Jalan
darat di negeri ini memprihatinkan. Di KOMPAS beberapa hari belakangan
dilaporkan situasi jalan lintas pulau yang memprihatinkan. Di Papua, ada jalan
yang berlumpur. Sulit dijangkau mobil. Bahkan harus bersusah payah untuk
melewatinya. Di daerah lain, pada laporan lain juga, diberitakan jalan darat
yang keadaanya memprihatinkan. Jalanan itu tidak terurus. Entah ke mana
perhatian pemerintah dan pemerhati transportasi darat setempat. Tentu saja
masyarakat yang dirugikan.
Lain
lagi dengan cerita jalan darat di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Di
sini jalanannya bagus. Kalah jauh dengan kondisi jalan darat di Papua,
Sulawesi, Kalimantan, dan daerah lainnya. Tetapi kondisi jalan tidak menjamin
amanya berlalu lintas. Justru di kota-kota ini jalanan menjadi tidak nyaman
karena kendaraannya banyak. Jalan darat memang sejauh ini belum memuaskan
pengguna jalan.
Semalam,
saya berangkat dari Yogyakarta ke Jakarta. Naik bis. Melintasi jalan darat,
jalur utara-selatan Pulau Jawa. Saya menghitung, kira-kira ada 3 tempat
kemacetan. Magelang, Brebes, dan daerah Indramayu. Entah ada juga daerah
lainnya, saya tidak tahu. Kebetulan saja, saya sadar ketika kendaraan kami
melewati daerah tersebut. Saya memang banyak tidurnya. Maklum, jalan malam
hari. Pilihan naik bis menjadi pilihan terakhir karena tiket kereta api penuh,
tiket pesawat mahal.
Saya
prihatin dengan kondisi jalan ini. Bukan kali ini saja saya melewati jalan ini.
Lebih dari dua kali. Dan, saya pun bisa mengira, perbaikan jalan ini
berlangsung menjelang musim lebaran. Kesempatan bagi sebagian besar negeri ini
mudik, kembali ke kampung halaman mereka. Masyarakat tahu tentang ini. Dan,
pemerintah juga tahu. Hanya saja, rakyat bertanya-tanya, mengapa perbaikan
jalan selalu setiap tahun dan pada waktu yang sama? Terkesan perbaikan ini
hanya tambal sulam saja. Polesan yang tidak bertahan lama. Sebab, tahun depan,
menjelang lebaran, akan ada perbaikan lagi. Apakah kualitas pekerja jalan di
negeri ini hanya menghasilkan jalan darat yang habis terpakai dalam jangka
waktu setahun?
Di
daerah Flores Barat, NTT, ada seorang tokoh terkenal yang membangun jalan darat
tidak asal-asalan. Dia adalah seorang Pastor dari Swis. Masyarakat Flores Barat
biasa memanggilnya Pater Waser, SVD. Konon, ada cerita, sebelum mengerjakan
jalan, dia mengerahkan para pekerjanya untuk menggali lubang sedalam 80 cm.
Lubang ini akan ditanami batu. Batu ini selanjutnya menjadi fondasi yang kuat
untuk pijakan jalan. Di atas batu akan diratakan pasir. Kemudian kerikil, dan
terakhir aspal. Saya tidak melihat langsung proses pengerjaan jalan ala pastor
ini. Tetapi, saya melihat sebagian dari prosesnya yakni membenamkan batu dalam
lubang 80 cm. Dan, bahkan saya pernah melewati jalan buatannya yang hanya
terbuat dari susunan batu yang rapi dan rata. Tidak perlu ada aspal di atasnya,
jalan sudah bisa digunakan dan nyaman.
Meski
pastor ini giat dan terkenal dengan pembangunan jalannya, jatah jalan yang
dikerjakannya tidak panjang. Konon, ada sindiran, kalau semuanya diserahkan ke
pastor ini, tidak ada lagi proyek jalan di Flores Barat. Saya tidak tahu apakah
ini benar. Tetapi benar bahwa pastor ini tidak mendapat banyak jatah untuk
pembangunan jalan. Padahal kualitas jalan yang dibangunnya bagus.
KIranya,
semua rakyat menginginkan agar kondisi jalan darat di negeri ini dibenahi.
Biarkan rakyat merasakan nyamannya berkendara di jalan darat. Tentu semua
setuju jika kondisi jalan darat saat ini memprihatinkan. Waktu tempuh
Yogya-Jakarta menjadi lebih lama beberapa jam dari waktu normal. Jika jalan
darat belum dibenahi, kiranya tak berlebihan jika perbaikan jalan menjadi
seperti pemilu. Musiman saja dan teratur. Jalan diperbaiki setiap tahun. Dan,
akan memperlambat laju transportasi dan distribusi barang kebutuhan pokok. Dari
segi ekonomi ada kerugian. Demikain juga dari efisiensi waktu, kesehatan, dan
kenyaman berkendara. Semuanya diragnkum dalam satu kata, memprihatinkan.
Masihkah pemerhati rakyat di negeri ini membiarkan warganya prihatin? Kita
tunggu pembenahannya.
Jakarta,
3/7/13
Gordi
Post a Comment