
mengakui hal ini. Mereka jarang cemas dengan anak-anak mereka yang sedang
berada di sekolah karena mereka yakin anaknya selalu minta restu sebelum bepergian.
Anak-anak tidak mau pulang kalau orang tuanya belum menjemput. Anak-anak juga
jarang keluar rumah tanpa sepengetahuan orang tua.
Gordi Afri
17/2/2012
*Dimuat di blog kompasiana pada 20/2/12
Post a Comment