Peristiwa
LP Cebongan yang menakutkan itu mengubah persepsi masyarakat Indonesia dan
dunia terhadap kota Yogyakarta. Ketakutan ini memunculkan gelar baru untuk kota
Yogyakarta yakni sebagai “Kota Menakutkan”.
Selama
ini, Yogyakarta mempunyai gelar yang khas karena uniknya di antara berbagai
kota di negeri ini. Ada gelar “Kota Mahasiswa” karena memang Yogyakarta
mempunyai banyak universitas, sekolah tinggi, akademi, SMA, SMP, SD, hingga TK.
Penduduk
provinsi Yogyakarta sebagiannya terdiri atas mahasiswa/pelajar. Menurut data Kompas, 27/3/13, hlm. 22, mahasiswa asal
Sumatera Utara di Yogyakarta berjumlah 18.000 sedangkan Riau 15. 000 dan NTT
13.000. Kalau dijumlahkan mahasiswa dari 3 daerah ini menjadi 36.000 orang.
Bayangkan 1 kota saja jumlah mahasiswanya seperti itu. Belum dihitung dari
daerah lain termasuk dari Yogya sendiri. Maka, Yogyakarta layak disebut “Kota
Mahasiswa”.
Sebutan
atau gelar lain adalah “Kota Pendidikan”. Ini masih ada kaitan dengan sebutan
kota mahasiswa tadi. Hanya saja dalam hal ini, sebutan ini muncul karena
Yogyakarta menjadi pusat pendidikan. Tidak saja menyangkut jumlah mahasiswa
tetapi menyangkut banyaknya pilihan pendidikan yang dikembangkan di kota ini.
Gelar
yang ketiga adalah “Kota Budaya”. Sebutan ini berkaitan dengan budaya. Budaya
berkaitan erat dengan budayawan. Yakni, mereka yang berkecimpung dalam bidang
budaya. Mereka yang mengembangkan seni budaya. Budaya berkembang karena kota
Yogyakarta memberi tempat yang berharga untuk para budayawan. Jangan ehran jika
banyak budaya, seni tari/lukis/batik, dans ebagainya berkembang pesat di kota
ini. Meski perkembangannya juga akdang-kadang berbentur dengan gempuran budaya
modern-hedonis-konsumtif sekarang ini. Tetapi, kota Yogyakarta masih memberi
porsi terbesar pada budaya tradisional.
Di
balik semua gelar di atas, ada juga gelar baru yang entah sampai kapan bertahan
yakni “Kota Menakutkan”. Gelar ini muncul terkait terbunuhnya 4 tahanan yang
nota bene menjadi tanggung jawab pemerintah di LP Cebongan. Ada yang emnduga
pembunuhnya/penyerangnya adalah kelompok khusus nan elit. Jika dugaan ini
benar, segeralah pihak polisi dan jajarannya mengungkapkan pelakunya.
Jika
tidak, gelar keempat ini semakin menjadi-jadi. Sekarang saja, beberapa warga
NTT di Yogyakarta mulai mengungsi. Kalau tahun 2010 warga Yogya mengungsi
karena takut abhaya Merapi. Sekarang warga mengungsi karena tidak adanya
perlindungan pemerintah. Warga uyang dalam perlindungan pemerintah saja diserang
dan mati, apalagi warga biasa yang hidup tenang tetapi tidak ada perlindungan
resmi, kapan-kapan bisa diserang juga.
Jauh
dari kesan “Kota Menakutkan” ini, pemerintah sebaiknya segera mengungkap pelaku
dan mulai menjamin keamanan warganya. Jika tidak, bukan saja kota Yogyakarta
yang bertambah gelarnya, citra negara Indonesia di mata internasional juga akan
hancur. Indonesia akan dinilai sebagai negara pelanggar HAM. Tentunya
pemerintah dan rakyat tidak mau dicap demikian. Pemerintah dan rakyat ingin hidup
damai dan tenang. Namun, melihat gelagatnya, pemerintah rupanya belum bisa
mengungkap cepat-tepat pelaku penyerangan. Ini menambah ketakutan warga di
Yogyakarta dan juga semakin memperpanjang gelar “Kota Menakutkan” bagi kota
Yogyakarta.
Semoga
pemerintah mau dan mampu mengungkap pelaku penyerangan dan memberi jaminan
keamanan bagi warga Yogyakarta khususnya warga NTT yang sedang dalam
trauma-menakutkan.
PA,
27/3/13
Gordi
Post a Comment